[CERPEN] Pesona Agung

Nama itu menyengatku. Sekarang aku ingat siapa dia.

Di antara lelehan air mata di wajahku, aku sedikit tersenyum mendengar candaannya. Kotak perhiasan berbentuk hati di mana sebuah kalung berliontin salib tersimpan manis di dalamnya menjadi saksi dimulainya perpisahan kami.

Pau sengaja menyiapkan hadiah itu untukku sebagai penanda berakhirnya hubungan yang sudah hampir empat tahun kami jalani. Perpisahan yang sama-sama kami sepakati demi kebaikan masing-masing.

“Aku tahu, kamu pasti khawatir dengan liontin salib itu. Aku nggak berharap kamu akan memakainya. Aku—” 

“Bisa kamu pakaikan ini di leherku?” Aku mengeluarkan kalung berliontin salib pemberiannya tadi dari kotaknya, menyodorkannya padanya.

Sepertinya permintaanku barusan mengejutkannya. Untuk sesaat ia masih diam dengan mata cokelatnya yang membelalak. Cengiran nakalnya yang sejak tadi menggodaku begitu aku meloloskan air mata ketika membuka hadiahnya seketika lenyap.

Sekarang aku yang balik melancarkan cengiran nakal untuknya. Untuk meyakinkannya bahwa aku tak bercanda.

“Tapi, kalau Umi tahu kamu pake kalung ini—”

“Umi nggak akan tahu. Aku akan menyembunyikannya di balik kerudungku.”

Itu yang kukatakan padanya, dan itu juga yang kulakukan. Sejak kalung berliontin salib itu bertengger di leherku, sejak itu pulalah aku berusaha menjaga dan menyembunyikannya. Aku sama sekali tak pernah membiarkan siapa pun, termasuk Umi, tahu keberadaan kalung berliontin salib itu di leherku.

Sejak pertama kali aku dan Pau menjalin kasih, baik aku maupun Pau menyadari betul jurang pemisah yang menjadi penghalang paling utama dalam hubungan kami. Keyakinan kami yang berbeda. Itulah yang selama empat tahun menjadi pertimbangan apakah kami akan benar-benar nekat memilih melangsungkan pernikahan di bawah dua keyakinan yang berbeda, atau berpisah.

Empat tahun kami menjalani hubungan dengan harapan Tuhan kami masing-masing akan menunjukkan jalan terbaik. Tidak hanya bagi kami berdua, tapi juga bagi keluarga kami masing-masing.

Aku dan Pau sama-sama bersikeras tak mau menyerah dan berpisah dengan menerima kenyataan kalau hubungan kami sulit disatukan dalam ikatan pernikahan, betapapun aku dan dia sama-sama sangat menginginkannya. Saat itu, baik aku maupun Pau sama-sama berharap, seiring berjalannya waktu, kami akan menemukan jalan terbaik untuk hubungan kami ini. Tentu saja bukan dengan jalan berpisah. Namun, rupanya kenyataan berkata lain.

“Kita sama-sama tahu kalau kita berbeda keyakinan sejak pertama kali menjalin hubungan. Aku nggak mungkin mengorbankan keyakinanku dan berpindah ke keyakinanmu. Aku juga sama sekali nggak berniat menyeretmu untuk pindah ke keyakinanku. Jadi, mungkin perpisahan ini memang sudah seharusnya kita ambil sejak dulu, sebelum cinta yang sama-sama kita rasa begitu menancap seperti sekarang.”

Itu keputusan terakhir Pau yang kemudian aku amini. Sejujurnya, aku masih belum terima mengapa jalan perpisahan itu yang kami ambil. Hubungan kami baik-baik saja. Sangat baik-baik saja waktu itu. Mestinya hubungan kami saat itu berakhir di pelaminan. Bukan di persimpangan yang memisahkan.

Aku bertanya-tanya mengapa Tuhan mempertemukanku dengannya dan membiarkan kami sama-sama terperangkap dalam perasaan yang sama jika pada akhirnya kami mesti berpisah. Namun, perkataan Pau kembali menyadarkanku bahwa Tuhan benar. Tuhan memang selalu benar.

“Kita yang salah. Tuhan mempertemukan kita agar kita sama-sama belajar bahwa apa yang kita inginkan nggak selalu yang terbaik untuk kita. Kita tidak mengetahui, sedangkan Tuhan mengetahui apa-apa yang kita butuhkan. Bukan begitu bunyi salah satu ayat dalam kitab agamamu?”  

Salah satu ayat dalam Al-Quran yang disitir tak sempurna oleh Pau barusan benar. Pau saja yang berbeda keyakinan begitu memahami isi ayat tersebut. Mengapa aku tak bisa memahaminya? Maka sejak saat itu aku berusaha menerima perpisahan itu. Meski tak dipungkiri, harapan untuk bisa bersatu dengannya suatu saat nanti selalu terlipat dan kusimpan rapi dalam hati. Mungkin itu jugalah yang dirasakan Pau.

Meski sejak perpisahan itu Pau memilih untuk berada jauh dariku dengan mengajukan mutasi kerja dari perusahaan tempat kami bekerja demi bisa saling melupakan, Pau masih sering menunjukkan perhatiannya lewat pesan-pesan di surel yang dikirimkannya padaku.

Isinya memang bukan ungkapan-ungkapan rasa cinta atau rindu seperti saat kami belum berpisah, melainkan dorongan dan motivasi yang diberikannya padaku agar aku bisa segera melupakannya dan menerima lelaki lain dalam kehidupanku. Namun, aku tahu, di balik dorongan dan motivasinya itu tersimpan harapan yang sama besarnya denganku untuk bisa menyatukan cinta yang masih melekat kuat di dalam hati kami masing-masing.

Pernah suatu kali, setelah berminggu-minggu berusaha menyembunyikan rasa rinduku yang kian menjadi padanya, aku memutuskan untuk mengutarakannya pada Pau lewat surel balasan. Aku pikir Pau akan membalasnya dengan ungkapan yang sama. Ternyata justru sebaliknya. Ia sama sekali tak menanggapi ungkapan kerinduanku itu terhadapnya. Ia malah mendorongku untuk bisa lebih kuat menahan serangan rindu itu.

Alih-alih membencinya karena ia telah mengabaikan kerinduanku itu, dari kata-kata dalam pesannya, entah mengapa, aku justru menemukan kesakitan yang sama yang dirasakan Pau akibat menahan kerinduan yang ditanggungnya terhadapku. Hanya saja, ia berusaha tak menunjukkannya. Aku menemukan dirinya sekuat hati berusaha mengeluarkan dirinya dari kubangan yang memerangkap kami pada rasa sakit sambil juga berusaha menolongku untuk keluar dari kubangan yang sama.

Sejak saat itu aku pun memutuskan untuk tak menambah bebannya dengan berusaha menolong diriku sendiri. Aku melakukan berbagai cara agar bisa melupakannya. Mulai dari berusaha menenggelamkan diri dengan berbagai kesibukan, berkumpul dengan teman-teman yang sudah lama tidak bertemu, hingga membuka hati untuk lelaki lain dalam kehidupanku.

***

“Ada cinta yang selama ini begitu menghargai dan menghormatimu. Dia menyembunyikannya sampai dia siap menghadapimu untuk meminta kesediaanmu menjadi istrinya.” Begitu Anye membuka obrolannya di sela waktu istirahat makan siang tiga bulan lalu.

Aku menanggapi kalimatnya tadi dengan kernyitan di kening. Aku masih tak bisa menangkap ke mana arah pembicaraan Anye barusan.

“Yas, apa tanggapanmu jika ada seorang lelaki yang belum kamu kenal memintamu untuk menjadi istrinya?” katanya lagi, sembari mencicipi rabeg yang baru diterimanya dari pelayan rumah makan di seberang Stadion Maulana Yusuf yang kami singgahi untuk makan siang. Baru beberapa suapan olahan daging kambing dengan berbagai rempah itu dilahapnya bersama nasi putih hangat di depannya, keringat sudah mengucur di pelipisnya. Mulutnya terus mendesah kepedasan, tapi ia terlihat begitu menikmatinya.

Untuk sesaat aku masih tercenung, kemudian berseru senang karena aku mengira ada lelaki yang telah meminangnya. Namun, reaksi yang ditunjukkannya kemudian membuatku tercekat.

“Ini bukan soal aku, tapi kamu.”

“Aku?” Aku masih belum paham.

“Kamu kenal Agung?”

Aku menggeleng.

“Sudah kuduga. Nggak ada yang bisa mengalihkan perhatianmu dari Paulus.” Dia terkekeh menggodaku. “Dia kerja di perusahaan yang sama dengan kita. Cuma di bagian berbeda. Dia kerja di bagian gudang. Dia kawan baikku.”

Anye meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya, kemudian memusatkan pandangannya padaku. Aku semakin tak mengerti dengan sikapnya. Sekali lagi aku hanya mengernyitkan keningku untuk bertanya, lantas, apa hubungannya kawanmu itu denganku?

“Yas, Agung sudah lama memperhatikanmu.”

Sampai di situ aku masih cengengesan karena merasa tersanjung. Ternyata ada juga orang yang mau repot-repot memperhatikanku.

“Dia juga menyukaimu, tapi dia menyembunyikannya sampai dia merasa dirinya sudah siap mengutarakan perasaannya padamu.” Anye melemaskan bahunya. Membetulkan ujung kerudung toscanya yang nyaris menyentuh kuah rabeg di mangkuknya. Isinya sudah setengah tandas.

“Dan sekarang dia memintaku menyampaikan niatannya untuk bertemu langsung denganmu. Dia ingin meminta kesediaanmu menjadi istrinya.”

Aku tersedak. Anye tampak sedikit terlihat khawatir, tapi kemudian kekhawatiran itu lekas berubah kecut begitu aku menertawakan apa yang dikatakannya barusan. Aku pikir Anye tengah berusaha menggodaku. “Gila. Kenal belum, udah main ngajak nikah aja. Lagian kok, bisa dia suka sama aku gitu aja? Yakin dia nggak bakalan nyesel?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku nggak bercanda. Dia lelaki baik, Yas. Dia udah suka kamu semenjak pertama kali bertemu kamu di perusahaan ini. Kamu yang meng-interview dia waktu itu.”

Aku tak bisa menebak yang mana orang yang dimaksud Anye sebab sampai saat ini banyak sekali calon karyawan yang sudah pernah aku interview. Terlebih calon karyawan laki-laki. Jumlahnya dua kali lipat dari calon karyawan perempuan.

“Kamu ingat, waktu itu ada seorang calon karyawan perempuan yang lagi hamil besar dan nyaris melahirkan saat kamu interview, terus kamu bela-belain menunda jadwal interview itu demi membantu melarikan dia ke rumah sakit?”

Ah, bagaimana aku bisa lupa dengan peristiwa itu. Itu adalah peristiwa langka bagiku. Berhasil membantu seorang anak terlahir ke dunia. Bagiku itu luar biasa. Terlebih, ada kejadian menggelikan yang menyertainya.

“Nah, waktu kamu membawa perempuan itu ke rumah sakit, kamu didampingi salah seorang calon karyawan lelaki yang mestinya kamu interview juga kan hari itu?”

Ya, waktu itu, selain aku, memang ada seorang lagi yang membantuku melarikan perempuan itu ke rumah sakit. Sama sepertiku, lelaki itu juga menunggui perempuan itu hingga anaknya benar-benar lahir. Reaksinya sama bingungnya denganku. Sepertinya, baik aku maupun dia, sama-sama baru pertama kalinya menghadapi orang melahirkan.

Dan lucunya, dokter yang menangani proses persalinan itu mengira dialah suami si peremuan itu. Jadi, begitu si perempuan itu menjerit-jerit memanggil nama suaminya, tanpa bertanya lagi, dokter lekas menariknya untuk ikut masuk ke ruang persalinan. Lelaki itu sempat menolak dan mencoba menjelaskan, tapi dokter tak memiliki waktu untuk mendengarkan. Sementara aku, menunggu di luar.

Sebentar kemudian, dokter kembali keluar. Kali ini ia menarikku. Aku diminta membantunya. Perawat yang ada di rumah sakit itu sibuk semua. Ia mengeluh, terlalu banyak pasien hari itu. Hh, bisa dibayangkan? Baru kali itu aku mendapati rumah sakit kekurangan perawat. Akhirnya, aku dan lelaki itu sama-sama terjebak dalam situasi menegangkan sekaligus menggelikan di ruang persalinan. Setelah bayinya lahir dengan selamat, barulah si perempuan itu sadar kalau lelaki di sampingnya bukanlah suaminya. Terlebih dokternya. Dengan malu-malu dokter meminta maaf pada lelaki itu. Namun sekarang, aku tak lagi bisa mengingat bagaimana rupa lelaki itu.

“Lelaki itu Agung. Kepedulianmu terhadap orang lain yang bahkan belum kamu kenal sebelumnya telah menerbitkan kekaguman yang dia simpan rapi di hatinya sampai dia tahu kalau ternyata aku dekat denganmu. Terlebih, selama ini dia juga sering mendengar tentang perlakuan-perlakuan baikmu terhadap karyawan lain dari pegawai di bagian gudang.”

Aku masih mendengarkan. Aih, sejujurnya, aku jadi sedikit besar kepala sekaligus malu mengetahui ada orang lain yang begitu mengagumiku seperti itu.

“Aku tahu mungkin dia nggak sesempurna Paulus. Paling nggak, beri dia kesempatan buat ketemu kamu. Agung benar-benar serius ingin bertemu langsung denganmu. Jadi, sekarang apa jawabanmu? Kamu mau bertemu dengannya?”

 “Ng…, kalau cuma buat temenan atau pendekatan dulu, hayuk aja. Kalo buat langsung diajak nikah, sorry, kayaknya aku nggak bisa, Nye. Ini kehidupan nyata. Bukan kehidupan seperti dalam film Ayat-Ayat Cinta atau semacamnya. Lagian aku bukan tipe wanita sepertimu yang—” Aku menghentikan ucapanku begitu sadar perkataanku berikutnya bisa saja malah akan melukai Anye. Semestinya ia tahu aku bukan tipe wanita yang suka dijodoh-jodohkan begitu.

Anye kembali melemaskan bahu. Ia tampak kecewa. Aku berpura-pura tak menangkap kekecewaannya itu. Yah, mau bagaimana lagi? Sudah kuputuskan, aku tidak mau menikah dengan lelaki yang belum kuketahui karakternya seperti apa. Lagi pula, harus kuakui, aku masih belum mampu melupakan Pau.

***

Selang dua bulan setelah Anye mengutarakan pesan kawannya itu, aku mencoba melakukan pendekatan dengan Iyan, lelaki yang sudah kukenal sejak SMP. Aku bertemu kembali dengannya saat aku diajak atasanku untuk meeting dengan salah seorang klien perusahaan tempatku bekerja. Tak disangka, dialah klien yang dimaksud atasanku itu.

Selang seminggu setelah meeting itu, Iyan mengajakku bertemu kembali dan mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendamnya terhadapku. Iyan mengaku kalau sebenarnya sejak SMP ia sudah menyukaiku. Mengingat reputasinya sebagai anggota OSIS paling saleh di SMP dulu, juga kebaikan yang ditunjukkannya saat itu, tanpa pikir panjang aku pun menerima ajakannya untuk bisa mengenal lebih dekat satu sama lain dengan harapan bisa segera melupakan Pau dan mengakhiri masa kesendirianku. Aku berharap, dialah lelaki yang bisa mewujudkan harapan Umi yang ingin segera melihatku menikah.

Awalnya hubungan itu tampak baik. Namun, entah mengapa aku masih saja belum bisa menghilangkan ingatanku tentang Pau. Di dalam hati, aku masih sering membanding-bandingkan Iyan dengan Pau. Perlakuan-perlakuan Pau yang menyadarkanku bahwa aku tak seburuk yang aku pikirkan, tak aku temui dalam diri Iyan.

Sikap Iyan sungguh bertentangan dengan sikap Pau. Jika Pau selalu membantu membangun kepercayaan diriku dengan cara berusaha menunjukkan kelebihan-kelebihanku di matanya, Iyan justru meruntuhkan kepercayaan diriku yang telah berusaha sekuat hati kubangun. Jika Pau mau menerimaku dengan segala kekurangan fisikku, Iyan justru terus-terusan memprotesnya.

Berkali-kali Iyan memintaku untuk melakukan berbagai diet agar berat badanku yang mulai naik kembali turun. Juga menyuruhku mengenakan produk penghilang jerwat untuk mengurangi jerawat yang semakin memenuhi wajahku. Pada saat usaha yang kulakukan itu tak berhasil, Iyan malah menyalahkanku. Ia mengatakan aku sama sekali tak mau bersusah payah memantaskan diri untuknya.

Segala komentarnya mengenai kekuranganku, dari mulai tubuhku yang mulai gemuk, wajahku yang penuh jerawat dan lainnya, tak bisa kupungkiri telah memengaruhiku. Kepercayaan diriku turun. Beruntungnya, Anye segera menyadarkanku bahwa ukuran fisik bukan segalanya meski tetap penting.

“Lelaki yang nggak bisa menghargai usahamu, nggak pantas kamu harapkan menjadi imam dalam rumah tanggamu.”

Kalimat Anye itulah yang menjadi landasanku untuk segera mengakhiri hubunganku dengan Iyan, sekaligus juga kembali menarik ingatanku pada Pau. Menurutku, Pau adalah lelaki yang begitu sempurna untuk menjadi imam dalam rumah tanggaku jika saja keyakinan kami tak berbeda.

Setahun berlalu, Umi mengutarakan niatannya untuk memperkenalkanku dengan seorang pemuda yang menurutnya pantas dijadikan imam dalam rumah tanggaku kelak.

“Posisi dia di tempat kerjanya memang nggak sekeren kamu, Yas, tapi, Umi lihat dia pemuda yang sangat baik.” Begitu Umi mencoba meyakinkanku agar aku bersedia bertemu dengan pemuda yang menurut Umi sudah dikenalnya selama hampir setahun ini. Pemuda itulah yang menolong Umi ketika dirinya nyaris terserempet truk di depan gang besar menuju rumah kami selepas pengajian dari masjid komplek. Yang kemudian baru diketahui Umi kalau dia ternyata salah seorang keponakan ustaz yang mengisi ceramah di pengajiannya.

Setelahnya, berulang kali Umi sempat menceritakan tentang sikap dan sifat pemuda itu yang dianggapnya begitu menawan. Namun, selama ini aku pikir semua itu hanya bentuk kekaguman Umi terhadapnya. Tak pernah aku berpikir kalau sikap dan sifat pemuda yang berulang kali diceritakannya itu merupakan upaya Umi agar aku sedikit tertarik kepada pemuda itu. Hingga setelah hampir setahun Umi tak menangkap adanya respon ketertarikan yang diharapkannya dariku, Umi mengutarakan niatannya tadi.

Aku tak lekas menjawab. Pikiranku mengembara ke mana-mana, sementara tanganku sibuk memindahkan sup udang yang baru saja Umi siapkan ke mangkuk-mangkuk kecil untuk sarapan kami.

Aku tahu lelaki macam apa yang dimaksud lelaki baik bagi Umi. Lelaki yang tak mengenal kata pacaran seperti halnya Abi. Namun, aku tetap tidak meyakini kalau kelak hidupku bisa bahagia jika menikah dengan lelaki semacam itu. Buktinya, pernikahan Umi dengan Abi pada akhirnya hanya membuat Umi harus memendam luka karena pernikahan kedua Abi dengan seorang janda beranak tiga yang tak lain adalah kawannya sendiri. Meski Abi tetap bisa berlaku adil pada Umi, istri keduanya, juga aku dan ketiga anak lainnya, tetap saja itu menyakitkan.

Meski selama ini Umi tak pernah memperlihatkan luka itu di hadapanku, bahkan justru tampak begitu ikhlas menerima pernikahan itu, sebagai sesama wanita aku tahu, apa yang dihadapi Umi tidaklah mudah. Wanita mana yang mau membagi suaminya dengan wanita lain? Aku rasa, aku belum mampu seikhlas Umi jika hal yang sama menimpaku. Itu mengapa aku bersikeras harus benar-benar mengenal dulu lelaki yang kelak akan kunikahi.

“Yas, gimana?” Umi mendesak.

“Terserah Umi,” kataku, setengah hati. Sekali lagi kukatakan, aku bukan tipe wanita yang suka dijodoh-jodohkan, tapi aku tak cukup tega untuk melukai perasaan Umi dengan menolak permintaannya itu. Aku pikir, toh Umi tidak mengharuskan aku menikah dengan pemuda itu. Soal keputusan setelahnya, Umi menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Maka selang tiga hari setelahnya, Umi mengatur pertemuanku dengan pemuda itu.

***

“Kalian udah saling kenal?”

Aku tak menanggapi pertanyaan Umi barusan. Seperti halnya Umi, aku juga kebingungan begitu mendapati lelaki bertulang rahang persegi dengan sorot mata ramah yang tersenyum manis di hadapanku ini menyebut namaku. Seingatku, aku tak pernah bertemu, apalagi mengenal dia sebelumnya. Meski begitu, entah mengapa, ada bagian dari diriku mengatakan kalau sorot mata ramahnya itu tak asing lagi bagiku.

“Kita satu tempat kerja. Cuma di bagian berbeda. Mbak Yasinta mungkin nggak pernah tahu saya, tapi saya dan semua karyawan di bagian saya tahu dia, Umi,” dia menjelaskan. Dan, apa yang barusan kudengar tadi? Dia memanggil ibuku dengan sebutan Umi?  

Terus terang saja, aku dibuat terpesona oleh sikap yang ditunjukkan lelaki di hadapanku ini. Tampangnya memang biasa saja. Penampilannya juga sederhana. Namun, senyum yang ditunjukkannya mampu menerbitkan perasaan nyaman di hatiku. Ia terlihat begitu menghormatiku tanpa perlu kehilangan wibawanya sebagai seorang lelaki. Ia juga terlihat sudah begitu akrab dengan Umi. Pembawaannya menyenangkan. Sekarang aku mengerti mengapa Umi menyukai pemuda di hadapanku ini.

“Saya Agung. Kawannya Anye.”

Nama itu menyengatku. Sekarang aku ingat siapa dia.[]

Baca Juga: [CERPEN] Selalu Ada Rindu yang Menyengat

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya