[CERPEN] Tragedi Menjelang Ulang Tahun

Denting peralatan medis selalu menyimpan misteri

Ini adalah hari ketujuh aku menjenguk gadis yang sudah dua tahun mengisi hatiku. Bukan di ruang berdinding putih dengan bau obat-obatan yang dia benci. Bukan di taman sekolah yang selalu menjadi tempat favorit kami bertukar cerita. Bukan juga di bukit cinta, tempat di mana kami sering menghabiskan waktu untuk menikmati senja. Ini adalah tempat yang tidak pernah kami kunjungi sebelumnya. Rumah masa depan.

Aku tahu, ini adalah kebodohanku. Seharusnya aku saja yang pergi malam itu untuk membeli segelas coklat panas kesukaannya. Dengan begitu, dia akan tetap bisa menikmati hari seperti biasanya. Lihat sekarang! Rindu yang menggebu sejak detik pertama dia pergi, membuat dadaku begitu sesak. Apakah air mata bisa membuatnya kembali? Sayangnya tidak. Mataku sudah sembab sebesar jengkol, tapi kesedihan itu masih juga bercokol.

"Aku ingin terus bersamamu. Aku nggak mau sendiri," katanya di depan kelas pagi itu.

Aku mengacak poni yang biasa dia rapikan menggunakan jari. "Aku juga nggak bakal ninggalin kamu, Jelek!"

Meskipun aku memanggilnya "Jelek" tapi jujur dari hatiku yang paling dalam, dia begitu cantik. Lebih cantik dari bidadari yang sering kulihat dilayar televisi. Matanya yang bulat selalu meneduhkan. Apalagi lesung pipi yang membuat wajahnya semakin imut. Aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Aku menyukai caranya merapikan poni, mengikat rambut, bahkan gayanya bercerita ketika sedang kesal. Dia terlihat lima kali lebih cantik.

Sudah seminggu, aku tidak bisa mengacak poninya lagi. Papan berwarna putih yang berdiri kokoh ini bertuliskan namanya, Almira Cendana Putri. Tanggal lahir yang tertulis di sana adalah hari ini, 23 November.

"Kamu mau kado apa?" tanyaku ketika aku dan Almira sedang menimati bekal bawaannya di jam istirahat. Nilai tambah yang membuatnya semakin terlihat cantik adalah fakta kalau dirinya pintar memasak.

Dia menggeleng. "Aku cuma mau tiup lilin di bukit cinta ketika senja."

"Cuma itu?" Aku mengernyitkan dahi. Rasanya tak percaya dengan apa yang ia ucapkan, mengingat Almira menyukai pernak-pernik yang berhubungan dengan Hello Kitty. "Bagaimana kalau hoodie Hello Kitty?"

Dia tersenyum. Senyum yang selalu menular di wajahku.

"Kado itu nggak melulu tentang barang, Nata. Ada kalanya, momen jauh lebih berharga untuk diingat ketimbang barang. Aku hanya ingin menikmati senja bersamamu. Itu saja. Apa kamu keberatan?"

"Enggak sama sekali," jawabku waktu itu sambil mengacak poninya yang dibalas oleh lirikan tajam. Bau amis dari sambal ikan peda yang menempel di tanganku, berpindah di poninya.

Membayangkan percakapan waktu itu, membuat dadaku mencelus. Kalau saja, aku tahu dia akan pergi secepat ini, mungkin aku akan mempercepat merayakan ulang tahunnya. Aku ingin membuat Almira merasa bahagia. Tapi, sayangnya bukan itu yang aku beri. Keteledoranku dalam mengendarai sepeda motor membuat tulang rusuknya patah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Almira terpental delapan meter ketika aku menerabas lubang jalan yang cukup dalam dengan kecepatan tinggi. Aku sempat melihat dirinya mengerang kesakitan di bawah lampu jalan yang temaram. Kepalanya bocor hingga darah memenuhi sebagian wajahnya. Tidak sampai satu menit, semua berubah menjadi gelap.

***

Denting peralatan medis selalu menyimpan misteri. Dalam hitungan detik, alat itu bisa berubah bunyi dan membuat keluarga pasien menangis meraung-raung. Aku menyaksikannya ketika pasien yang ada di sudut ruangan meninggal. Ya Tuhan! Ruang ICU ini begitu mengerikan untukku dan Almira. Aku takut kalau ...

"Almira," panggilku ketika jarinya bergerak. Dia membuka kelopak matanya dan memaksakan berbicara meski dengan susah payah.

"Kamu ... harus berjanji, untuk tidak menyalahkan diri sendiri ketika aku udah nggak ada," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Aku mencium tangannya. "Kamu nggak boleh pergi, Ra! Kamu harus sembuh. Satu minggu lagi kita akan ...." Mata Almira kembali menutup. Suara alat medis berubah menjadi dentingan panjang. "Ra! Bangun, Ra!"

Seseorang menarik tubuhku menjauh dari Almira. Beberapa orang berjubah putih mengerumuni Almira dengan wajah panik. Tubuhku mulai bergetar ketika aku keluar dari ruangan itu. Hanya selang 10 menit, Almira ikut menyusulku keluar. Selimut putih menutupi wajahnya yang cantik. Ibu dan Ayah Almira menangis sambil ikut mendorong ranjang Almira menjauh dari ruang ICU. Sementara aku hanya terduduk di lantai. Kakiku terasa lemas bukan main. Pandangan mataku buram karena dipenuhi air mata.

Ibu menangis sambil memeluk tubuhku. "Yang Ikhlas ya, Nak. Almira sudah tidak merasakan sakitnya lagi. Dia sudah bahagia.

Ucapan ibu menyadarkanku, kalau Almira tidak akan menepati janjinya untuk merayakan ulang tahunnya di Bukit Cinta.

***

Gerimis membuyarkan lamunanku. Rupanya langit sudah mulai gelap. Tidak terhitung berapa detik aku menghabiskan waktu di rumah baru Almira hari ini. Senja telah pergi. Aku mengusap papan putih itu.

"Maafkan aku, Ra. Seharusnya, kita tidak pergi malam itu." Aku mendekatkan wajahku ke papan bertuliskan nama Almira. "Aku mencintaimu. Tidurlah yang nyenyak. Aku berjanji akan sering-sering mengunjungi rumah barumu."

Ketika memejamkan mata, aku melihat bayang-bayang Almira tersenyum sambil berlari menjauh dariku. Ia terlihat lebih cantik menggunakan gaun serba putih.

Baca Juga: [PUISI] Tak Dapat Kembali

Bella Windy Photo Writer Bella Windy

Suka nulis, suka baca, suka jalan-jalan meskipun hanya bersepeda mengelilingi kompleks rumah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya