[Cerpen] Kegelisahan Sebatang Tongkat

Tuhan tak hendak membiarkanmu sendirian

Aku selalu hadir, seperti bayangan perempuan ini. Mengikuti ke mana perempuan ini pergi. Menjadi orang pertama yang mengetahui apa pun yang dilakukannya, di tempat terbuka maupun di tempat tersembunyi.

Aku mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan perempuan ini lebih dari siapa pun. Termasuk dari para pengejar berita yang terus menerus menuliskan berita buruk tentangnya.

Tak sekali pun kulihat dia marah atau mengeluarkan makian setiap kali mendapati sebuah berita yang menuliskan hal-hal buruk tentangnya. Memang dia tampak sedikit terkejut ketika membaca berita-berita tersebut, atau tangannya sedikit bergetar sampai membuat majalah atau koran yang tengah dipegangnya ikut gemetaran, atau sedikit meremasnya, tapi tak pernah lebih dari itu.

Aku pernah berpikir dan khawatir bahwa barangkali diam-diam dia menyimpan dendam terhadap si penulis berita-berita itu atau kepada si pemilik media yang memuatnya atau kepada narasumber yang kata-katanya dikutip dalam berita-berita itu. Lalu, kekhawatiran itu kian menjadi ketika suatu hari kudapati dia mendatangi sebuah bangunan tua saat dalam perjalanan menuju konser amal yang mengundangnya sebagai bintang tamu.

Bangunan itu terletak di deretan perumahan yang kebanyakan penduduknya sepertinya sudah tak peduli lagi dengan keberadaannya. Bangunannya hanya tampak seperti rumah bertingkat biasa, seperti rumah-rumah bertingkat lain yang mengapit di sisi kanan dan kirinya. Pintunya hanya sebentuk pintu kayu dengan lebar tak lebih dari 30 cm, tapi tinggi menjulang. Orang berbadan gemuk perlu upaya lebih untuk bisa melewatinya.

Beruntung, perempuan yang kutemani bertubuh kurus, jadi tak ada kesulitan baginya untuk bisa masuk ke sana. Bangunan tanpa pagar atau gerbang karena bagian mukanya hanya berjarak satu meter dari tepi jalan. Tangga semen menghubungkan bangunan tua itu dengan tepi jalan. Temboknya bercat merah muda yang pudar, sepertinya sudah lama sekali tak dicat ulang, dengan coretan dan grafiti hasil seniman gadungan.

Untuk apa dia datang ke bangunan tua tersebut, aku sama sekali tak tahu. Begitu perempuan yang kutemani ini melewati pintunya, sebuah plakat yang tertempel di dinding sisi kiri pintu menarik perhatianku. Tuhan tak hendak membiarkanmu sendirian, begitu bunyi dari kalimat pada plakat tadi.

Perempuan yang bersamaku sedikit menerbitkan senyum ganjil. Aku tahu betul dia pasti menganggap kalimat yang terukir di plakat itu sebagai kerjaan orang konyol. Aku pun tak mau ambil pusing, segera mengabaikan plakat tadi begitu terdengar suara langkah dari arah lain. Bukan dari arah pintu yang tadi kami lewati.

Perempuan yang kutemani ini menghentikan langkahnya. Seorang lelaki sebaya dirinya, dengan rambut panjang terkepang di belakang, mendekat. Raut wajahnya tampak agak kekanak-kanakan. Kumis panjang yang melintang dengan lengkung di ujungnya, aku membayangkannya serupa seluncuran yang biasa terdapat di taman kanak-kanak. Dua seluncuran yang saling berpunggungan.

“Nyonya Bilkis.” Dari caranya menyebutkan nama itu, dia sama sekali tak bermaksud menyapa atau melontarkan pertanyaan apakah benar perempuan yang dihadapannya ini adalah si pemilik nama yang disebutkannya. Nama itu seperti keluar begitu saja dari mulutnya tanpa tujuan apa-apa. Si pemilik nama pun tak membalas apa-apa. Dia hanya memandangi lelaki itu, tampak menelisiknya sebentar, lalu mengangguk disertai senyum yang tak seperti biasanya. Senyum tanpa pretensi. Tidak menunjukkan keramahan atau sikap hormat atau sikap memusuhi.

“Anda datang ke tempat yang tepat. Berdoalah dahulu, aku tunggu Anda di kantorku setelah Anda selesai berdoa.”

Perempuan yang kutemani menjungkitkan alis, sedikit menunjukkan sikap angkuh dia berkata, “Aku tak pernah berdoa.”

Lelaki tadi memandanginya. Keduanya saat ini seperti berbicara lewat mata: saling memandang dengan sorot mata tajam. Kemudian, “Aku mengerti, tapi tidakkah Anda mengerti, Nyonya, bahwa di sini apa yang kukatakan adalah sebuah keharusan. Kalau tidak bersedia, pintu itu selalu terbuka untuk mengantar Anda keluar.” Lelaki itu menunjuk pintu yang kami lewati tadi.  Setelahnya dia pergi begitu saja. Tubuhnya hilang di balik pintu yang dihimpit dua patung di dinding sebelah kanan.

Suasana dalam bangunan tua ini terlalu senyap. Hawanya juga agak pengap dan lembab. Aku tak tahu pasti apakah perempuan yang kutemani ini merasakan hal yang sama karena tak ada ekspresi apa pun yang ditunjukkannya setelah mendengar apa yang dikatakan lelaki tadi.

Dia melangkah hati-hati sekali menuju deretan kursi yang berjajar di sisi kiri dan kanannya, yang juga tampak sama lembabnya seperti kursi-kursi yang bertahun-tahun tak pernah diduduki. Dia menelisik kursi itu satu per satu dan berhenti tepat di dekat kursi deretan terdepan. Dia mendudukinya dengan punggung tegak, lalu meletakkan amplop cokelat yang sejak tadi terus dibawanya di tangan kirinya di pangkuan, sementara aku disandarkan di sisinya. Kemudian sedikit ragu dia memejamkan mata dengan kedua tangan saling menggenggam di depan dada. Kelihatannya dia melakukan apa yang disarankan oleh lelaki tadi: berdoa, tapi, untuk apa? Mengapa dia tak memilih pergi saja dari sini?

Aku tak tahu pasti doa apa yang dipanjatkannya karena dia berdoa dalam hati. Setelahnya, dia menemui lelaki yang menunggunya di balik pintu yang terapit dua patung tadi.

Sekarang mereka duduk berhadapan, diselingi meja kayu besar berbentuk bundar. Saling berpandangan, mengangguk, dan melepas senyum sekilas.

“Beban yang Anda tanggungkan kepadaku begitu berat.”

“Apa Anda mau mengatakan bahwa Anda tak sanggup menanggungnya?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tergantung seberapa besar Anda mau menyumbang.”

“Sebutkan saja berapa.”

Lelaki tadi menyebutkan nominal yang benar-benar fantastis. Rasanya ini seperti pemerasan. Ini tidak masuk akal. Mana ada jumlah sumbangan ditetapkan begitu. Biasanya besar sumbangan dibebaskan, terserah si penyumbang mau memberi berapa. Lagi pula, jika dia menetapkan besar sumbangan sebanyak itu pada setiap dermawan yang datang, semestinya kondisi bangunan tua ini akan tampak jauh lebih baik dari yang kudapati sekarang. Atau, lelaki di hadapanku ini hanyalah seorang penipu?

“Uangnya segera aku transfer.”

Aku tak percaya, setelah menuruti begitu saja apa yang disarankan lelaki di hadapannya untuk berdoa, perempuan ini sekarang menyanggupi begitu saja permintaan besar sumbangan yang mencurigakan itu.

Aku tak bisa berbuat banyak. Dia menyerahkan amplop cokelat yang sejak tadi dibawanya kepada lelaki itu. “Semua datanya ada di situ.”

“Apa ini sudah diverifikasi? Yakin tak ada kesalahan? Aku tak mau salah mengirim orang ke neraka.”

“Orang kepercayaanku yang melakukannya. Aku yakin. Dia tak pernah membuat kesalahan.”

“Berapa orang?”

“Seperti yang sudah kukatakan dalam pesan di surelku sebelumnya, empat orang, satu di antaranya adalah orang yang cukup penting.”

Lelaki tadi terkekeh. “Tuhan tak akan membiarkan mereka mengganggu Anda lagi, Nyonya,” katanya, sebelum mengantar perempuan di hadapannya keluar dari ruangannya. Mereka berpisah di luar pintu kantornya.

Saat melanjutkan perjalanan menuju tempat konser amal, tak sekali pun kulihat perempuan yang sudah sebelas tahun kutemani ini menggerutu kesal atas tindakan pemerasan yang dilakukan lelaki tadi. Dari wajahnya aku justru menemukan sedikit rasa lega terpancar, seolah jumlah uang yang diminta lelaki tadi sama sekali tak berarti apa-apa baginya. Dan, apa sebenarnya isi amplop cokelat itu? Hal ini menggangguku. Tapi, isi percakapan mereka tadi jauh lebih menggangguku.

Aku sama sekali tak bisa menerka apa sebenarnya yang mereka bicarakan. Ah, andai aku memiliki otak lebih cerdas seperti manusia.

Setelah hari itu, dia melakukan rutinitasnya seperti biasa. Menelepon dan menerima telepon dari orang-orang yang terlibat dengan pekerjaannya, termasuk Markus, orang kepercayaannya. Hanya sekali kudengar dia menerima telepon dari seorang laki-laki yang suaranya mirip sekali dengan suara lelaki yang ditemuinya di bangunan tua itu tempo hari. Apa yang aku dengar tak bisa disebut sebagai percakapan.

“Semuanya sudah beres, Nyonya. Tuhan telah membantuku menyelesaikan beban yang Anda tanggungkan kepadaku. Bersih. Tanpa bekas.”

Perempuan itu hanya mengangguk. Sama sekali tak berkata apa-apa untuk membalasnya. Setelahnya, dia meletakkan telepon yang aku duga sudah lebih dulu diputus oleh lelaki itu.

Setelah sekian bulan, kudapati dia tak pernah lagi mendapatkan telepon dari lelaki itu. Kuperhatikan perempuan ini kini juga tampak lebih tenang, karena entah bosan atau sadar berita-beritanya tak menimbulkan reaksi apa-apa dari perempuan yang sudah sebelas tahun kutemani ini, si pembuat berita dan media yang sering memuat berita buruk tentang perempuan ini kini berhenti memuat berita-berita tentangnya.

Kabar terakhir yang kudengar menyebutkan, media tersebut tengah mengalami masalah dan tengah berusaha diambil alih oleh pihak lain setelah pimpinannya menghilang entah ke mana. Mereka sedang sibuk dengan masalahnya sendiri. Alasan itulah barangkali yang telah membuat media itu berhenti mengganggu perempuan yang kini tengah asyik menikmati secangkir teh paginya di selasar rumah megahnya, seperti biasanya, dengan wajah tampak tenang dan tak menggelisahkan apa-apa.

Tapi, mengapa rasanya aku masih saja khawatir dengan isi percakapan perempuan ini dengan lelaki yang ditemuinya di bangunan tua itu tempo hari?[]

Baca Juga: [CERPEN] Gadis Malam Tahun Baru

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya