[CERPEN] Penyesalan Marsani

Rasanya seperti akan mengeksekusi seorang terdakwa

Pilihan berat ada di hadapannya. Seorang ibu berbadan tambun dengan leher dan tangan dipenuhi perhiasan, yang duduk tiga kursi di depannya, akan menjadi korban pertamanya.

Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia belum bisa menguasai ketakutannya untuk melakukan hal yang baru dicobanya ini. Sempat beberapa kali ia hendak mengurungkan niatnya, tetapi lagi-lagi bayangan nasib adiknya, Mulyadi, yang terancam tak dapat melanjutkan sekolahnya hanya karena tak bisa melunasi iuran sekolah mengusiknya. Ia tak mau nasib yang dialaminya juga dialami adiknya: putus sekolah dan terkatung-katung hidup sebagai pengamen jalanan.

“Jangan ngelakuin yang macam-macam, Mar!” Di telinganya masih terngiang pesan Emak pagi tadi, sesaat sebelum ia berangkat, tetapi ditepisnya.

“Maafin Mar, Mak,” ia membatin. Ia membulatkan tekad.

Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Telapak tangannya basah. Sebentar lagi ia akan mengeksekusi dompet korban pertamanya, tetapi rasanya seperti akan mengeksekusi seorang terdakwa yang akan ia hukum pancung saja.

Tangannya gemetaran. Jika aksi pertamanya ini gagal, sungguh tak terbayang malapetaka apa yang akan menimpanya. Mungkin ia akan diteriaki sebagai copet, lalu berlari sekencang-kencangnya dari kejaran massa penumpang bus dan bisa lolos.

Namun, kemungkinan lain yang justru akan membahayakan dirinya pun sangat mungkin terjadi. Ia bisa saja tak dapat meloloskan diri dari situasi tersebut. Marsani membayangkan dirinya yang babak belur dan mengerang tak berdaya di tengah-tengah keroyokan massa, yang kemudian menggiringnya ke kantor polisi, disertai hujatan-hujatan mengerikan yang akan diterimanya. Persis seperti yang sering ia baca di surat kabar di lapak-lapak tukang koran.

“Terminal abis! Terminal abis!” Teriakan kernet bus menyadarkannya dari kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang terbayang dalam pikirannya.

Desakan para penumpang yang bergegas berdiri untuk bersiap-siap turun dan bau keringat yang berebut tempat dengan wangi parfum murahan menyerang penciumannya.

Ketika matanya menangkap korbannya hendak turun, ia memantapkan hati. Ia menerobos kerumunan, berusaha melawan himpitan penumpang lain untuk mendekati korbannya. 

Setelah susah payah, Marsani berhasil mencapai korbannya yang kini berada beberapa senti di dekatnya. Ia perhatikan keadaan di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yang memperhatikannya, ia memulai aksinya.

Tangannya berhasil menyusup ke dalam tas si korban. Sedikit gemetar dan ketakutan ditahannya sampai akhirnya ia merasa sudah menemukan apa yang dicarinya. Sebuah dompet. Setelah yakin dengan apa yang dipegangnya, langsung ia tarik tangannya dari tas si korban. Segera disembunyikannya dompet tadi ke saku belakang celananya.

Sesaat ia merasa jantungnya terlepas ketika matanya kembali memastikan bahwa tak ada satu pun penumpang yang memergokinya. Tanpa menunggu bus berhenti sepenuhnya, ia melompat turun. Dengan langkah buru-buru sekali ia menjauh dari bus, menuju musala yang letaknya masih berada di dalam kawasan terminal.

Jang![1]” Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

Marsani mematung. Jantungnya yang semula merasa sedikit lebih lega setelah berhasil menjauh dari bus seketika kembali berdebar. Ia tak berani menoleh.

Jang, saya mau nanya,” sahut si pemilik suara lagi.

Marsani sedikit lega. Barulah ia berani berbalik. Seorang kakek dengan mata sebelah kanannya yang buta dan tangan yang sibuk mengobrak-abrik isi tas lusuhnya, tersenyum kepadanya.

Marsani balas tersenyum. Ia berusaha sebisa mungkin mengendurkan wajahnya yang semenjak tadi dirasakannya tegang.

“Ini, Jang!” Si kakek memperlihatkan secarik kertas berisi alamat di tangannya. “Kalau mau ke alamat ini, dari sini saya harus naik mobil jurusan apa, ya?”

Marsani membaca alamatnya.

“Kakek nggak berani nanya ke calo-calo di sini. Ngeri, serem-serem, euy!”

“Dari sini, Kakek naek aja angkot yang warnanya item itu.” Marsani menunjuk angkot hitam yang berjajar tak jauh dari sisi kiri tempatnya berdiri. “Biasanya angkot itu jurusannya langsung ke Pandeglang, Kek.”

“Yang warna item itu ya? Makasih ya, Jang!” Kakek tadi berlalu.

Baru saja Marsani hendak meneruskan langkahnya menuju musala, jerit histeris seorang wanita kembali mengejutkannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dada Marsani kembali berdegup. Ia celingak-celinguk. Didapatinya orang-orang tengah mengerumuni wanita tambun yang menjadi korbannya. Ia terlihat linglung, menangis sesenggukan sembari nyerocos mengeluarkan serapah.

Tak mau aksinya yang susah payah itu diketahui, Marsani bergegas menuju musala. Ia masuk ke salah satu toilet yang berjajar di sebelah musala tersebut. Sejenak ia bersandar di dinding toilet. Diaturnya kembali napasnya yang tak beraturan. Mencoba menenangkan kembali hatinya. Ia tercenung selama beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali dikejutkan oleh suara gedoran di pintu toilet.

Marsani gelagapan. Dengan serampangan ia geledah dompet hasil copetannya tadi. Hanya uang yang ada di dalam dompet tersebut yang ia ambil, sisanya ia buang begitu saja bersama dompetnya.

Begitu keluar toilet, seorang bapak berpeci sudah menunggunya di pintu.

Marsani menunduk untuk menutupi wajah pucatnya karena was-was. Kemudian cepat-cepat menjauh dari tempat itu. Perasaannya tak tenang. Ia merasa semua mata yang memandangnya seolah tahu kalau dirinyalah si pencopet. Hatinya gusar. Ia merasa terus dikejar-kejar.

Bapak berpeci tadi menemukan dompet yang dibuang Marsani di toilet. Ia menyangka dompet tersebut adalah dompet milik Marsani yang terjatuh, maka ia buru-buru kembali keluar dari toilet. Ia memanggil-manggil Marsani sembari berlari mengejarnya.

Marsani mempercepat langkah untuk menghindar. Namun, si bapak berpeci berhasil menyusulnya.

Wajah Marsani kembali menegang dan memucat ketika si bapak berpeci mencegat langkahnya. “Ini, Kang! Jatoh di toilet tadi.” Si bapak berpeci menyerahkan dompet yang ditemukannya. Dengan tangan sedikit gemetar Marsani menerima dompet tadi.

“Makasih.”

Si bapak berpeci tersenyum mengangguk. “Lain kali hati-hati, Kang! Hari gini banyak orang yang nggak jujur. Kalo dompet Kakang tadi ditemuin sama orang yang begitu, bisa habis digasak. Padahal, siapa tahu itu isi dompet lagi dibutuhin banget sama Kakang. Orang lain mana mau tahu.”

Marsani tertergun. Ia merasa tersentil oleh ucapan bapak berpeci barusan.

“Tapi ngomong-ngomong, itu beneran dompet Kakang?”

Mata Marsani membeliak begitu didapatinya raut curiga terbit dari wajah si bapak berpeci. Sesaat berikutnya ia mengangguk dengan ragu dan takut-takut.

“Dompetnya mirip dompet perempuan ya, Kang.” Si bapak berpeci tersenyum geli. Ia sama sekali tak menyadari kalau lawan bicaranya kembali diliputi rasa was-was begitu menangkap ucapannya barusan. “Eh, maaf, Kang, bukan maksud ngeledek.”

Setelah bapak berpeci tadi berlalu dari hadapannya, Marsani dihantam rasa sesal. Pesan emaknya tadi pagi kembali berputar-putar di kepalanya. Mestinya ia mengindahkan pesan itu. Mestinya ia tahu emaknya tak akan memaafkan dirinya jika mengetahui apa yang dilakukannya. Tubuh Marsani mendadak lunglai. Langkahnya kosong. Apa yang harus saya lakukan? pikirnya.

Untuk sesaat ia diombang-ambing rasa bersalah, sampai kemudian matanya menangkap wanita tambun yang kini dompetnya ada di tangannya itu duduk putus asa di tempat yang pertama kali dilihatnya tadi, di salah satu warung kecil penjual minuman yang banyak berjejer di sekitar terminal. Masih dikerumuni orang-orang di sekitarnya meski tampaknya kerumunan itu tak seramai sebelumnya.

Tanpa dikomando, hati kecilnya menarik langkahnya menuju wanita tambun itu. Entah mendapat keberanian dari mana, Marsani akhirnya memilih untuk mengembalikan uang yang sempat dikantonginya tadi ke dompet yang kemudian dikembalikannya kepada pemiliknya.

“Ng, jangan salah paham dulu. Saya nggak mencurinya. Saya nemu dompet ini di bus. Terus denger dari kernet bus katanya ada ibu-ibu yang kehilangan dompetnya. Makanya saya pikir mungkin ini dompet Ibu. Saya nyari Ibu dari tadi.” Marsani menjelaskan dengan terbata-bata ketika disadarinya semua orang di sekitarnya menyambutnya dengan tatapan curiga. Namun, tak dipungkiri kalau hatinya masih diselimuti ketakutan dan rasa sesal. Bagaimanapun ia saat ini memang tengah berbohong. Ah, dosa baru setelah pencopetan yang dilakukannya tadi.

Di luar dugaan. Alih-alih disangkanya akan mendapat pukulan dan makian dari orang-orang di sekitarnya, Marsani malah mendapat senyum semringah, mata yang kembali berbinar, dan ucapan terima kasih dari wanita tambun tadi setelah diperiksanya isi dompetnya itu masih utuh.

Malamnya, potongan-potongan kejadian siang tadi masih membuat Marsani tak bisa tenang. Hatinya terus merapalkan doa agar Tuhan berkenan menyembunyikan apa yang telah dilakukannya itu dari emaknya.***

 

Note:

[1] Panggilang untuk anak laki-laki dalam bahasa sunda Serang – Banten (Ujang).

Baca Juga: [CERPEN] Sepenggal Cerita di Ujung Senja

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya