[CERPEN] Sumur

Angin itu menggilasku tanpa ampun

Aku berjalan kaki dalam perjalanan pulang dari rumah seorang teman. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba aku lupa jalan pulang. Padahal rumahku dekat saja dari sana. Aku diam sejenak, berusaha memahami keadaan ini. Tak lama kemudian ada seekor kura-kura hitam menghampiriku. Ia kura-kura darat, bentuk segienam terukir di cangkangnya dengan garis merah kekuningan. Ukurannya tidak terlampau besar. Cangkangnya seukuran batok kelapa.

“Kawan, di persimpangan depan, beloklah ke kanan,” ujar kura-kura itu. Kemudian ia berlari mendahuluiku.

“Hei, tunggu!”

Entah kenapa tanpa pikir panjang, aku ikuti saran sang kura-kura. Aku berlari sekuat tenaga menyusulnya. Tapi nihil, ia tak terkejar. Bayangannya pun tak terlihat. Aneh, biasanya kan kura-kura jalannya lambat. Aku terus berlari hingga menemui persimpangan itu. Sebuah perempatan. Aku pun memilih arah kanan. Sesuai petunjuk meragukan itu.

Aku berjalan pelan sambil mengamati sekeliling. Semakin lama suasana semakin sepi. Tak terasa aku tiba di hutan yang sangat lebat dengan pepohonan raksasa yang tinggi menjulang. Matahari bersinar terang di langit, tapi di bawah pohon-pohon ini agak gelap karena terhalang rimbunnya daun-daun. Sinar matahari hanya mengintip di sela-sela daun.

“Teruslah berjalan, kawan. Jangan menyerah meski kau belum tentu menang.” Suara kura-kura itu mengagetkanku. Sambil mulutnya mengunyah daun. Ia ternyata telah menungguku di atas batu sebesar kerbau di sebelah kananku. Kura-kura yang aneh.

Kemudian ia meninggalkanku lagi. Kura-kura itu berlari lebih cepat dari sebelumnya. Sekejap ia telah hilang di telan rimbunnya pohon di depanku. Aku berjalan lagi sambil berusaha mencerna kata-katanya. Kuulangi ucapannya pelan, tapi aku masih juga belum paham. Lamat-lamat telingaku menangkap suara gemuruh yang semakin lama semakin mendekat. Tak urung, badanku berbalik. Mataku membelalak, mulutku pun menganga, sesaat aku mematung melihat pemandangan ini. Pusaran angin yang meluluhlantakkan pohon-pohon. Menggilas dan menghancurkan semuanya. Dan sialnya angin itu menuju ke arahku.

Langkah kakiku menerobos semak perdu. Aku lari sekencang-kencangnya berharap terbebas dari topan yang menggila itu. Namun angin itu terus mendekat dan ukurannya semakin membesar. Bagai mengejar buruannya, angin itu tak mau melepaskanku. Rasanya ia semakin cepat saja. Ia terus saja memburuku. Wajahku kini mungkin seperti kepiting rebus setelah sekian lama berlari. Tenagaku hampir habis, jantungku mau meledak rasanya. Langkahku kian melambat. Hingga…

Angin itu menggilasku tanpa ampun. Menghisapku ke tengah pusaran dan mengadukku seperti mesin blender. Rasanya seratus kali lebih menyeramkan dibanding naik roller coaster. Aku tak ingat lagi atas dan bawah. Kepalaku serasa hilang. Kemudian angin itu melemparku seenaknya dan aku terjatuh ke dalam sumur.

Ya, sebuah sumur.

Namun aku beruntung, bagian belakang bajuku tersangkut di akar besar yang melintang di tengah sumur ini. Akar yang menembus dinding sumur di kedua sisi. Kepalaku masih sangat pusing. Kulihat ke bawah, di dasar sumur ternyata bukan air, melainkan hewan melata yang paling kuhindari selama ini. Ular. Dan tidak hanya satu atau dua, tapi ada ribuan ular yang mendesis dan menggeliat-geliat. Mengerikan.

Bagaimana jika aku jatuh? Batinku. Jika pun ajalku tiba hari ini, aku tak ingin mati jadi santapan ular kelaparan dan menjijikkan itu. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu. Keringat dingin membasahi kening dan punggungku. Cepat-cepat tanganku meraih akar pohon. Kini aku duduk di atas akar pohon. Kuhela napas panjang, sisa pusing kepalaku perlahan hilang. Mataku tak berani memandang ke bawah. Melirik pun aku tak sudi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kesialanku ternyata belum usai. Di dinding sumur tepat di sebelah akar pohon ini, ada lubang kecil seukuran bola tenis. Ternyata ada dua buah lubang. Di kiri dan di kanan, masing-masing satu. Ada yang keluar dari situ. Cericit suara yang kukenal yang seolah mengejekku. Mereka ini telah siap melipat gandakan kesialanku. Tikus-tikus ini mulai menggigiti akar pohon tempatku bertahan. Akar pohon ini seperti digergaji pelan-pelan, dan para tikus ini sepertinya menikmatinya. Ya Tuhan, kesialan macam apa ini?

Seiring tikus-tikus yang sibuk mengunyah akar pohon, dari atas menetes cairan yang mengenai kepalaku yang kukira adalah air. Ternyata bukan. Kuraba kepalaku, cairan ini lengket, kental dan berbau harum. Kemudian kujulurkan lidahku, rasanya manis sekali.  Hhmm…! Hei, ini madu. Ternyata tepat di atas sumur ini terdapat sarang lebah yang menggantung di dahan pohon.

Ah, aku hampir terlena. Suara berisik gigi tikus yang beradu dengan kayu itu menyadarkanku. Aku menelan ludah berkali-kali. Bagaimana caraku keluar dari sumur brengsek ini. Rasanya aku sampai pada batasku. Perasaanku bercampur aduk antara sedih, ngeri, bingung dan takut. Namun sebelum ada air mata yang diproduksi, tiba-tiba aku teringat ucapan sang kura-kura. Ya benar, aku tidak boleh menyerah dan mati konyol di sini. Tidak ada orang yang bisa menolongku. Aku harus berusaha sendiri untuk keluar dari tempat terkutuk ini.

***

Tikus-tikus kurang ajar itu tak kenal takut. Entah kenapa emosiku jadi tersulut. Aku beringsut ke kiri dan menendang tanpa ampun. Tikus itu pun jatuh dan jadi santapan hewan melata di bawah sana. Aku kemudian beringsut ke kanan, menendang tikus satunya. Tikus itu pun jatuh dengan sukses menyusul temannya. Yes berhasil!  Aku bersorak dalam hati.

Sialku ternyata masih berlanjut. Berkali-kali aku menendang dan menjatuhkan mereka tapi Tikus-tikus ini ternyata muncul lagi dan muncul lagi dari lubang. Seperti tak ada habisnya.

Aku mencoba peruntungan terakhir. Memanjat dinding sumur ini. Ada celah retakan kecil tempat jariku mencengkeram. Kucoba berkali-kali memanjat hingga kakiku kehilangan tenaga. Kakiku tetap tak bisa memijak. Licin sekali. Dinding sumur ini ternyata lembab dan berlumut. Kini tidak ada lagi yang bisa kuperbuat.  Selama ini aku tak memercayai adanya keajaiban. Tapi sekarang aku mengharapkannya untuk datang.

Tak lama kemudian terdengar retakan dari akar pohon tempatku berpijak. Sebuah pertanda buruk. Pekerjaan para tikus ini rupanya berhasil. Aku pun terjun bebas bersama akar pohon. Lama sekali rasanya aku melayang jatuh, tak sampai-sampai ke dasar sumur. Yang kulihat hanya sebuah kegelapan teramat pekat hingga membuat dadaku terasa sesak.

Arrgghh!…

Aku berteriak sekuat tenaga. Dan…

***

Aku terengah-engah dengan badan gemetaran. Keringat membanjiri sekujur badanku. Aku mengamati sekeliling. Hanya gelap. Kemudian aku nyalakan lampu dan melihat jam dinding yang berbentuk kura-kura itu. Masih pukul tiga pagi. Sialan.

Baca Juga: [Cerpen] Tuduhan

Eka Madyasta Photo Writer Eka Madyasta

Suka es jeruk

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya