[CERPEN] Orang-orang Asing yang Membunuh Kami

Menjelang pukul dua belas

Aku bangun dengan wajah pucat pasi. Napasku memburu. Degup jantung berpacu. Bulir-bulir keringat membanjiri sekujur kulit. Mimpi barusan sungguh menakutkan. Aku bersyukur hanya mimpi. Dan aku lebih bersyukur bisa cepat terbangun. Jari-jari kakiku masih utuh. Tidak ada sayatan di leher. Tidak ada merah darah di pakaian. Dan lidahku pun masih di dalam mulut. Yang tadi benar-benar mimpi. Untung saja.

Butuh waktu setengah jam lebih untuk bisa tertidur lagi. Sepanjang usaha untuk terlelap itu, aku membayangkan lagi peristiwa mengerikan yang mampir ke alam mimpiku tengah malam ini.

Dalam mimpi itu, kompleks perumahan kami diserang oleh sekelompok orang berwajah kasar. Orang yang tidak pernah kukenali. Mereka datang dengan sepuluh mobil, masing-masing mobil berisi empat orang—seingatku. Setiap orang memegang senjata. Ada yang membawa senapan. Ada yang membawa golok. Ada celurit, pistol, panah, pedang. Ada juga yang membawa balok kayu, pisau dapur, gunting, apa pun yang bisa membahayakan.

Mereka datang malam hari menjelang pukul dua belas. Ada satu orang yang sepertinya bertindak sebagai ketua. Semua kawanan itu menjalankan perintahnya. Ia tidak membawa senjata apa-apa, namun badannya yang paling besar dan yang paling kekar. Atas perintah si ketua, orang-orang asing itu masuk ke rumah-rumah warga. Mereka mendobrak pintu dengan kasar. Memecahkan jendela. Membuat kegaduhan di dalam rumah.

Aku menyaksikan seluruh kejadian itu dari balik tirai jendela rumahku. Tidak ada yang bisa kulakukan. Bahkan untuk menggerakkan kaki saja aku tak bisa. Ketakutan yang maha besar membekukanku di atas lantai ini.

Orang-orang asing itu menyeret warga ke luar rumah. Menebas leher mereka. Memecahkan batok kepala. Menggunting jari-jari tangan dan kaki. Mencincang-cincang perut hingga isinya terburai di atas rumput. Tidak ada yang bisa melawan. Mereka yang lari menghindar tetap mati ditusuk panah dari belakang. Yang mencoba melawan tidak mempan, senjata mereka tidak seimbang. Orang-orang berteriak minta tolong. Tapi tak ada yang menolong. Setiap orang adalah korban.

Peristiwa yang terjadi tiba-tiba itu tidak berlangsung lebih dari dua puluh menit. Si ketua berteriak, orang-orang asing itu berhenti dari kegiatan jahatnya. Melangkah menuju mobil. Meninggalkan mayat-mayat bergelimpangan di halaman rumah.

Aku bisa saja selamat. Tapi nasib sedang tidak baik. Waktu itu mereka sudah masuk mobil, siap-siap meninggalkan perumahan kami. Namun, mata si ketua yang jeli menangkapku tengah mengintip dari balik tirai jendela ini, berdiri kaku.

"Hei," si ketua berkata pada rekan-rekannya. "Apa kalian sengaja menyisakan satu?"

Mereka bingung, kemudian mengikuti arah pandangan si ketua. Semua orang menatapku. Empat puluh orang itu menatapku. Dan aku masih tak bisa bergerak sedikit pun.

"Kalian masih diam?" Si ketua bersuara lagi. "Apa kalian mau menyisakan satu orang saksi mata atas peristiwa ini?"

Mereka tak menjawab. Dan pertanyaan itu memang tak perlu dijawab. Itu adalah perintah. Sekonyong-konyong puluhan orang itu berlari ke arahku. Mereka berteriak seperti orang kerasukan sambil mengacungkan senjata yang berdarah-darah.

Seandainya aku bisa lari, aku akan lari sekencang-kencangnya ke mana pun itu. Tapi nasib memang tidak baik. Jangankan lari, bernapas saja aku tersengal-sengal. Kejadian berikutnya mungkin hal yang paling ingin aku lupakan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pintu terbanting. Jendela pecah, berserakan. Tirainya tercabik-cabik. Foto-foto di dinding jatuh. Kursi dan meja terbanting. Tubuhku terjatuh. Dipukul bertubi-tubi. Balok kayu mereka menghantam kepalaku. Aku lihat darah berhamburan. Salah satu dari mereka menahan kakiku, yang lain memainkan guntingnya. Teriakanku seperti tak ada arti. Jari-jari kecil itu telah lepas dari tempatnya.

Yang lain menembakku. Sepertinya mereka sengaja tidak mengarahkan pelurunya mengenaiku, supaya aku ketakutan setengah mati. Selanjutnya kurasakan benda tajam mengoyak perutku. Entah pisau, entah pedang, entah belati, entah apa pun itu tidak penting. Mereka mengeluarkan isi perutku. Sepertinya sebentar lagi aku bakal mati. Sesaat kemudian sebilah pedang mengarah tepat ke leherku. Aku benar-benar akan mati.

Saat itulah aku terbangun. Aku terjaga dari ngerinya mimpi itu. Rasa syukur tiada tanding kusampaikan pada yang kuasa.

*

Keesokan paginya aku bangun dengan energi penuh. Meneguk segelas air yang tidak pernah absen di samping tempat tidurku. Aku sudah lupa mimpi tadi malam. Bahkan seperti tidak pernah bermimpi.

Namun, segala yang kulihat kemudian mengantarkan lagi ingatan mimpi buruk itu ke hadapanku. Ketika kubuka pintu kamar, yang terlihat di lantai adalah pecahan kaca. Aku menginjak satu, mengiris kesakitan. Aku melangkah ke ruang tamu. Semua berantakan. Semua berserakan. Barang-barang tak berbentuk.

Ruang tamuku bewarna merah. Merah darah. Darah siapa? Di sudut sana kulihat seseorang yang mirip denganku. Tapi wajahnya lebih buruk, tak berbentuk. Tubuhnya tak seperti tubuh.

Kakinya tak seperti kaki. Dan dia sudah mati.

Angin kencang masuk lewat pintu dan jendela yang tak lagi ada. Aku beranjak ke luar. Pemandangan macam apa ini? Orang-orang tidur-tiduran di halaman rumah mereka. Aku memanggil. Tak ada yang menjawab. Mereka asyik tidur di atas tanah yang telah berubah warna itu.

Kudekati orang-orang yang tidur itu satu per satu. Semakin dekat semakin jelas. Mereka bukan orang. Tapi tidak juga tepat disebut mayat, apalagi jenazah. Mereka seperti seonggok daging yang paling menjanjikan yang tiba-tiba jatuh dari langit ke perumahan kami. Rasanya aku ingin muntah. Lalat-lalat berpesta pora di atas mereka.

Gambaran mimpi buruk itu kembali jelas, bukan hanya di ingatan, tapi juga di hadapanku, sekarang. Orang-orang ini sudah mati. Aku pun sudah mati di dalam rumah sana. Jadi, yang sekarang berdiri ini siapa?

Dalam kebingungan yang maha besar, aku bertanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Yang mimpi itu tadi malam, atau pagi ini?***

Baca Juga: [CERPEN] Jika Kehendak Tuhan Bisa Dimanipulasi

Ekos Saputra Photo Verified Writer Ekos Saputra

gemar membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya