[CERPEN] Membunuh Sang Jenderal

Tugasku adalah menembak Sang Jenderal

Aku tak menyangka akan mendapat tugas berat ini. Tugas yang memang tidak mudah untuk kuselesaikan. Membunuh seorang Jenderal yang memimpin pasukan Brigade 49. Pasukan brigade tempur yang menjadi veteran perang dunia. Pasukan ini juga yang dulu pernah menghajar Jepang pada perang Burma tahun 1944. Aku senang sekaligus takut. Tubuhku tiba-tiba menjadi berat. Seakan aku memikul beban tak kasat mata di pundakku. Apa jadinya jika aku gagal dalam tugas ini?. Tapi jika berhasil, aku akan membuka pintu gerbang sebuah perang suci. Sebuah perwujudan cinta terhadap Ibu Pertiwi.

Malam itu, aku dipanggil untuk menghadap oleh Kyai di kediamannya. Tak biasanya beliau memanggilku secara pribadi. Beliau ingin berbicara empat mata denganku. Sepertinya ada hal yang teramat rahasia yang akan dibicarakan denganku.

“Assalamu’alaikum Abah” Aku mengucap salam dan mencium tangan beliau.

“Wa’alaikum salam warahmatullah”

“Abah memanggil saya?”

“Iya, duduklah anakku. Ada hal penting yang akan kusampaikan. Jadi dengarkanlah baik-baik.

Beberapa hari yang lalu aku bermimpi, mendung gelap akan menyelimuti kota Surabaya. Dan aku melihat darah di mana-mana. Banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. Firasatku mengatakan bahwa akan terjadi perang yang tak dapat kita hindari. Perang yang memang harus terjadi, seperti Baratayudha di dalam kisah wayang. Perang untuk mempertahankan harga diri kita sebagai bangsa yang merdeka dan tak ingin dijajah kembali. Pasukan Sekutu akan datang. Maka bersiaplah. Persiapkan dirimu untuk menyambut mereka. Para Kyai juga telah sepakat bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil, maka menjadi suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim. Para Kyai dan santri dari seluruh Jawa Timur hari ini telah mulai bergerak menuju Surabaya. Anakku, Apakah kamu rela jika negeri ini dijajah kembali?”

“Tidak Abah!”

 “Ingatlah satu hal, bahwa cinta tanah air adalah bagian dari ajaran agama kita. Niatkan dirimu untuk membela negeri ini. Bahkan jika nyawa yang menjadi taruhannya. Gugur di medan tempur, syahid.”

“Maksud Abah?”

 “Iya nak. Jadi aku mengutusmu untuk menembak pemimpin pasukan penjajah ini. Dengan begitu mudah-mudahan dapat melemahkan kekuatan musuh. Sanggupkah kau anakku?”

Inggih Abah, semoga saya tidak akan mengecewakan panjenengan.”

“Yang terpenting yakinlah bahwa kamu mampu melaksanakan tugas ini. Sekarang pulanglah, temui Ibumu, mintalah restunya dan sampaikan salamku. Setelah itu langsung berangkatlah ke Surabaya.”

Inggih Abah, mohon doanya.”

“Do’a restuku menyertaimu anakku.”

**

Kyai yang juga guruku begitu memercayaiku hingga akulah yang dipilih untuk memikul tanggung jawab ini. Aku memanggilnya Abah, sebab sedari kecil aku “dititipkan” untuk menuntut ilmu agama di sini oleh Ibuku. Jadi beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.

Maka, tak akan ku sia-siakan kepercayaan ini. Kuterima amanah ini demi tanah airku. Demi kemerdekaan bangsaku. Tugas ini harus berhasil. Kini seolah-olah aku dihadapkan pada pilihan, Sang Jenderal yang mati atau aku yang akan kehilangan nyawa.

Sore hari aku berangkat menuju Surabaya, dalam perjalanan masih teringat jelas raut wajah Ibu yang berurai air mata saat aku berpamitan. Beliau memelukku dan berbisik di telingaku.

“Selesaikan tugas ini. Dan berjanjilah untuk pulang dengan selamat!”

“Iya Ibu, saya janji. Anakmu ini akan pulang.”

Entahlah, seperti apa perasaan seorang Ibu yang merelakan putranya pergi berperang. Dalam benakku masih tersimpan tanya kenapa aku yang dipilih untuk melaksanakan misi ini.

**

Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata dari Tentara Jepang. Selain itu, gerakan pemuda juga diorganisir sedemikian rupa, sehingga mereka siap menghadapi berbagai ancaman yang datang dari manapun.

Aku sampai di Surabaya malam hari, sesuai pesan guruku, aku harus bergabung dengan para laskar pemuda Surabaya di dekat Jembatan Merah. Kebanyakan dari mereka ternyata adalah para santri. Tak ada satu pun yang kukenal, tapi mereka langsung akrab denganku. Ada semacam ikatan yang menyatukan kami. Pimpinan laskar pemuda memanggil kami.

“Kebanyakan dari kita di sini baru pertama kali bertemu dan tak saling mengenal sebelumnya. Tapi saya yakin jiwa kita telah akrab. Kita disatukan oleh rasa senasib seperjuangan. Maka dari itu kita sebenarnya adalah satu. Satu jiwa satu tujuan. Kita lahir dan besar di tanah ini. Sudah seharusnya kita ikut andil angkat senjata melawan perampok yang ingin merebut dan merampas kota ini.

Saudara-saudaraku seperjuangan, mari niatkan hati kita untuk membela tanah air. Membela negeri ini. Pasukan penjajah telah mendarat di Surabaya, kabar yang saya terima mereka berjumlah 5.000 tentara dengan senjata yang canggih. Tapi kita tidak takut, kita tidak gentar sedikitpun. Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Tidak ada ruang sedikitpun untuk penjajah di Surabaya. Lebih baik kita mati dalam perjuangan daripada hidup terhina. Mereka datang dengan alasan untuk membebaskan kumpeni yang ditawan dan melucuti senjata Jepang. Tapi di balik itu sebenarnya Cindhil Abang iki arep njajah kutho Suroboyo maneh. Besok pagi persiapkan diri kalian untuk menggempur mereka. Yakinlah kita akan menang. Sebab, Allah bersama kita. Allaahu akbar!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dengan semangat berapi-api, pimpinan laskar pemuda berpidato untuk membulatkan tekad kami. Ia masih muda, Mas Aji namanya. Kuperkirakan usianya sekitar tiga puluh tahun. Tapi ia punya wibawa sebagai seorang pemimpin. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam sorot matanya. Ia asli arek Suroboyo. Usai berbicara panjang lebar mengenai rencana penyerangan esok hari, ia kemudian mempersilakan kami untuk istirahat.

Tubuh kami memang butuh tidur meski sekejap. Satu-persatu kami beranjak merebahkan badan dan memejamkan mata. Tapi kulihat Mas Aji tetap terjaga. Memastikan agar kami bisa benar-benar tidur terlelap. Tapi aku tetap tak bisa tidur, mata ini sulit terpejam. Memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Dan bulan perlahan tertutup mendung. Angin malam ini kurasakan semakin dingin.

***

Keesokan paginya kami berangkat untuk berperang. Kami menyerbu salah satu pos pertahanan Sekutu. Ada delapan Pos pertahanan yang dibangun Sekutu. Tiga puluh ribu rakyat bersenjata api dibantu oleh seratus ribu rakyat bersenjata tajam menggempur dari semua penjuru.

Dua hari perang tanpa henti. Suara desing peluru dan ledakan granat memekakkan telingaku. Kami menggempur musuh habis-habisan. Tentara Sekutu yang baru beberapa hari datang ke kota ini dan tidak siap bertempur, mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding. Mereka sangat licik. Dalam posisi terdesak, Sekutu menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan dari Jakarta. Untuk menyelamatkan ribuan nyawa tentara Sekutu yang sudah kami kepung.

Sore hari bapak presiden dan wakilnya tiba di Surabaya menumpang pesawat militer Sekutu. Hari itu juga bapak Presiden bertemu dengan sang Jenderal Sekutu untuk berunding. Akhirnya dicapailah kesepakatan gencatan senjata. Usai melakukan kesepakatan, bapak Presiden langsung kembali ke Jakarta. Tapi di beberapa tempat masih terjadi baku tembak. Banyak kawan-kawanku yang telah gugur.

Emosiku tersulut hingga ke ubun-ubun melihat kawanku terkapar bersimbah darah. Kesedihan yang bercampur rasa marah membuat aku menangis. Air mataku menetes membasa hi tanah ini. Aku teringat tujuanku semula. Memenuhi tugas yang diberikan oleh guruku yaitu menembak sang Jenderal.

Sore hari. Setelah baku tembak agak mereda, aku mengendap-endap menyelinap diantara bangunan. Mobil itu berhenti di tengah jembatan. Aku mulai mendekati mobil itu. Tak disangka, sang Jenderal justru turun dari mobilnya. Ada tiga perwira yang mengawal. Ia mungkin mengira perang telah usai. Dan ia salah, ia tak sadar bahwa ada yang mengancam nyawanya. Ia berdiri di samping mobilnya.

Inilah saatnya.

Kuarahkan pistol tepat ke dadanya dari jarak lima belas meter. Tanganku gemetar. Amarah dan tekadku menguap entah kemana. Sang Jenderal terlampau berwibawa bagiku. Tiga perwira sang Jenderal tiba-tiba mengarahkan senapan kepadaku. Mereka tahu keberadaanku. Sementara aku masih diam mematung dengan tangan gemetar. Dan…dor…dor, arrggh…

Kaki dan tangan kananku tertembus peluru. Juga perutku. Pistolku terjatuh. Darah segar mengucur dan membasahi pakaianku. Aku tergeletak dan tak bisa bergerak. Bayangan malaikat kematian terasa sangat dekat. Berkelebat bayangan orang-orang yang kusayangi, Ibuku, Guruku, teman-temanku. Kepalaku berdenyut, mataku mulai kabur dan kesadaran ini menipis. Dada ini terasa sesak.

“Maafkan saya Guru.”

Tiba-tiba… dor…dor…dor. Terdengar tiga kali pistol meletus. Sang Jenderal roboh. Lalu “Buumm.” Mobil itu meledak dan terbakar. Ada granat yang dilemparkan. Sang Jenderal dan tiga orang perwira tewas seketika.

Hari mulai gelap. Ada langkah kaki mendekatiku. Pandanganku mulai tak jelas, Samar. Aku berusaha menegakkan kepalaku untuk melihat wajahnya. Tapi sudah tak ada sisa tenaga. Sudah terlalu banyak darah yang keluar. Ia mengangkat tubuhku di pundaknya. Dan berlari, mungkin bergegas ke pos medis untuk menolongku.

“Bertahanlah saudaraku, jangan mati dulu,” katanya lirih.

Aku pingsan saat ia melarikanku. Entah apa lagi yang terjadi. Aku tak tahu. Tiga hari aku tak sadarkan diri. Petugas medis dengan telaten merawatku. Peluru di tubuhku telah di keluarkan. Sedikit demi sedikit kondisiku pulih. Setelah sadar, kabar mengejutkan kuterima. Kaki kananku terpaksa diamputasi. Sebab, terjadi infeksi pada lukaku.

Kusingkap selimut yang menutup kakiku. Dan kulihat kaki kananku telah buntung sebatas lutut. Air mataku tak terbendung. Aku meraung. Tak percaya atas apa yang kulihat. Aku mulai membayangkan, aku akan memakai tongkat penyangga seumur hidupku.

“Maafkan saya mas, kami terpaksa mengamputasi kaki kanan anda. Sebab, infeksi itu akan menjalar jika tak dilakukan amputasi. Sekali lagi maafkan saya,” kata dokter di pos medis.

Aku diam saja. Tak menjawab sepatah katapun. Pikiranku menerawang hari-hari yang akan kujalani dengan kaki buntung ini. Di dalam hati aku masih belum bisa menerima, meski akalku mencoba untuk menghibur dengan kata-kata mutiara. Bahkan ingatan tentang semua ajaran Guruku masih belum bisa menenteramkan hatiku.

**

Berita tewasnya Sang Jenderal menggemparkan pihak Sekutu. Baru kali ini dalam perang, Jenderal mereka terbunuh. Mereka pun menuduh pihak Indonesia telah melanggar gencatan senjata dan secara licik membunuh sang Jenderal. Dengan tuduhan tersebut, Sekutu memperoleh alasan untuk membersihkan kekuatan bersenjata Indonesia, khususnya rakyat Surabaya.

Keesokan harinya, Sekutu memperingatkan rakyat Surabaya agar menyerah, jika tidak, Surabaya akan dibumihanguskan. Tetapi rakyat Surabaya menolak. Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000 tentara mendarat diam-diam di Surabaya. Selain diperkuat oleh sisa Brigade 49, masih ditambah 1500 Marinir dan dilengkapi dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan tank kelas Sherman yang merupakan senjata tercanggih.

Sekutu kemudian memberikan ultimatum sampai batas waktu tanggal 10 November pukul enam pagi. Ultimatum yang isinya adalah bahwa kami harus menyerahkan senjata dengan tangan di atas kepala layaknya seorang tawanan. Jika tak menghiraukan peringatan keras ini maka, kota Surabaya akan diratakan dengan tanah.

Aku yang mendengar tentang ultimatum ini tak kuasa menahan emosi. Kami begitu direndahkan, seakan-akan kami adalah pembantu yang harus menurut pada majikan. Sebelum waktu ultimatum habis, kami telah membuat persiapan dengan membuat pertahanan di tiga sektor.

Pagi ini suasana begitu mencekam. Surabaya membara. Suara dentuman tak henti-hentinya terdengar. Bom meledak di mana-mana. Dari arah pelabuhan, kapal perang terus menembak. Dari atas, pesawat Thunderbolt dan Mosquito menjatuhkan telur-telur yang menghancurkan bangunan dan rumah-rumah.

Di darat, tank Sherman pun mengamuk. Inggris menggempur Surabaya secara brutal dengan seluruh armada darat, laut, dan udara. Pemboman secara membabi-buta ini telah menimbulkan korban yang sangat besar. Ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.

Kami tidak tinggal diam. Kami melakukan perlawanan atas serangan tersebut. Berbekal keyakinan dan keberanian, kami pun balas menyerang. Orasi Bung Tomo yang kami dengar di radio, kian membakar semangat kami untuk mengusir penjajah. Pertempuran terus berlanjut hingga tiga minggu.

Kota Surabaya hampir hancur total. Mimpi dan firasat guruku ternyata benar. Tanah Surabaya berwarna merah, dibasuh oleh darah para pejuang. Mayat-mayat bergelimpangan. Puluhan ribu rakyat menjadi korban. Meski kali ini aku tak ikut berperang, karena keterbatasan fisikku, namun hatiku terbakar dan ikut menangis. Kecamuk perang telah meluluh lantakkan Surabaya.

Kami mungkin kalah. Tetapi keberanian kami menggema, menjadi inspirasi bagi Negara di Asia lain yang sedang terjajah. Kami menunjukkan pada dunia bahwa kemerdekaan itu layak dipertahankan. Bahwa kami pun pantas untuk menyandang predikat sebagai Negara yang merdeka.***

Eka Madyasta Photo Writer Eka Madyasta

Suka es jeruk

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya