[CERPEN] Di Antara Rak Buku

Akhirnya kau datang

Setelah hujan lewat. Setelah angin redam. Setelah dingin lelap. Setelah resah reda, kau datang. Dengan air muka yang biasa saja. Seakan-akan kita adalah dua makhluk yang baru pertama kali bertemu. Seakan-akan kita bukan siapa-siapa di antara dua rak buku panjang yang telah bersahabat cukup lama. Seakan-akan kita tanpa sengaja ada di lorong panjang lantai dua perpustakaan termegah di kota ini.

Dengan atau pun tanpa sengaja, sama saja. Yang penting kau datang. Di saat yang tepat, di tempat yang tepat. Ketika aku ingin meminta penjelasan yang paling jelas. Ketika berbulan-bulan kau lenyap tanpa kabar seperti ditelan tanah merah tempat kita terakhir bersua.

Dengan atau pun tanpa sengaja, sama saja. Yang penting kau akhirnya datang. Setelah aku nyaris putus asa mencarimu di mana-mana. Di rumahmu, di rumah temanmu, di rumah temannya temanmu. Di taman kota, di pasar, di halte, di stasiun, di pelabuhan, di bandara. Di panti asuhan, di gang-gang sepi, di rumah sakit jiwa, di jalan raya, di sana dan di sini tak ada.

Lalu tanpa pertanda apa-apa kau hadir di hadapanku siang ini, setelah hujan lewat, setelah dingin lelap, di tempat pertama kita ada. Namun, kau masih bersikap biasa saja. Tanpa ekspresi. Tanpa senyum, tanpa salam, tanpa sapa.
Tanpa tawa atau marah. Datar. Aku pun kebingungan. Mungkin kau hilang ingatan. Mungkin kau hanya pura-pura diam.

"Hai, apa kabar?" Aku membuka percakapan dengan riang dan jantung yang berdegup kencang.

Kau diam. Tak menjawab. Tak menatap.

"Lho, kok diam? Kamu ke mana aja? Berbulan-bulan aku cari, gak ketemu."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kau masih diam. Tak menjawab. Tak menatap.

Aku bertambah bingung. Mungkin kau sudah gila. Atau kau hanya pura-pura.

Tak sampai dua menit kita bersama. Kau kemudian berjalan menjauhiku. Tanpa berkata apa-apa. Tanpa ekspresi apa-apa. Lewat begitu saja. Aku berusaha mengikutimu dari belakang. Menuruni tangga. Sampai ke pintu utama. Kau masih tak menghiraukanku yang memanggil-manggil dari belakang.

Lalu aku kehilangan dirimu di halaman yang begitu luas . Aku melihat sekeliling, tidak ada. Secepat itu kau datang, secepat itu kau berlalu. Tetapi, setelah kuperhatikan dengan saksama, bukan hanya kau yang hilang. Semua orang di sini juga hilang. Tak ada siapa-siapa. Aku sendirian di bawah kaki gedung yang bersahaja ini. Bahkan, angin pun tak terasa, suara apa pun tak terdengar.

Aku semakin bingung. Hanya jam tangan pukul tujuh dan langit yang telah gelap yang memberiku jawaban. Perpustakaan tidak buka sampai malam. Orang-orang sudah pulang sejak empat jam lalu. Dan aku tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa ada di sini. Mengapa siang begitu cepat berganti malam. Bukan sekali aku mengalami hal semacam ini. Sudah berulang kali sejak aku kehilanganmu. Kejadian yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Yang hanya membuatku sakit jika berlama-lama memikirkannya.

Tidak tahu harus berkata dan melakukan apa. Aku dipaksa pasrah atas halusinasiku sendiri. Atas pikiran yang kubuat-buat sendiri. 

Seketika aku tersungkur. Bertekuk lutut. Terduduk tak berdaya. Untuk ke sekian kalinya, hati dan pikiranku menolak percaya bahwa kau memang benar-benar telah tiada, sejak berbulan-bulan lalu.***

Ekos Saputra Photo Verified Writer Ekos Saputra

gemar membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya