[CERPEN-AN] Sisir

Pintu kamar terbuka. Aku tertegun

Aku terbiasa menunggu.

Sudah enam puluh lima jam gadis kecil yang biasa menggunakanku tak menyentuhku. Aku tergeletak di atas meja rias bernuansa hijau toska. Di sisiku ada parfum beraroma buah stroberi yang biasa dipakai gadis kecil itu. Wanginya masih bisa aku cium. Tawa ceria dan celoteh riangnya pun masih kurasakan hadir di sekelilingku.

Enam puluh lima jam lalu terakhir kali gadis kecil itu menggunakanku. Setengah jam sebelum dia berangkat ke acara ulang tahun salah seorang teman sekolahnya.

Aku kembali mendengar suara gadis kecil itu empat jam setelahnya di pintu depan. Tepat saat makan malam seharunya berlangsung. Namun, hari itu tak ada makan malam seperti biasanya.

Setengah jam sebelum waktu makan malam, sebelum gadis kecil itu sampai, aku mendengar suara teriakan dari pintu depan. Entah apa yang kemudian terjadi, beberapa menit setelahnya teriakan yang tadinya hanya bersumber dari satu suara itu berubah menjadi pertengkaran yang terjadi antara dua orang.

“Mas sudah janji akan mengikuti keputusan pengadilan!”

Aku mengenal suaranya. Itu suara ibu si gadis kecil. Dia terdengar begitu putus asa.

Makian kembali terdengar. Lalu suara gedebuk pintu terhantam sesuatu datang bersamaan dengan jeritan. Jerit kesakitan yang keluar dari mulut ibu si gadis kecil.

Seseorang kembali memaki. Itu suara seorang lelaki. Aku ingat sekarang, suara itu adalah suara seseorang yang sudah dua bulan lamanya tak pernah lagi kudengar di rumah ini. Itu suara ayah si gadis kecil.

“Kehidupan Nurma akan jauh lebih baik kalau dia ikut aku!” Suara lelaki itu lagi.

“Nggak! Nggak boleh. Nggak boleh ada yang menjauhkannya dariku. Dia anakku!” Ibu si gadis kecil kini terisak.

Suara makian dan suara gedebuk berulang-ulang kembali terdengar.

Aku di sini merasa gemas sendiri. Ingin sekali aku melayang, membuka pintu kamar gadis kecil ini untuk melihat langsung apa yang sebenarnya tengah terjadi di ruang depan sana. Namun, mustahil. Aku tahu itu. Jadi, aku menunggu. Menunggu potongan-potongan suara itu terdengar lagi agar, setidaknya, bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.

Ibu si gadis kecil sekarang mengerang. “Hentikan! Hentikan!”

Suara gedebuk itu lagi.

Makian lagi.

Bunyi pagar depan terbuka.

Lalu teriakan. Teriakan riang. Itu suara gadis kecil itu.

Bunyi pintu depan terbuka. Teriakan lagi. Teriakan cemas. “Mama!”

Lalu jeritan. Gadis kecil itu menjerit. “Lepasin aku, Papa! Lepasin!”

Suara lelaki itu lagi.

“Aku nggak mau ikut Papa! Aku mau Mama!” Si gadis kecil sekarang menangis. Suaranya lamat-lamat menjauh bersamaan dengan terdengarnya suara pintu depan dibanting.

Lalu jeritan disertai erangan kembali terdengar. Ibu si gadis kecil kedengarannya tengah menahan lelaki itu. Dari suaranya dia tampak benar-benar tengah menahan rasa sakit yang hebat.

Suara gedebuk lagi. Makian lagi.

Si gadis kecil kembali menjerit. “Papa jahat! Aku nggak mau ikut Papa! Jangan pukul Mama! Papa jahat!” Dia menangis sekarang. Menjerit. “Mama! Mama!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Terdengar suara pintu dibuka.

Suara gadis kecil itu menghilang, digantikan suara mesin mobil ditingkahi jerit si ibu yang memanggil-manggil nama gadis kecilnya.

Kemudian hening. Hening yang menyiksa.

Beberapa saat setelahnya, suara tangis putus asa lamat-lamat terdengar dari halaman depan. Itu suara ibu si gadis kecil.

Aku masih menunggu, tapi keributan yang kudengar hanya sampai di situ. Setelahnya, keheningan dan kegelapan menyelimutiku sepanjang malam itu. Lampu-lampu tak ada yang dinyalakan. Tak ada suara siapa pun lagi yang kudengar. Rumah itu seperti mati.

Sepanjang malam aku kembali menunggu. Menunggu si gadis kecil membuka pintu kamarnya, lalu melemparkan diri di atas kasur. Menunggu si gadis kecil itu bernyanyi-nyanyi sampai terdengar suara ibunya memanggil untuk makan malam. Menunggu si gadis kecil duduk di depan meja rias hijau toskanya dan menyentuhku, menggunakanku untuk menyisiri rambut panjangnya selama beberapa menit sebelum beranjak tidur.

Aku terus menunggu.

Gerimis datang. Menderas jadi hujan. Percikannya menciptakan suara ketukan saat menimpa daun jendela. Hawa dingin masuk melewati kisi jendela dan lubang udara. Aku menggigil kedinginan dan terus menunggu. Enam puluh lima jam berlalu. Gadis kecil yang kuharapkan tak juga datang menyentuhku.

Aku termenung begitu lama hari ini.

Pintu kamar terbuka. Aku tertegun. Ibu si gadis kecil melangkah masuk. Wajahnya tampak semakin layu. Sepasang matanya yang redup menelusuri setiap jengkal kamar. Sisa memar tampak di bagian dahi dan tulang pipinya.

Dia melangkah. Pelan sekali. Duduk di tepi ranjang. Dia memeluk dan menciumi bantal, menciumi guling, juga selimut yang masih terlipat rapi di atas kasur.

Dia terisak. Sepasang matanya basah.

Lama dia duduk di sana. Menekuri segala yang dia peluk.

Dia bangkit. Mendekati meja rias hijau toska. Dia duduk di sana. Menatap cermin. Mengamati dirinya yang berantakan. Lalu matanya mencari-cari sesuatu, dan ketemu. Aku. Aku yang tergeletak di sisi parfum beraroma buah stroberi milik gadis kecilnya itu dia ambil.

Dia sisiri rambutnya. Sepasang matanya masih basah. Bibirnya melantunkan lagu anak-anak yang sering dinyanyikan oleh gadis kecilnya.

Dia terus menyisir rambutnya, sementara aku di tangannya tak tahan merasakan rasa kehilangan yang ditanggungnya. Aku ikut menangis. Aku terisak.

Ibu si gadis kecil tertegun. Aku di tangannya menggantung di bagian tengah rambutnya. Seperti ada yang menangis, dia membatin.

Sadar ibu si gadis kecil itu seolah dapat mendengarku, aku berbisik, bawa gadis kecil itu kembali. Aku mohon.

Ibu si gadis kecil kembali tertegun. “Aku tidak bisa. Kekuasaan lelaki itu terlalu besar,” desahnya, seolah benar-benar mendengar apa yang aku katakan, padahal dia tengah berbicara dengan dirinya sendiri.

Kau bisa! Kau pasti bisa! Kau jauh lebih kuat! Percayalah! Gadis kecilmu menunggumu menjemputnya. Bukankah dia bilang dia ingin bersamamu. Kau tidak mau kan gadis kecilmu diperlakukan buruk sepertimu?

Ibu si gadis kecil itu kembali tertegun. Sepasang matanya terpaku di cermin. Lama dia tak mengeluarkan reaksi apa pun. Sampai kemudian aku melihatnya tersenyum. Ya, bibirnya melengkungkan senyum. Kemudian dia letakkan kembali aku di tempat semula.

“Aku akan membawanya. Aku akan membawanya kembali. Nurma, tunggu Mama, Sayang!” Dia bergegas keluar dari kamar si gadis kecil.

Aku kembali menunggu.[]

 

Serang, Juni 2018 - April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Racun Api

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya