[CERPEN] Sepenggal Cerita di Ujung Senja

Paulus tertegun. Hatinya bergolak. "Maaf, Nai."

Paulus merebahkan diri di atas hamparan pasir. Ia gunakan lengannya sebagai alas kepala. Menengadah. Menatap sang surya yang lamat-lamat membiaskan semburat jingga sambil dinikmatinya hembusan angin laut yang menampar-nampar wajahnya.

Sengaja ia istirahatkan sejenak tubuhnya yang sudah seharian ini terpanggang terik matahari. Entah untuk keberapa kalinya ia seka peluh yang membanjiri wajah dengan punggung tangannya. Sudah seharian ini ia bolak-balik menawarkan dan mencoba merayu beberapa pengunjung agar berminat menyewa motor ATV-nya, tetapi hasilnya nihil. Sudah dua hari ini ia hanya mampu mendapatkan uang seratus ribu rupiah dari usaha sewaan motor ATV-nya, yang nantinya harus rela jauh menyusut setelah dipotong uang makan dan bahan bakar ATV.

"Nyewa ini berapa, Mas?" Suara lembut seorang wanita membuat kelopak matanya yang sempat terkatup terkesiap. Hampir saja ia ketiduran.

Wanita bertubuh mungil dengan lesung pipi yang menghiasi senyumnya dilihatnya sudah duduk manis di atas jok motor ATV. Menghadap ke arahnya dengan mata mengerjap-ngerjap menggoda.

"Nai? Kau mengagetkanku saja." Paulus bangkit dengan malas. Duduk dengan kedua tangan bertolak ke belakang, menopang tubuh kurusnya dengan kepala tetap menengadah. Matanya kembali terarah ke matahari yang sebentar lagi bersembunyi di balik lautan.

"Dasar pemalas," sungut Nai sembari melompat turun dari motor ATV, menghampiri Paulus dan duduk di sampingnya. Lengannya bergelayut manja pada bahu Paulus.

Paulus sengaja berdiri untuk melepaskan gelayutan tangan Nai dari bahunya. Ia regangkan kedua lengannya sambil memenuhi rongga dadanya dengan udara. Tak lama Nai ikut bangkit, berdiri di sisinya.

Paulus menyeret langkah. Memahatkan jejak kakinya yang tanpa alas di atas pasir. Mendekati gulungan ombak yang masih bergelora. Meninggalkan Nai di belakangnya. Ia tahu Nai pasti kesal karena merasa tak diacuhkan olehnya. Namun, itulah tujuannya. Ia berharap dengan cara ini Nai bisa menjauhinya dan mulai melupakannya.

"Pau?" panggil Nai dari belakang.

"Hmm." Paulus menjawab tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun pada Nai. Matanya masih saja menekuri mentari yang dengan anggun mulai menyentuh garis lautan.

"Akhir-akhir ini kau begitu dingin padaku," ungkap Nai tanpa basa-basi. Kakinya tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Matanya terpagut pada punggung Paulus yang tampak lebih kurus dengan tulang-tulang belikat yang semakin menonjol.

Paulus terkekeh, lalu menoleh. "Aku rasa itu hanya perasaanmu saja, Nai," timpal Paulus, datar. Ia berbalik dan melangkah menuju motor ATV-nya.

"Mau ke mana, Pau? Kita belum selesai bicara." Belum sempat Paulus menstarter motornya, Nai sudah lebih dulu mencegatnya.

"Ini udah sore, Nai. Aku mau pulang. Kau tahu ‘kan malamnya aku harus berjualan bajigur?" Tangannya sudah memutar kunci kontak dan menstarter motor ATV-nya.

"Tapi aku belum selesai bicara." Naila memberengut kecewa.

"Mau bicara apa sih, Nai? Besok lagi kan bisa."

"Ini hari terakhirku di sini, Pau." Wajah Naila berubah muram.

Paulus kembali mematikan mesin motor ATV-nya. Ia tatap lekat-lekat wajah wanita yang beberapa hari ini telah memenuhi ruang dalam mimpi-mimpinya itu. Ada rasa kehilangan yang menyergap dan menyesakkan dadanya ketika mendengar ucapan Naila barusan.

"Dan hari ini juga aku ingin meminta kejelasan soal hubungan kita," lanjut Nai.

Paulus mendesah resah. "Hubungan kita?"

Ia terpaksa bersikap seolah tak mengerti meski sebenarnya mengerti sekali dengan apa yang dimaksud Naila.

"Ya. Aku pikir ada something special di antara kita, Pau. Tapi, akhir-akhir ini aku merasa kau menjauhiku. Aku jadi ragu. Aku hanya ingin memastikan, apa artinya kedekatan kita selama seminggu ini untukmu?" Naila jeda sejenak. "Paling nggak sebelum aku pergi." Tangannya menyentuh lembut tangan Paulus yang masih tertahan di stang motor ATV-nya.

Paulus tak mampu menjawab. Ia sengaja memalingkan kembali wajahnya ke arah laut agar Naila tak menyadari cairan hangat yang hampir meruyak dari balik kelopak matanya. Pikirannya menerawang ke waktu seminggu yang lalu, saat pertama kalinya pertemuan dan kedekatan antara dirinya dan gadis yang kini ada di hadapannya tercipta.

Saat itu, seperti biasa Paulus menawarkan pada tiap pengunjung pantai untuk menyewa motor ATV-nya. Setelah beberapa kali berputar, akhirnya ia dapatkan juga pengunjung yang mau menyewa ATV-nya. Pengunjung itu adalah Naila, mahasiswi asal Jakarta yang sengaja berkunjung untuk mengisi waktu liburan kuliahnya bersama kedua orang tua dan beberapa sepupunya.

"Lima puluh ribu dua puluh menit, Neng," jawab Paulus saat Naila iseng bertanya tarif sewa motor ATV-nya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Awalnya Naila ragu karena takut mengendarai motor ATV tersebut, tetapi setelah Paulus meyakinkan kalau dirinya akan memandu dan menjaganya, akhirnya Naila yakin dengan keputusannya menyewa motor ATV Paulus.

Perlahan-lahan Naila mulai mengendarainya setelah sebelumnya diberi pengarahan oleh Paulus. Sampai akhirnya ia mencoba memacunya lebih cepat. Dirasakannya angin laut semakin kencang menerjang wajahnya dan membuat rambut hitam panjangnya berkibar indah. Ia merasakan adrenalinnya mulai terpacu.

Apalagi tanah berpasir yang dilaluinya berstruktur miring hingga membuat tubuhnya seakan nyaris terjungkal dari atas ATV. Meski begitu, ia tampak menikmatinya. Naila bahkan memacu motor ATV-nya lebih cepat lagi dan lagi sambil bersorak kegirangan.

Di atas motor ATV itulah keakraban Naila dan Paulus akhirnya tercipta. Sesekali mereka saling melempar canda dan tertawa. Sampai akhirnya Naila menyadari kalau motor ATV yang ditungganginya tak bisa ia kendalikan. Remnya tiba-tiba saja blong. Lajunya meliuk-liuk tak beraturan. Naila panik.

Dari jok boncengan, Paulus berusaha mengambil alih stang dan persneling motor yang dipegang Naila. Kakinya berusaha menjangkau rem, mencoba kembali menginjak rem dengan lebih kuat. Gagal. ATV-nya lebih dulu menabrakkan diri ke bangkai perahu yang ada di sisi pagar salah satu vila.

Naila dan Paulus beserta motor ATV-nya terjungkal. Beruntung mereka tak mengalami luka parah. Hanya luka lecet di bagian kaki, siku tangan, dan sedikit benjol di kening. Beberapa pengunjung lain yang menyaksikan peristiwa tersebut ikut menolong mereka dan membantu mengangkat motor ATV-nya.

Peristiwa naas yang justru berbuah manis karena semenjak hari itu Naila jadi sering ke pantai untuk menemui Paulus. Mereka selalu menghabiskan senja berdua sambil nangkring di badan salah satu bangkai perahu yang berjejer di sisi pagar-pagar vila. Saling bersandar hingga saling memautkan jemari. Memautkan mata hingga saling memautkan hati. Ya, tak perlu waktu lama rupanya cinta sudah menyusup dan mendiami bilik hati keduanya. Menanamkan benih kasih sayang yang semakin hari semakin bertunas.

Sayangnya, tunas itu terpaksa harus Paulus cabut dan membuangnya jauh-jauh sebelum benar-benar tumbuh dan berkembang. Ia tahu ini akan berat, tetapi takdir yang mempertemukannya dengan ayah Naila malam itu, memaksa dirinya untuk mau tak mau harus melakukan semua ini.

* * *

"Jawab, Pau! Apa artinya kedekatan kita selama ini untukmu?" desak Naila. "Kumohon. Paling nggak agar aku bisa pulang dengan tenang."

"Apanya yang harus kujawab? Bukannya sudah jelas kalau selama ini kita..., kita, ya berteman," Paulus tersenyum dingin. Ia berusaha menyembunyikan penderitaannya di hadapan Naila.

"Teman?"

"Ya."

"Tapi, aku pikir kau...," mata Naila mulai berkaca-kaca. Ia menelan rasa kecewa.

Paulus tertegun. Hatinya bergolak. "Maaf, Nai."

Naila tersenyum getir.

Suara debur ombak mulai melemah. Matahari sudah seperempat bagiannya menghilang ditelan lautan.

Paulus turun kembali dari motornya. Menatap lekat wajah Naila dan menyungging senyum.

Kini Naila dan Paulus berdiri berhadapan.

"Boleh aku meminta sesuatu darimu?"

"Apa?"

"Boleh aku memelukmu?"

Paulus kembali tertegun. Belum sampai Paulus mengiyakan, Naila sudah meraih tubuh Paulus dan memeluknya erat seakan tak rela melepas kenangan manis yang sempat dicecapnya bersama pemilik tubuh jangkung kurus itu.

Kali ini Paulus benar-benar merutuk dirinya. Kalau saja malam itu ia tak terserang migrain, hingga harus lebih awal menutup warung bajigurnya dan membuatnya harus bertemu kembali sosok lelaki masa lalu yang pernah sangat dekat dengan kehidupannya, mungkin saat ini ia akan balas memeluk erat Naila.

Sosok lelaki yang telah membuat ibunya, dirinya, dan kedua adiknya harus berjuang menjalani kerasnya hidup tanpa sosoknya, tiba-tiba saja hadir kembali di rumahnya setelah belasan tahun meninggalkannya. Ia berusaha meminta maaf, memohon ampun atas sikap pengecutnya di masa lalu pada ibunya dan dirinya. Sosok lelaki yang baru diketahuinya juga memiliki peran sebagai ayah Naila, wanita yang baru mulai dicintainya.***

Baca Juga: [CERPEN] Perempuan yang Datang dari Bulan

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya