[CERPEN] Arwah Sahabat

Apa yang dihadapinya sekarang pasti membuatnya menderita

Drrrt...! Drrt...!

Aku terenyak dari tempat tidur. Hape yang kuletakkan di meja belajar bergetar. Kuraih jam waker yang ada di meja kecil di samping ranjang. Jam setengah dua belas malam. Aku beranjak dari ranjang, melangkah menuju meja belajar. Aku girang saat mendapati nama Anti tertera di layar.

"Halo, Nti? Kok lo pindah nggak bilang-bilang sih?" sambarku, tanpa menunggunya bicara duluan.

Tak ada suara. Hening.

"Halo, Nti..!"

Kali ini samar kudengar suara isak tangis tertahan dari seberang telepon.

"Nti, lo nangis?"

Isakannya terdengar lebih jelas.

"Nti kenapa?”

"Ris." Aku lega mendengar suaranya. Aku mencoba menenangkannya. Di beberapa menit berikutnya kami saling terdiam. Kutajamkan pendengaranku untuk memastikan kalau dia sudah baik-baik saja.

"Nyokap sama bokap gue ....” Ia mengambil jeda. “Semenjak bokap gue ditetapkan jadi tersangka kasus korupsi, nyokap gue uring-uringan terus. Dia nggak peduli lagi sama gue. Dia ninggalin gue. Rumah udah disita," lanjutnya sambil terus terisak.

"Iya, tadi pagi gue ke rumah lo dan baru tahu kalau rumah itu udah kosong sekarang. Terus sekarang lo di mana?"

“Sekarang gue udah nggak punya apa-apa lagi. Hidup gue berantakan, Ris. Nggak ada lagi yang peduli sama gue.”

“Jangan ngomong begitu. Masih ada gue, Nti. Sekarang lo tinggal di mana?”

Teleponnya terputus.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kuletakkan kembali hapeku di atas meja belajar. Setelah mendengar ceritanya tadi perasaanku jadi tambah kalut dan kacau.

***

Malam ini aku kembali terjaga. Mataku terus tertuju pada foto yang terpajang di atas meja belajar. Fotoku dan Anti mengenakan baju olahraga sekolah kami, tengah bercanda dengan senyum ceria. Ia terbiasa hidup mewah. Apa yang dihadapinya sekarang pasti membuatnya menderita.

PRAK...!

Foto yang tengah kupandangi terjatuh ke lantai. Aku bergegas turun dari ranjang, memungutnya. Syukurlah hanya kaca bingkainya saja yang retak. Kemudian ada perasaan tak tenang yang tiba-tiba menyeruak.

Drrrt...! Drrt...!

Belum sempat kuletakkan kembali foto yang terjatuh tadi, hapeku bergetar. Private number. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Pukul 23.55. Aku enggan menjawabnya. Kuletakkan kembali hapeku, kubiarkan benda itu terus bergetar.

Getaran pertama berhenti. Beberapa detik kemudian bergetar lagi. Kuperiksa kembali, ternyata masih private number. Karena penasaran akhirnya kuangkat juga.

Tak ada suara. Hening.

Beberapa saat menunggu masih saja hening, akhirnya kuputuskan teleponnya.

Belum sempat aku berbalik hapeku kembali bergetar. Saat kuangkat sama seperti tadi, tak ada suara, dan itu berlangsung berkali-kali hingga membuatku dongkol.

"Siapa sih ini?! Iseng banget ngerjain malem-malem! Settttann ya lo?!" sewotku saat hape itu kembali bergetar dan kuterima. 

"Ris…."

"Anti? Ini lo, Nti? Sorry, sorry, tadi gue pikir—"

"Ris, besok dateng ya ke acara tahlilan di rumah nenek gue." Suaranya pelan sekali. Hampir seperti tengah berbisik. Samar kudengar pula ia merintih seperti kedinginan. Suaranya begitu menyesakkan.

"Tahlilan? Tahlilan siapa? Nenek lo meniggal?"

Pertanyaanku tadi tak mendapat jawaban karena lagi-lagi Anti kembali memutuskan teleponnya begitu saja.

Semilir angin tiba-tiba saja menerpa sekujur tubuhku. Beberapa saat kemudian suara rintik hujan mulai terdengar.

Aku masih memikirkan Anti ketika kudengar suara tangis dan rintihan memilukan. Kutajamkan pendengaranku untuk memastikan kalau yang barusan kudengar itu tak salah. Aku mencari-cari sumber suara tadi. Suara itu berasal dari arah jendela kamarku.

Rasa takut menyelimutiku, tetapi tetap kuberanikan diri untuk memastikan siapa gerangan yang menangis di bawah jendelaku malam-malam di tengah hujan seperti ini. Kulangkahkan kakiku menuju jendela. Suara tangis memilukan itu semakin jelas. Tanganku gemetaran saat kupaksakan diriku membuka daun jendela.

BRAK...!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Belum sempat kubuka jendelanya, angin sudah lebih dulu mendobraknya. Jendelaku terbuka lebar. Angin berembus begitu kencang membawa serpihan air hujan yang menyembur ke wajahku. Aku berusaha menutup jendelanya kembali setelah sebelumnya kupastikan sama sekali tak ada orang di bawahnya.

Aneh. Suara tangis tadi tiba-tiba saja menghilang begitu jendela terbuka.

Kukunci kembali jendelaku. Namun, ketakutan kembali menyergap saat kudengar kembali suara tangis memilukan tadi. Tanganku yang masih terpaut di gerendel jendela mendadak kaku. Suara tangis itu kini terdengar jelas di belakangku.

Ya, aku tak salah dengar. Suara tangis yang merintih itu benar-benar berasal dari arah belakangku. Di dalam kamarku.

Aku mematung. Tak sanggup menoleh.

"Ris."

Aku mengenal suara itu. Ia terdengar kembali menangis dan merintih.

"Ris, aku kesepian di sini."

Deg! Jantungku serasa berhenti berdenyut. Itu suara Anti.

"Ris, kamu masih sahabatku ‘kan?" Ia terisak.

Dengan sisa keberanian yang kupunya, kuberanikan diriku berbalik. Aku tercekat. Mataku mencelot saat kutatap sosok yang kini ada di hadapanku. Ia duduk dengan wajah menelungkup di atas lutut. Ada bercak darah menempel di sekitar lehernya. Wajahnya tak dapat kulihat, tetapi aku yakin itu Anti.

Ia menangis. Memilukan sekali. Ingin sekali aku mendekatinya, tetapi kakiku tak bisa bergerak.

Ia mendongakkan kepalanya. Aku nyaris menjerit. Kedua bola matanya tegantung. Hampir terlepas dari kelopaknya.

Wajahnya, aku tak bisa lagi mengenali wajahnya karena keadaannya sudah hancur. Remuk seperti habis terlindas. Darah mengucur deras di sekitar kepala. Bau amis menyergap hidungku. Aku gemetaran. Aku tak mampu melihat kondisinya saat ini, tetapi juga tak bisa memalingkan muka dari wajahnya.

Rasa mual menghinggapiku. Seluruh tubuhku membeku.

"Ris, gue kesepian di sini." Ia merintih lagi. Ia bangkit dari duduknya, melangkah perlahan mendekatiku.

Aku sadar kalau yang berdiri di hadapanku ini bukanlah Anti. Ya, ia pasti bukan Anti.

"Lo bukan Anti!" pekikku.

Ia terus melangkah mendekatiku. Wajahnya tampak lebih seram dari sebelumnya.

Aku benar-benar tak mampu menghindar. Kini wajahnya hanya berjarak sejengkal dari wajahku.

Perutku semakin mual mencium bau amis darah dari kepala dan wajahnya. Aku berusaha menahan napas, tetapi tak berlangsung lama. Sampai akhirnya aku ingat untuk melafalkan berbagai doa yang pernah kupelajari. Segala doa yang kuhafal kulafalkan dalam hati sambil terus memejamkan mata agar tak melihat wajah hancurnya.

"Ris! Ris bangun!" Kurasakan tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang. Samar kudengar suara yang begitu kukenal terus memanggil di telingaku. Begitu mataku terbuka, kudapati wajah cemas Mama di hadapanku.

Aku sedikit agak linglung saat tahu ternyata aku berada di atas ranjang dengan selimut yang menutupi setengah tubuhku.

"Mimpi buruk ya?" Suara Mama terdengar khawatir.

Mimpi? Benarkah ini hanya mimpi? Rasanya apa yang kualami tadi terlalu nyata untuk disebut mimpi.

***

Siang ini, sepulang sekolah, aku bergegas menuju rumah nenek Anti. Aku hanya ingin memastikan kalau tak terjadi apa-apa dengan Anti. Beberapa bulan lalu Anti pernah mengajakku ke rumah neneknya itu. Aku harap aku masih mengingat jalannya.

Setelah satu jam lebih mencari akhirnya kutemukan. Rumah sederhana bercat jingga dengan belasan jenis bunga yang tumbuh di halaman depannya.

Namun, tampaknya ada yang berbeda dengan suasana rumahnya. Halaman rumah yang beberapa bulan lalu kudatangi tampak lengang kini terlihat agak ramai. Beberapa kursi plastik berjejer di halaman. Beberapa orang tampak masuk keluar dari pintunya.

Aku agak ragu. Meski begitu kuberanikan diriku untuk melangkah lebih dekat dan memasuki rumahnya. Saat kulangkahkan kakiku melewati pintu, seorang nenek bertubuh ringkih dengan mata sembab menoleh ke arahku. "Risna? Kamu Risna ‘kan?" Ia segera bangkit dari duduknya, melangkah tertatih mendekatiku.

Aku tersenyum dan mendekatinya.

Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca begitu kami saling berhadapan, sementara mataku tertuju pada sosok tubuh terbungkus kain panjang yang tengah dikelilingi orang-orang. Pikiranku tertuju pada Anti.

Tubuhku limbung.

Nenek Anti sepertinya tahu apa yang kupikirkan. Ia memberiku anggukan dan linangan air mata.

Gigiku bergemeretakan, berusaha menahan tangis.

"Dia tertabrak kereta api pukul sebelas malam tadi. Nyawanya nggak tertolong. Dia meninggal di tempat. Sekarang kami masih menunggu kedatangan kedua orang tuanya sebelum dia dikuburkan. Maaf, Nenek belum sempat mengabarimu." Tangis nenek Anti pecah. Perlahan kupeluk tubuhnya. Air mataku pun tak mampu lagi kubendung.***

Baca Juga: [CERPEN] Serbuan Gagak di Rumah Susun

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya