[CERPEN] Malaikat Maut

Pada dini hari yang damai

Pada suatu dini hari yang damai di sudut kota yang sedikit dingin, seorang lelaki terbangun dari nyenyak tidurnya ketika terdengar ketukan kasar dari pintu depan. Ketukan yang ganjil. Sesuatu seperti mengancamnya, entah datang dari mana perasaan itu.

"Aku tidak mengundang siapa pun ke rumahku tengah malam begini," ia membuka suara.

"Aku yang datang sendiri," jawab suara dari luar rumah. Suara yang belum pernah dikenalinya.

"Tidak ada yang tahu alamatku. Bahkan teman dan keluargaku sendiri."

"Aku tahu."

"Itu artinya kau berbohong, hanya ada satu orang yang tahu di mana rumahku. Orang itu sudah mati enam bulan lalu."

"Orang yang kau sebut itulah yang memberitahuku tempat tinggalmu."

"Itu artinya kau berbohong dua kali."

"Apa alasanmu menyebutku berbohong?."

"Karena hanya aku yang hari ini tahu di mana aku tinggal."

"Itu artinya kau tidak menyimak ucapanku. Aku tahu tempat tinggalmu dari orang yang kau sebut mati enam bulan lalu itu."

"Dan itu artinya kau telah berbohong tiga kali dalam waktu dua menit."

Kemudian hening. Tidak ada satu suara pun. Bahkan cecak di langit-langit ruang tamu itu ikut diam, mungkin dia sedang menguping. Hanya udara yang terdengar hembusannya.

"Halo?" Laki-laki itu menempelkan telinganya lebih dekat ke pintu. "Sebenarnya kau ini siapa?"

"Sebenarnya aku ini malaikat maut," jawab suara dari luar.

"Malaikat maut?"

"Ya."

"Apa tujuanmu datang kemari?"

"Kau pikir apa lagi pekerjaanku?"

"Oh, jadi kau mau mencabut nyawa? Kebetulan sekali ada seekor cecak tua renta yang sedang menguping pembicaraan kita."

"Tapi Tuhan bilang tugasku malam ini bukan untuk binatang. Aku ke sini untuk mengambil nyawamu."

"Ah, tidak mungkin. Pasti kau tidak fokus saat mendengarkan perintah Tuhan. Coba kau kembali ke surga dan tanyakan kembali."

"Malaikat tidak pernah salah. Sudah, cepat buka pintunya!"

"Sabar, sabar. Malaikat mestinya sabar."

"Tidak bisa. Harus cepat. Subuh ini aku ada tugas mencabut nyawa yang lain. Bukan cuma kau urusanku."

"Tapi aku belum sempat tobat."

"Kau tidak perlu tobat. Temanmu yang mati enam bulan lalu itu pun juga tidak sempat tobat di ujung hayatnya."

"Dari mana kau tahu?"

"Aku juga yang mencabut nyawanya waktu itu."

"Oh, benarkah?"

"Benar."

"Apa yang ia katakan padamu waktu itu?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Dia memberiku sebuah rahasia."

"Rahasia apakah itu?"

"Kau harus mendengarkan dengan benar. Buka dulu pintunya."

"Baiklah."

Laki-laki itu membuka pintu. Di hadapannya berdiri malaikat maut dengan wajah yang tidak menyeramkan.

"Aku pikir wujudmu menakutkan. Rupanya biasa saja."

"Karena aku sedang menyamar."

"Aku baru tahu malaikat menyamar saat bekerja. Jadi, apa yang dikatakan temanku sebelum kau mengakhiri hidupnya?"

Malaikat maut mendekatkan mulutnya ke telinga laki-laki itu.

"Dia bilang," malaikat maut berbisik pelan, “’ambil juga nyawanya, ambil juga nyawanya, dia yang membunuhku’, maka di sinilah aku sekarang. Setelah sekian lama mencari alamat rumahmu."

“Ti..tidak..A..aku...” Laki-laki itu terbata, mulutnya seolah terkunci mendengar kata-kata malaikat maut. Ingatannya terbang ke sore yang menyenangkan sekaligus menyedihkan itu.

"Kau tidak bisa berbohong pada malaikat. Kau mengambil semuanya. Semuanya. Uang yang kalian rampas dari bank enam bulan lalu. Kau membunuhnya saat kalian bertengkar soal pembagian harta."

Laki-laki itu tahu apa yang harus dilakukan. Ia berbalik badan dan dengan cepat masuk ke dalam rumah, membanting pintu. Malaikat itu tidak bisa membunuhnya lagi.

"Sia-sia. Besi paling tebal pun bisa kutembus. Apalagi sebilah kayu jati ini." Malaikat maut sudah berdiri di dalam ruang tamunya. Kali ini, wajahnya memang menyeramkan. Lalu mengeluarkan sebuah benda yang tampaknya sangat tajam. "Kau ingat pisau ini? Lain kali, jangan tinggalkan barang bukti di TKP. Untung aku mengambilnya lebih dulu sebelum polisi."

Laki-laki itu benar-benar tidak bisa bersuara lagi. Ia hanya sanggup diam. Tak ada yang bisa dilakukannya ketika ujung pisau itu mendekat dan menekan dadanya.

Ingatannya kembali terbang ke sore yang seharusnya tidak perlu ada kesedihan itu. Ia hanya bisa pasrah dan menyerah memikirkan beginilah akhir hidup dari seorang pencuri dan pembunuh. Pelan-pelan, benda tajam itu mengoyak bajunya, membelah kulit dadanya. Rasa sakit tak tertahan dan tak tertanggungkan menyerang sekujur tubuhnya ketika perlahan demi perlahan pisau itu menusuk masuk menuju inti jantungnya. Darah segar bermuncratan, mewarnai udara malam yang bisu.

Di detik-detik terakhir, akhirnya sebuah suara keluar terseret-seret dari mulutnya yang merah.

"Bolehkah aku meminta satu hal terakhir?"

"Tentu," jawab malaikat maut. "Seperti temanmu yang juga meminta satu hal di akhir hidupnya."

"Ambil juga nyawa Tuhan. Ambil juga nyawa Tuhan. Atas izin-Nya peristiwa perampokan itu berjalan lancar. Atas izin-Nya aku bisa membunuh temanku."

"Baik," malaikat maut bergumam lirih.

Setelah itu tak ada lagi suara yang terdengar. Lantai keramik sempurna merah. Seonggok daging membujur kaku. Cecak di langit-langit tak berkutik. Udara ikut diam.

*

Di surga, Tuhan yang sedang beristirahat kedatangan tamu.

"Siapa itu?" Tuhan bertanya. "Aku tidak mengundang siapa pun subuh-subuh begini."

"Aku yang datang sendiri."

"Kau siapa?"

"Aku malaikat maut."

"Oh, sudah selesai tugasmu?"

"Sudah, Tuhan. Boleh aku masuk?"

"Silakan."

Malaikat maut pun masuk dengan sebilah pisau berlumuran darah.***

Baca Juga: [CERPEN] Senja Datang Terlalu Cepat 

Ekos Saputra Photo Verified Writer Ekos Saputra

gemar membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya