[CERPEN] Percakapan Patah Hati

Tentang aku, kamu dan segala percakapan kepatah hatianmu

Sore ini aku bergegas menuju kafe setelah seseorang menelepon mengajakku untuk bertemu. Sesampainya di kafe, aroma kopi langsung menyeruak ke dalam indera penciumanku, menenangkan. Aku pun memesan secangkir kopi dan memilih untuk duduk di kursi kayu di salah satu sudut ruang yang tak terlalu ramai sembari menunggu kedatangannya.

Tak lama bunyi lonceng pintu kafe terdengar, menandakan ada pelanggan lain yang datang. Sontak, aku menoleh ke arah pintu dan mendapati priaku, maksudku, sahabat baikku dengan wajah kusutnya. Ada apa dengan dirinya, batinku.

"Jangan ditanya, dia yang buat aku begini," tebaknya langsung. Mungkin ekspresi khawatirku mudah ditebak.

"Patah hati ceritanya, hmm?" Ejekku dengan senyum miring.
"Kamu pikir apa lagi yang bisa membuat wajahku kusut seperti ini? Kamu kan tahu, deadline kerjaan tak mungkin membuatku sampai seperti ini," ucapnya sedikit kesal.

Oh Tuhan, jangan katakan karena wanita itu lagi. Apa lagi yang wanita itu telah lakukan padanya. Baiklah, pertemuan kali ini sudah dipastikan akan terasa amat sangat membosankan. Mengingat pertemuan kami yang terakhir, dengan kondisi yang sama, dia menceritakan tentang wanita itu, wanita yang sama, yang sukses membuatnya patah hati entah yang ke berapa kali.

Setelah dia kembali dengan secangkir kopi pesanananya, aku pun bertanya, "mengapa cinta membiarkanmu patah?"

Dan kamu hanya membisu bersama tatap sendumu.

Lantas tak lama, kamu pun menjawab, "mungkin aku yang terlalu memuja cinta..."
"Memuja dia lebih tepatnya," potongku cepat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ah, aku sungguh benci situasi ini. Rasanya aku ingin meneguk kopi hangatku ini tanpa sisa, lalu kemudian pergi meninggalkan kafe dan mengabaikan segala cerita tentang kepatahhatiannya.

"Dengar, kamu harus tahu, jika semua yang patah tak akan bisa dikembalikan seperti semula," ucapku iba.

Aku tahu betul, kamu paham perihal ucapanku barusan. Namun nyatanya, meski kata itu berkali-kali terucap dari mulutku, kamu tetap saja bersikeras mencinta, berkali-kali, pada hati yang sama. Menyebalkan.

"Jika aku berhenti mencinta, aku tak akan tahu sekuat apa hatiku jika patah berkali-kali. Dan kali ini rasanya beda, lebih sakit," bantahmu sembari memijat pelipis.

**

Di hari setelah kamu bercerita tentang mencinta dan patah, kamu selalu terlihat tidak ingin berusaha untuk bangkit dan seperti tak ingin berpaling darinya. Seolah kamu merasa bahwa kemarin sore hanya mimpi dan seolah patahmu masih bisa tersambung dengan sempurna. Kamu terlalu mengharapkannya.

Aku menghela nafas lelah, mungkin ini lah jawabannya. Aku memang tak akan pernah punya kesempatan. Nyatanya, aku hanya berperan sebagai sahabat baikmu yang setia mendengar percakapan patah hatimu.***

Baca Juga: [CERPEN-AN] Selalu Ada Maaf untuk Cinta yang Tidak Pernah Salah

Eka Agustiani Photo Writer Eka Agustiani

Pilihan hidup cuma dua, ikuti alurnya atau tinggalkan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya