[CERPEN-AN] Lollypop dan Loli

Aku mau teman-temanku berhenti mengejekku

Tawanya meledak. Perhatianku nyaris tak berpindah sedikit pun dari buku yang kubaca sebelum dikejutkan oleh ledakan tawanya barusan.

Ia menancapkan matanya padaku begitu aku mengalihkan pandangan ke arahnya. Lalu dia terkekeh, sementara kedua tangannya sibuk merogoh saku celananya, mencari-cari sesuatu sampai dia sadar kalau yang dicarinya ternyata terselip di belakang telinga kanannya. Dia meraihnya, lalu menyulutnya dengan korek gas yang diambilnya dari saku bajunya. Mengisapnya dengan begitu nikmat.

Lelaki ini, entah sejak kapan ada di dekatku. Aku sama sekali tak menyadari kedatangannya. Aroma tubuhnya mengingatkanku pada tumpukan sampah yang sering kali menyumbat selokan di belakang rumah. Penampilannya sungguh tak karuan. Kemeja cokelat, oh, tidak, mungkin sebenarnya putih, tapi dekil dan lusuh dengan sobekan-sobekan tak beraturan di beberapa bagian, juga celana panjang yang dipotong seperempat bagiannya dengan jahitan yang tetap dibiarkan lepas hingga membuat benang-benangnya menjuntai tak karuan. Membuatnya tampak seperti baru saja keluar dari kandang macan setelah susah payah menaklukkan macan yang ada di dalamnya.

Bibirnya menyungging senyum. Sesaat kemudian senyum itu kembali menjelma ledakan tawa.

Serombongan anak sekolah yang melintas di depanku sontak menoleh ke arah lelaki tadi. Wajah mereka tampak keheranan. Ada juga yang melontarkan ejekan sambil tergelak lalu berlari.

Ejekan mereka tak hanya mengganggu lelaki tadi, tapi juga aku. Mereka mengingatkanku pada masa-masa sekolahku dulu. Aku sering sekali mendapatkan perlakuan yang sama ketika SD hanya karena aku tak punya ibu. Saat itu aku tak mengerti mengapa tak memiliki ibu menjadi kesalahan besar di mata teman-temanku. Sampai saat ini pun aku masih tak mengerti. Termasuk tak mengerti mengapa kemudian teman-temanku senang sekali menyebutku sebagai anak yang dilahirkan dari batu. Ejekan itu barangkali muncul bukan hanya karena aku tak memiliki ibu, melainkan juga karena aku selalu diam tiap kali mereka menggangguku dengan ejekan itu.

Sebenarnya aku ingin melawan mereka, tapi tak bisa. Kalau aku mengatakan sesuatu, mereka malah tambah mengejekku dan menertawakanku karena suara yang keluar dari mulutku tak jelas mengatakan apa.

Aku mulai sedikit beringsut dari bangku yang kududuki. Mengalihkan pandanganku dari lelaki tadi. Berpura-pura mengamati kesibukan orang-orang yang tengah berlari-lari kecil dengan headset terpasang di telinga, sekelompok pesepeda yang tengah istirahat di trotoar, beberapa pasang remaja yang mencuri-curi kesempatan untuk bercumbu di balik rerimbun pohon yang basah, juga orang tua yang mendorong kereta bayinya sambil sesekali menikmati kelincahan dan ketangkasan kedua tim basket yang tengah bertanding tak jauh dari tempatnya.

Sementara itu, tanganku bergerak perlahan menutup buku yang sejak tadi kubaca. Memasukkannya ke dalam tas selempang yang ada di pangkuanku. Kemudian sedikit melirik kembali ke arahnya hanya untuk memastikan kalau gerakanku tadi tak mengundang perhatiannya.

Sepertinya upayaku tadi berhasil karena sekarang kulihat dia tengah asyik menjentikkan abu rokok yang baru diisapnya. Membiarkannya dirampas angin dan bertebaran di sekitar mulut sepatu rombengnya.

Aku beranjak.

Dia malah mendekat dan menyodorkan sesuatu kepadaku.

Lollipop.

Dia tersenyum lebar. Begitu lebar hingga deretan giginya yang sebagiannya menghitam, juga beberapa telah rompal begitu jelas terlihat.

“Ambillah! Kau pantas mendapatkannya.” Dia terkesan sedikit memaksa.

Meski takut, aku ambil juga lollipop yang disodorkannya. Dia kembali memperlihatkan gigi-giginya yang sebagiannya telah menghitam, juga beberapa yang rompal, kemudian pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan kebingungan yang masih menancap di kepala.

Beberapa saat setelah kepergian lelaki tadi, aku urung meninggalkan tempat ini. Tempat yang sejak dua jam lalu kupilih menjadi tempat untuk menenggelamkan kepenatan yang kuterima seharian ini. Menukarnya dengan keriuhan yang segera melindap bersamaan dengan sibakan halaman demi halaman buku yang kubaca.

Aku duduk kembali. Memandangi lollipop yang kini ada di tanganku. Menghela napas, lalu kuputuskan untuk membuka dan menikmatinya. Aroma buah mangga merebak, memenuhi hidungku bersamaan dengan melumernya rasa yang serupa di mulutku.

Manis disertai asam yang menyegarkan menyentuh lidah mengantarkanku pada ingatan yang telah lama terlupa karena kesibukanku. Ingatan tentang Ibu, juga kasih sayangnya yang selalu kudamba sejak kecil. Tragisnya, aku tak pernah mendapatkannya. Ayah bilang, Ibu telah memilih lollipop yang menurutnya lebih manis.

Entah apakah seharusnya aku merasa bahagia atau justru bersedih ketika ingatan ini kembali menuntunku pada Ibu. Aku enggan memilih keduanya. Yang aku lakukan kemudian adalah melumat lollipop hingga habis sembari kubenamkan kembali diriku pada buku yang sempat kumasukkan ke dalam tas selempangku tadi.

**

“Mama, Loli di sini, Mama! Cari Loli, Mama! Loli di siniii!” Bocah kecil yang berlari menuju semak-semak yang berada tepat di belakang bangku yang kududuki ini berulang kali teriak, padahal, mamanya sama sekali tak memedulikannya. Dia tengah asyik ngerumpi dengan teman yang duduk di sebelahnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah om-om berdasi miring, yang sibuk menerima telepon entah dari siapa, di samping mobilnya, yang ada di seberang jalan.

Setelah kedatangan lelaki tadi, ini peristiwa kedua yang membuat perhatianku berpindah dari buku yang kubaca.

Sadar dirinya sama sekali tak dipedulikan, bocah kecil yang sesaat tadi sudah menghilang di balik semak muncul kembali. Menghampiriku, menatapku dengan mata bulatnya, lalu tanpa meminta persetujuanku, dia mengambil tempat di sampingku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kakak sendiri, ya?”

Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum menimpali pertanyaannya barusan.

“Lagi baca buku apa?” Matanya kini tertuju pada buku Long Lost karya Harlan Coben di tanganku.

Baru saja aku hendak menjawab ketika tangan mungilnya mengambil alih buku yang sejak tadi kubaca itu. Sesaat setelahnya, dia sudah asyik membolak-balik buku tadi, sementara aku membiarkan saja bukuku itu berpindah tangan dan lebih memilih untuk memperhatikannya. Menunggu reaksinya.

“Aku pussying!” Dia memanyunkan bibirnya sembari menyibak beberapa halaman buku di tangannya sekenanya.

Aku menahan tawa.

“Kakak bisa ceritain isi bukunya sama aku?” Matanya memohon.

Tentu saja aku tak bisa menolak. Namun, aku juga kesulitan untuk bercerita. Akhirnya kukatakan saja padanya kalau buku ini memang bukanlah buku untuk konsumsi anak kecil. Sebisa mungkin kugerakkan tangan ini agar dia mengerti, tapi yang ada, dia malah tertawa.

Mendengar tawanya, aku berhenti menjelaskan. Lalu dia menyusul diam.

“Maaf!” Matanya mengerjap-ngerjap. Jelas sekali dia tampak menyesal. Sepertinya, dia mengira alasanku menghentikan penjelasanku tadi karena aku merasa tersinggung oleh tawanya.

Aku bersyukur sekali bocah ini tak seperti teman-temanku di SD dulu, yang tak berhenti mengejekku begitu tahu aku ternyata tak bisa bicara.

Aku tersenyum. Menggeleng. Lalu memeluknya. Apa lagi yang bisa kulakukan agar dia tahu kalau aku sama sekali tidak merasa tersinggung dengan tawanya tadi selain memeluknya? Aku yakin dia mengerti karena setelahnya, dia kembali melempar tanya, “Kakak nggak marah?”

Sekali lagi aku tersenyum dan menggeleng meski aku tahu dia tak akan melihatnya karena saat ini wajahnya terbenam dalam pelukanku.

Tak lama, terdengar suara mamanya memanggil. Lekas dia melepas pelukanku, lalu beranjak dari tempat duduknya, berlari menghampiri mamanya.

Kudengar mamanya mengajaknya pulang setelah dia mengomeli bocah itu karena telah berani bicara dengan orang asing sepertiku. Sebelum mengiyakan, anak tadi menoleh ke arahku. Kemudian balik berlari menghampiriku lagi tanpa memedulikan reaksi mamanya yang semakin berteriak marah.

Dia memintaku untuk mau sedikit merundukkan tubuhku. Aku melakukannya. Lalu dia menyorongkan mulutnya tepat ke dekat telingaku. Dia berbisik, “Kakak mau nggak jadi mamaku?”

Aku sedikit geli mendengar tawarannya. Kedua alisku naik satu senti. Aku menahan tawa.

Sekali lagi kudengar mamanya memanggilnya, tapi bocah kecil tadi tak memedulikannya. “Teman-teman di sekolah selalu mengejekku. Mereka bilang dia bukan mamaku karena selalu jahat padaku. Kata mereka mungkin aku sebenarnya tak punya mama dan dia memungutku dari tong sampah. Dia bahkan tak pernah memelukku seperti Kakak memelukku tadi. Aku ...,” matanya memandangku lekat-lekat. "Aku mau teman-temanku berhenti mengejekku. Aku mau punya mama baik seperti Kakak."

Aku tercenung mendengarkan ocehannya dan tak bisa berbuat apa-apa ketika wanita yang dipanggilnya mama menyeretnya secara paksa setelah melemparkan makian dan pelototan tajam ke arahku.

Bocah kecil tadi sempat memberi salam perpisahan lewat lambaian tangan dan senyum genitnya saat tangannya diseret-seret wanita tadi, sementara aku kembali diusik oleh ingatan tentang Ibu, juga tentang masa laluku. Rupanya cara manusia memperlakukan manusia lainnya tak banyak berubah dari generasi ke generasi. Mereka tetap senang menjadikan kemalangan orang lain sebagai lelucon yang pantas dijadikan hiburan dan ditertawakan.

Ayah pernah berkata kepadaku ketika aku menangis mengadukan perlakuan teman-teman SD-ku dulu, “Mereka tidak jahat, Ai. Mereka hanya belum mengerti bahwa hal buruk semacam itu seharusnya tak mereka lakukan. Kalaupun mereka melakukannya, bukan mereka yang pantas disalahkan, tapi para orang dewasa di sekitar mereka yang membiarkan saja tindakan semacam itu terjadi.” Ayah mendudukanku di pangkuannya sambil mengelus-elus rambutku lalu memelukku sampai aku berhenti menangis.***

 

Serang, 13 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Lelaki dengan Sayap di Punggungnya

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya