[CERPEN] Sebuah Cerita Tentang Melodi

Aku akan selalu merindukanmu

Waktu terus berjalan dan musim sudah berganti. Udara pagi hari ini terasa lebih dingin dari biasanya dan embun masih menetes dari kelopak bunga garbera yang tumbuh di taman belakang rumahku. Hari ini adalah hari yang istimewa. Setidaknya bagiku.

Aku kembali melangkah ke dalam rumah. Sepertinya mereka masih tidur dan aku berjalan menuju ruangan yang aku gunakan untuk berlatih dan bermain musik. Cahaya matahari pagi mulai menembus jendela dan menyorot tepat ke atas grand piano dan membuatnya berkilau. Selama beberapa detik aku hanya berdiri memandangi grand piano yang sudah cukup lama tidak tersentuh itu.

Piano itu tampak kesepian. Sama sepertiku. Aku hanya bisa tersenyum simpul begitu menyadari bahwa tidak ada satu orang pun yang menang melawan takdir. Aku berjalan menuju rak buku dan mengambil sebuah album yang sedikit berdebu. Aku menarik sebuah kursi kayu dan duduk di sana.

Dengan tangan yang sedikit gemetar aku memberanikan diri membuka lembaran pertama. Dan sebuah sengatan tajam menyerang dadaku begitu aku melihat senyum lebar bahagia di foto itu. Dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai seumur hidupku. Jariku hanya bisa mengusap pelan foto itu. Sengatan tajam itu mulai membuat dadaku sesak dan aku menarik napas dalam-dalam.

Aku memejamkan mataku dan berusaha menghadirkan bayangan yang indah. Sengatan itu mulai memudar dan seulas senyum tipis muncul di sudut bibirku, “Aku tidak akan menangis lagi, Ririka..”

**

Aku adalah seorang pemain biola di sebuah band orkestra. Dan Ririka, dia adalah seorang pianis solo yang handal. Kami bertemu pertama kali di sebuah konser. Itu hanya pertemuan biasa dan kami hanya saling menyapa dengan sopan. Dia mungkin tidak akan menyapaku kalau saja waktu itu dia tidak tersesat di dalam gedung.

Saat itu aku belum menyadari siapa dia sebenarnya sampai dia tampil di panggung. Permainan pianonya yang indah dan lincah berhasil menyihir semua penonton. Termasuk aku. Malam itu aku hanya berpikir bahwa aku sangat beruntung bisa melihat sebuah penampilan yang spektakuler.

Tapi hanya berselang satu minggu, kami bertemu lagi di sebuah studio musik. Aku cukup terkejut begitu mengetahui ternyata kami adalah murid dari guru musik yang sama. Ririka sedang berlatih untuk konser berikutnya dan guruku sering memintaku untuk mengajar biola di kelas anak-anak.

Kami mulai sering bertemu dan guruku yang merupakan seorang komposer, sering meminta kami untuk memainkan melodi-melodi pendek yang dia tulis. Ririka adalah wanita yang enerjik dan menyenangkan. Dan aku tidak bisa menolak pesonanya. Dia sering memainkan melodi sembarangan yang indah di awal latihannya. Melodi itu selalu melekat di kepalaku dan tanpa sadar aku selalu memainkan melodi itu dengan biolaku.

Suatu hari, Ririka memergokiku ketika aku sedang memainkan melodi itu. Dia tampak sangat terkejut. Aku sudah siap akan meminta maaf padanya tapi mulutku mendadak terkunci begitu melihat matanya yang berbinar terang dan setelah itu dia mulai bertepuk tangan dengan antusias. Ini mungkin agak memalukan, tapi aku belum pernah merasa sesenang itu selama hidupku. Ririka terus memuji permainan biolaku dan dia tampak sangat bersemangat.

“Hei, Evan, gimana kalo kita tulis lanjutannya?”

“Lanjutan?”

“Melodi itu belum selesai. Aku juga belum menamainya..,” dia tersenyum lebar, “sekarang aku sadar kalau aku gak perlu menulisnya sendirian. Hehe.. kamu mau bantuin aku?”

Aku tidak bisa menolak permintaannya dan hari itu kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan melodi itu. Setiap detiknya benar-benar menyenangkan dan aku tidak akan melupakan wajah bahagianya ketika akhirnya melodi itu selesai.

“Jadi kamu sudah memikirkan judulnya?” tanyaku tertarik.

Ririka mengangguk semangat dan dia tersenyum manis, “Garbera Melody..”

“Garbera? Apa itu?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Itu nama bunga favoritku..”

**

Aku membuka lembaran demi lembaran album itu. Sekarang aku hanya bisa mengenang semuanya. Pertunangan kami, pernikahan kami, dan semua waktu yang kami habiskan bersama. Semua kebahagiaan itu terasa sangat singkat. Tanganku terhenti di halaman terakhir album itu dan aku tersenyum pada selembar kertas yang terlipat itu.

Aku mengambil kertas itu dan deretan partitur yang sangat familiar menyambut mataku. Garbera Melody. Dadaku kembali sesak tapi aku berhasil mengendalikan diriku. Aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi dan aku kembali teringat perkataannya di hari ketika kami menyelesaikan melodi itu.

“Kamu tahu, Evan? Aku sering merasa putus asa dan aku mencoba membuat lagu penyemangat untuk diriku sendiri. Terima kasih karena sudah membantuku menyelesaikannya. Lagu ini akan selalu mengingatkan jika aku merasa sudah kehilangan kebahagiaan, maka aku hanya perlu bangun dan mengejarnya lagi. Ah, ngomong-ngomong ini berlaku juga buat kamu ya, hihi...”

Itu benar. Waktu itu aku belum mengetahui maksudnya. Tapi sekarang aku mengerti keputusasaannya. Dia berhasil menyembunyikan penyakitnya sampai detik-detik terakhir. Dan itu akan selalu menjadi penyesalanku karena tidak pernah menyadarinya.

Aku menutup album itu dan bangkit berdiri. Aku mengambil biolaku dan mulai memainkan melodi itu. Hanya dengan cara ini aku bisa merasa dekat dengannya meskipun dia sudah tidak terlihat lagi.

“Papa...”

Mataku terbuka dan permainanku terhenti. Aku tersenyum begitu melihat putri bungsuku sudah berdiri di depanku dan aku berlutut, “Pagi, Eina. Kamu bangun cepat rupanya. Ah, kamu bawa apa itu?”

Ririka kecilku memperlihatkan sesuatu yang dia sembunyikan di balik punggungnya dan dia menyodorkannya padaku, “Aku akan kasih ini buat mama...”

Sebuah karangan bunga garbera yang masih segar itu seolah menyadarkanku dan aku mengambilnya. Salah satu kebahagiaanku mungkin sudah pergi, tapi aku punya kebahagiaan lainnya. Dan aku tidak perlu mengejarnya karena Ririka sendiri yang meninggalkannya untukku.

“Makasih, Sayang. Mama pasti akan senang.”

**

Angin berhembus cukup kencang dan membuat dedaunan yang berguguran itu terbang. Aku berlutut dan meletakkan karangan bunga garbera itu di atas makamnya. Selama beberapa detik aku hanya menatap batu nisan itu tanpa kedip. Mungkin saat ini dia sedang melihat kami di suatu tempat yang tidak bisa kami lihat. Aku tertegun ketika tiba-tiba ketiga anakku memelukku dari belakang.

“Papa, jangan nangis...”

Aku hanya terkekeh pelan dan berbalik menghadap mereka, “Ayo kita pulang.”

Mereka ikut tersenyum dan mengangguk. Aku bangkit berdiri dan kembali menatap nisan itu. Untuk pertama kalinya aku bisa tersenyum di depan makamnya. Ada banyak yang ingin kusampaikan, tapi aku hanya akan mengatakan satu kalimat untuknya.

“Terima kasih untuk semuanya, selamat ulang tahun, Ririka.”***

Baca Juga: [CERPEN] Pria Penakut Penakluk Laut

JustFade Photo Writer JustFade

Gadis rumahan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya