[CERPEN] Pria Penakut Penakluk Laut

Ada rindu dalam laut, laut menguatku

"Berenanglah, Nak, bersama debur ombak agar kau kuat macam karang," cakap Mamak sore itu di teras rumah.

"Ah, tapi Mak, aku takut kalau nanti ombak menenggelamkanku. Takut dia marah padaku karena berani meninggalkan Mamak di gubuk sendiri, sedang aku bersenang-senang di laut lepas," bantahku pada Mamak.

"Tak apa, ombak tak akan menenggalamkanmu. Jika kau pergi terlalu jauh, dia pasti akan menyeretmu pulang dengan selamat, dengan berbagai cara. Percaya pada Mamak, doa Mamak tak pernah tak dikabulkan-Nya," paksa Mamak sambil mengelus puncak kepalaku.

Aku menghela napas, beginilah Mamak, menginginkanku seperti Bapak. Bapak ialah seorang nelayan hebat yang mampu mencari ikan di laut berhari-hari, tak takut pada hantaman ombak yang seringkali mengguncangkan perahunya, tak gentar mengarungi laut demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Tapi sayang, Bapak sudah tiada. Mungkin ombak geram dengan keberanian Bapak yang terlalu berlebih pada laut. Membuat laut tak segan mematikan Bapak dengan menenggelamkannya di sana tanpa pernah membawanya pulang ke bibir pantai, hanya perahunya saja yang ditemukan nelayan lain dalam keadaan terbalik dan hancur di dekat karang.

"Baiklah, Mak.  Aku akan seperti Bapak yang tak takut pada laut dan semoga saja nasibku tak sama seperti Bapak. Aku janji pada Mamak akan pulang dengan membawa sepeti ikan dan dengan keadaan selamat," ucapku sedih sedikit tak rela.

**

Keesokannya setelah membereskan segala perkakas laut yang akan kubawa dan sedikit bekal yang Mamak buat khusus untuk beberapa hari ke depan, lantas aku memeluk lama Mamak yang tampak tak mampu menyembunyikan raut wajah sedihnya dan untuk kemudian bergegas menuju perahu. Semoga laut menerimaku dengan baik, batinku.

Pada akhirnya, aku meninggalkan Mamak sendiri di gubuk kecil yang tak jauh dari pantai. Perasaanku seakan berkecamuk, entah khawatir meninggalkan Mamak sendirian atau senang karena telah menyanggupi permintaan Mamak untuk berlayar, untuk tak takut pada laut. Entah bagaimana perasaan Mamak, yang kutahu, wajah keriputnya tadi nampak sekali sendu tercampur air mata.

Hingga setengah perjalanan, hatiku meronta-ronta meminta pulang. Mungkin kalau bukan karena Mamak, bisa saja aku berbalik arah pulang atau paling tidak, aku membawa Mamak untuk pergi mengarungi laut dan menuju pulau seberang. Meski ku akui, senja dari atas perahu terlihat lebih indah.

Pernah suatu waktu, ketika Bapak masih hidup, aku ikut bersamanya melihat laut dari bibir pantai. Ya, hanya bibir pantai, sebab Bapak tahu, biarpun aku anak pesisir dan dibesarkan di lingkungan serba laut, aku sungguh takut pada laut. Takut tenggelam dan takut dimakan ikan sejenis hiu atau paus. Huh, dasar payah!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pernah pula Bapak berkata, "Nak, jika kau terus-terusan takut pada laut, bagaimana kau dapat melanjutkan mimpimu di pulau bahkan di negeri seberang sana? Kau tahu bukan, untuk sampai ke sana kamu harus melaut selama berjam-jam?

Belajarlah untuk tak takut pada laut, karena sesungguhnya isinya laut bisa memberimu asupan makanan untuk perutmu yang semakin membesar itu, bias mentarinya bisa memberimu keindahan mata yang sulit terlupakan, deburan ombaknya mampu menenangkanmu saat gundah. Kau mengerti kan, Anakku?"

Tapi sayang, ucapan Bapak kala itu, hanya aku balas dengan tawa kecil sembari berkata, "Ah, itu memang sudah tugas laut memberi apa yang kita butuhkan, Pak. Kita ini kan orang laut, bukan orang gunung, apalagi orang kota." Dan Bapak pun hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Sejujurnya aku memang tak suka jika ada yang memaksaku menyukai laut. Dan semakin tak suka lagi ketika Bapak tewas saat melaut dan hanya perahunya saja yang ditemukan. Mungkin Mamak benar, aku tak boleh terlalu benci pada laut. Toh, aku memang harus melaut untuk membiayai kehidupan kami, kecuali jika aku benar-benar merantau ke kota.

**

Tak terasa sudah berminggu-minggu aku mengarungi laut, merantau jauh dari Mamak. Entah seberapa kuat ombak mengombang-ambingkan perahuku atau seberapa dingin kulit hitam legamku terkena terpaan angin laut dan hujan badai. Tak peduli, sungguh aku sudah tak takut pada laut. Terpenting aku dapat segera sampai di bibir pantai dan menuju gubuk kecil dimana Mamak pasti sedang menungguku pulang.

Selama beberapa minggu ini, tak banyak yang kulakukan. Hanya menangkap ikan di laut kemudian menjualnya di dermaga terdekat. Tak banyak pula yang aku pikirkan, hanya Mamak dan Mamak. Apakah Mamak sehat di sana? Apakah Mamak kesepian? Apakah Mamak rindu padaku? Terlalu banyak pikiran tentang Mamak, mungkin karena Mamak sudah renta dan kutinggalkan sendirian di sana.

Selama berminggu-minggu ini pula, aku mencari informasi tentang tewasnya Bapak. Paling tidak, ada kenangan terakhir tentang Bapak, selain perahu dan sobekan pakaian usang Bapak yang ditemukan oleh nelayan lain. Tapi nihil, pencarianku sia-sia. Mungkin Bapak tak ingin dicari atau Bapak sudah tenang karena ia tewas di laut lepas, laut yang sudah menjadi rumah kedua baginya.

Tak terasa perahuku sudah mendekati bibir pantai dan tak terasa pula sebentar lagi aku akan bertemu Mamak. Pemikiran tantang Mamak membuatku semakin tak mampu menahan rindu hingga akhirnya perahuku benar-benar telah sampai di bibir pantai.

Tepat seperti dugaanku, aku melihat Mamak sedang menjemur ikan di teras rumah. Wajahnya semakin keriput, rambutnya semakin memutih, tubuhnya pun semakin kurus dan bungkuk. Ah, Mamak sudah pasti ia kesepian di sini, batinku.

Ketika melihatku, Mamak spontan memelukku lama dengan tangis paraunya. Beberapa kecupan dan ucapan rindu diucapkannya membuatku ikut menangis haru. Ternyata aku sudah benar-benar kembali pada Mamak meski rindu belum sepenuhnya usai. Kenyataan lainnya, aku pun berhasil menaklukkan laut.***

Baca Juga: [CERPEN] Yang Hilang Bersama Hujan

Eka Agustiani Photo Writer Eka Agustiani

Pilihan hidup cuma dua, ikuti alurnya atau tinggalkan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya