[Cerpen] Sepi Menyergap Rumah Kami

Seharusnya kita paham keinginan ayah yang begitu sederhana

Ayah bersikeras, gerbang rumah jangan dipasangi pagar. Semua boleh mengkritik ayah tentang hal lain, tapi jangan pernah coba-coba berdebat dan mengkritik tentang keputusannya yang satu ini. Meskipun pada dasarnya ayah tetaplah orang yang tidak suka dengan kritikan. Kami memang baru saja mendirikan tembok pagar di depan rumah. Tapi ayah meminta untuk tidak dipasangi pagar besi. Alhasil, pagar yang semula akan dipasang tetap melompong seperti pintu terminal. 

Ibu selalu misuh-misuh dengan keputusan ayah ini. "Maling bisa masuk kapan saja, Pak!" seloroh ibu suatu ketika. 

"Lah, yang namanya maling, dipagar tidak dipagar tetap aja bisa masuk, Bu!" Ayah membalas tidak mau kalah. 

Ibu yang memiliki tingkat keras kepala yang hampir sama dengan ayah berniat kembali membalas, tapi untungnya seorang pedagang koran yang selalu rutin satu bulan dua kali, datang mengantarkan majalah langganan kakak perempuanku. Jika tidak, maka perang kata-kata yang semula level biasa, akan naik tingkat menjadi sedikit luar biasa.

Seperti biasa, pedagang koran yang biasa kami panggil Pak Hasan, masuk ke halaman sekaligus membawa masuk motor dinasnya yang sudah tidak ketahuan lagi warna aslinya. Kami sudah sangat akrab dengan beliau. Tidak, bukan kami, tetapi ayahlah yang akrab dengan Pak Hasan ini. Dan tidak hanya dengan Pak Hasan, ayah memang selalu akrab dengan siapa saja. Dan siapa saja akan selalu senang jika sudah ngobrol dengan ayah. Baik itu yang hanya ngalor ngidul ataupun yang tingkat serius. Seperti pak Hasan ini, beliau akan selalu menyempatkan ngobrol dengan ayah barang 10 atau 15 menit, kemudian melanjutkan rutinitas yang sudah dilakoninya selama puluhan tahun ini.

Ibu sendiri bukannya tidak beralasan ingin agar gerbang dipagar. Sudah sering ibu kehilangan barang-barangnya yang sebenarnya sudah tidak terpakai. Ya, barang yang sudah pensiun dari tugasnya memang selalu ditaruh di sudut depan halaman rumah. Karena kami memang tidak memiliki lahan yang cukup untuk membuat gudang. Alhasil, setiap ada benda yang sudah tidak lagi terpakai, maka akan ditumpuk di depan rumah. Juga untuk yang satu ini, selalu terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Ayah ingin semua yang tidak terpakai di berikan saja kepada pemulung yang lewat, atau kepada siapa saja yang mau. Tetapi ibu akan menentang dan membela habis-habisan untuk semua koleksinya itu. Kami sudah terbiasa dengan diskusi-diskusi antara ayah dan ibu. Sebab biasanya tak berlangsung lama. Setelah tiga hari, biasanya berganti dengan debat yang lain

"Lihat tuh, Pak!" Kembali ibu memecah pagi dengan suara seramai tiga burung parkit. "Gulungan selang kita hilang, ini pasti ulah para pemulung itu!" lanjut ibu. 

"Lha, kenapa tidak dikasihkan saja sama pemulung itu dengan ikhlas," ayah menjawab. "Aku yakin ibu tidak akan sakit hati kalau diberikan dengan ikhlas ke mereka," tambahnya. "Lagian kan sudah tidak kita pakai." 

Kalimat terakhir merupakan kesalahan yang selalu diulang. Jika mendengar kalimat terakhir tadi, maka Ibu akan membalas dengan ucapan-ucapan yang dilontarkan hanya dengan satu tarikan napas, disertai penambahan volume beberapa desibel yang tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Tetapi, biasanya mereka akan berdamai ketika masuk waktu dhuhur dan makan siang sudah harus dihidangkan. Aku sendiri yakin jika ini adalah ulah pemulung karena sering mereka kepergok, tetapi aku setuju dengan ayah. Jika tidak terpakai, berikan saja pada mereka.

Ayah dan ibu sudah kami minta untuk beristirahat di rumah. Mereka sudah memasuki masa tua yang seharusnya tenang. Kami, tujuh anaknya sudah harus menyenangkan mereka. Dan itulah yang sekarang kami sedang coba lakukan. Ayah dan ibu sudah terlalu lama merasakan pahit getir untuk menghidupi kami. Tujuh, dan semuanya bisa mereka hidupi dengan berjualan kaki lima. Kami menganggap ayah dan ibu adalah orang yang memiliki visi dan misi dalam hidup. Mereka berjualan tidak hanya sekadar untuk menyambung hari ini ke hari esok. Tetapi mereka punya cita-cita yang jelas untuk masa depan anak-anaknya. Dan pendidikan adalah hal yang mutlak bagi ayah. Kini jerih payah mereka terbayar. Secara perlahan, satu persatu kami mulai mendapat pekerjaan. Aku sendiri anak bungsu, kesayangan ibu, sudah bekerja dan bisa memberikan sedikit uang untuk mereka. Walaupun tidak sebanyak saudara yang lain.

Hari berlanjut. Perdebatan-perdebatan untuk hal kecil masih belum juga redup. Termasuk tentang masalah pagar. Aku dan kakakku yang perempuan, belum menikah dan masih tinggal bersama mereka, mulai bosan karena urusan pagar ini. Rasanya tidak seperti perdebatan yang lain, selesai kemudian berganti dengan perdebatan yang lain lagi, kali ini agak sedikit alot, lebih menyita, dan tak ada titik temu. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kakak perempuanku pernah mencoba meminta ibu untuk menyudahi peperangan masalah pagar ini, tetapi reaksi ibu adalah: melebarkan matanya, mengejangkan otot rahangnya, mendenguskan napasnya, dan mulutnya tak lama menyemburkan kalimat-kalimat tentang pencurian, keamanan, barang hilang, dan merembet membahas ayah yang ibu anggap keras kepala. Melihat reaksi seperti itu, kakak menyerah. 

Kucoba melunakkan hati ayah agar menuruti kemauan ibu. Setidaknya ayah menimpali dengan lebih bijak. "Nak, jika rumah ini ditutup, maka setiap orang yang melihatnya akan enggan untuk bertamu," terangnya. "Mereka akan merasa bahwa kita membatasi. Dengan dipasang pagar, mereka menganggap ini adalah batas yang tidak boleh mereka lalui."

Setidaknya aku senang jika berdiskusi dengan ayah. Mungkin itu sebabnya ayah memiliki banyak relasi meski hanya pensiunan kaki lima. Ayah memiliki gaya bicara yang menawan. Pengetahuan luas karena senang membaca, ditambah pengalamannya yang banyak, sehingga tak sedikit orang bertamu, entah itu obrolan iseng sampai curhat masalah keluarga. Banyak rumah tangga yang hampir bercerai dan kembali utuh setelah mengikuti nasehat ayah. Juga tetangga yang anaknya terlibat kenakalan remaja dan berurusan dengan polisi, ayah akan diminta bantuannya. Karena ayah memiliki beberapa kenalan polisi dan tentara.  

Jadi itulah alasan ayah mengapa pagar tidak boleh ditutup. Ayah tidak mau kehilangan jalinan silaturahmi dengan siapapun di masa tua ini. Hari-hari kembali berlanjut. Pagi kembali pecah oleh suara ibu. Tetapi bukan tentang pagar. Ibu memanggilku setengah menjerit dengan tangis yang tertahan. Ayah terbujur pingsan di atas kasur kesayangannya. Serangan jantung. Ini memang bukan yang pertama, entah ini kali yang keberapa? Ayah sering keluar masuk rumah sakit karena sakit yang dideritanya. 

Aku segera menghubungi nomor ambulan yang aku simpan sejak ayah masuk rumah sakit untuk pertama kalinya dulu. Kali ini ayah benar-benar tidak sadarkan diri. Ibu bertahan agar tangisnya tidak pecah selama dalam ambulan. Ketika sampai di UGD, sisa-sisa ketegaran ibu runtuh. Tangisnya benar-benar pecah. Ayah berpulang dengan begitu tenang. Tak ada rintihan, tak ada tanda-tanda, seolah tak ada rasa sakit, ayah dipanggil oleh Sang Pemilik Kehidupan. 

Satu bulan setelah kepergian ayah, tamu-tamu yang menyampaikan rasa belasungkawa masih tetap berdatangan. Entah itu dari lingkungan sekitar, dalam kota, bahkan luar kota. Dan keputusan untuk memasang pagar teralis untuk menutup gerbang yang masih menganga mulai kembali muncul dalam pikiran ibu. Dan aku setuju. Ini bukan tentang tidak menghormati keinginan ayah, tetapi ini tentang keamanan. pemesanan pun dilakukan pada sebuah bengkel las yang masih kenalan mendiang ayah. 

"Jadi semua sudah lunas ya, Pak Warno." Satu pekan setelah pemesanan, pagar pun datang dan selesai dipasang. 

"Iya, bu. Terima kasih," Pak Warno yang membawa dua orang karyawannya menimpali dengan logatnya yang khas. "Kalau ada apa-apa hubungi saja, garansinya satu bulan ya, Bu," tambahnya. "Cuma bengkel saya saja yang berani pakai garansi, yang lain mana ada."

Setelah melakukan beberapa pengecekan, Pak Warno dan pekerjanya menyeruput kopi hitam yang sudah dingin. Pak Warno dan ibu sempat mengingat-ingat kembali kenangan tentang ayah. Mereka tertawa mengingat candaan ayah yang diceritakan kembali oleh pak Warno. Mata ibu sedikit berkaca. Lalu pak Warno pamit pergi. Meninggalkan sisa tawa kenangannya yang masih bergema, ibu terdiam dengan mata yang berkabut. Relungnya sepi disekap kenangan.

Hanya perasaanku saja? Atau memang ini benar-benar terjadi? Setelah kepergian pak Warno, rasanya sunyi menyergap. Ah, ini hanya perasaanku saja, tepis hatiku. Tetapi, selang satu hari di keesokan hari dan seterusnya, tak ada tamu yang muncul seperti sebelumnya. Seolah pak Warno dan para karyawannya adalah tamu terakhir yang menginjakkan kaki di halaman rumah kami. Pedagang koran yang biasa mengantarkan majalah untuk kakak perempuanku hanya mengantar sampai depan pagar, tak lagi masuk halaman. Menyalakan klakson, menunggu penghuni rumah keluar, lalu pamit pergi. Karena pagar inikah?

Mungkin benar apa kata ayah, bahwa mereka akan sungkan untuk bertamu apabila rumah sudah dipasangi pagar besi. Sejak kepergian ayah, kesunyian menyergap rumah kami.

Baca Juga: [Cerpen] Secangkir Kopi

El Nandemar Photo Writer El Nandemar

Seorang yang tidak percaya dengan bakat, karena bakat bisa dikalahkan oleh ketekunan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya