[CERPEN] Titik Pencarian

Kegelisahan, apa pun bentuknya, berhak memiliki tempat

Lirik-lirik lagu itu terus memenuhi telinganya. Belasan kali. Puluhan kali. Ratusan kali. Sampai ia tak tahu lagi sudah berapa kali tepatnya mendengarkan lagu itu. Sebelum beranjak tidur, bahkan sampai saat berbaring di kasurnya dengan buku di tangan kemudian memejamkan mata, ia pun memutarnya.

Di perjalanan memutarnya. Saat terjebak macet memutarnya. Saat berkumpul dengan teman-temannya pun terus mendengarkannya dengan earphone terpasang di telinga. Termasuk saat berhadapan dengan lelaki yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya ini.

Jika teman-temannya yang lain tak ada yang memedulikan kehadiran earphone yang hampir tak pernah lepas dari telinganya, lelaki ini memperhatikannya jauh sebelum keduanya kini duduk di sebuah kedai langganan tempat mereka biasa menikmati semangkuk sup durian. 

“Mau dong ikut dengerin.” Telapak tangan lelaki di hadapannya menadah seperti meminta sesuatu.  

Ia urung menyuapkan sesendok sup durian ke mulutnya. “Apa?” 

Lelaki itu memberi isyarat dengan cara menunjuk-nunjuk telinganya sendiri.  

Ia mencabut earphone yang terpasang di telinga kanannya. “Apaaaan?” 

Si lelaki tak menjawab. Lekas mengambil alih earphone tadi, memasangkannya ke telinganya, dan nyengir. 

“Huh, kirain apa!”  

Kini keduanya mendengarkan lagu yang sama berulang-ulang. Berulang-ulang. Kemudian lelaki itu menyadari sesuatu. 

“Anak muda seperti kita, meragukan eksistensi Tuhan, kegelisahan semacam itu wajar.”  

Untuk kedua kalinya ia urung menyuapkan sesendok sup durian ke mulutnya. Kalimat yang terlontar dari mulut lelaki di hadapannya itu menyentilnya. Ragu harus merespon seperti apa, maka yang kemudian ia lakukan adalah melanjutkan menikmati sup duriannya dan bersikap seolah tak mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. 

Lelaki itu tersenyum dan memandanginya.

Ia tahu sekarang bahwa usahanya untuk berpura-pura tak mendengar apa yang dikatakan lelaki di hadapannya itu sama sekali tak berhasil. “Apaan sih?” Masih berpura-pura tak mengerti. 

“Nggak usah ngerasa berdosa gitu.” 

“Ih, apaan siiik?” Ia mulai kesal, sengaja mempertemukan bibir atas dan bagian bawah hidungnya untuk mengejek. 

“Orang, kalau ngebaca atau ngedengerin sesuatu sampai berulang-ulang gitu biasanya dia lagi berusaha meyakinkan dirinya akan sesuatu. Misalnya, kalau saat ini dia lagi ngerasa down, biasanya dia bakal berusaha meyakinkan dirinya untuk bangkit dan bersemangat lagi dengan cara ngedengerin lagu-lagu yang liriknya bikin dia termotivasi untuk bangkit. Atau, saat dia nggak mempercayai sesuatu—” 

“Kok, omongannya makin ngelantur sih?” 

“Aku tahu, Ai, aku tahu, kamu sebenarnya lagi nggak percaya kalau Tuhan itu ada. Dan aku mengerti kenapa kegelisahan semacam itu menghampiri kamu sekarang ini.” 

Ia meletakkan sendok yang dipegangnya begitu saja di mangkuk. Bahunya melemas. Ia tak bisa menampik kebenaran yang terlontar dari lelaki di hadapannya itu. Memang itulah yang saat ini tengah ia rasakan.

Sekeras apa pun ia berusaha meyakinkan dirinya untuk memercayai bahwa Tuhanlah yang selama ini memberikan ia kesempatan hidup di dunia ini. Bahwa sudah seharusnya ia berterima kasih dan bersyukur atas segala yang bisa dinikmatinya di dunia ini, perasaannya, pencarian yang dilakukannya selama delapan tahunan ini, justru menuntunnya pada pandangan dan keyakinan yang sama sekali lain dengan apa yang selama ini dicekokkan oleh orang-orang di sekitarnya, oleh agamanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sejauh ini ia berhasil membohongi orang lain, membohongi teman-temannya, bersikap seolah masih memegang kepercayaan yang kebanyakan orang pegang dan yakini, tapi tak bisa membohongi dirinya sendiri. Semakin banyak membohongi dirinya, semakin tersiksa ia.

Kegelisahan itu semakin menusuknya, mengurungnya dalam labirin pertanyaan yang tak berkesudahan. Menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tak sesederhana yang ia duga. Semakin banyak ia melakukan pencarian, rasanya malah semakin membuatnya ingin menjauhi pendapat umum semacam itu. 

“Aku juga pernah berada di titik itu, Ai. Aku mengerti. Kegelisahan, apa pun bentuknya, berhak memiliki tempat dalam diri kita. Terimalah kegelisahan itu, lalu netralkan. Jangan terus-terusan dilawan. Dia justru akan semakin kuat kalau terus-terusan dilawan begitu. Terimalah dia sebagai bagian dari dirimu.” 

“Tapi, orang-orang akan menjauhiku kalau mereka tahu aku—“ 

“Aku nggak akan melakukannya.” 

“Tapi, yang lain?” 

"You really think too much, Ai...."

"Kamu tahu kan, orang-orang sekarang, terutama di negeri kita, belum banyak yang bisa menerima pandangan semacam ini. Aku khawatir—"

“Kalau teman-temanmu mampu memandang perbedaan sebagai sesuatu yang semestinya pantas dihargai, aku yakin mereka juga seharusnya mengerti dan menghargai pandanganmu itu.” 

“Seandainya semua orang bisa bersikap dan berpandangan sepertimu, mungkin aku akan percaya kalau Tuhan itu benar-benar ada dalam setiap hati manusia, Nik.” 

“Aku masih percaya suatu saat kamu akan sampai pada titik itu tanpa aku, atau siapa pun, harus memaksamu, untuk percaya bahwa Tuhan itu layak dipercaya. Tahu kenapa? Karena aku tahu, meski kadang sikapmu tampak begitu kekanak-kanakan, cara berpikirmu sebenarnya jauh lebih dewasa dari seorang lelaki dewasa sepertiku sekalipun.

Lagi pula, pencarianmu itu belum selesai kan? Kamu masih akan menemukan banyak kemungkinan, tapi satu hal yang perlu kamu tahu Ai, bahwa nggak semua pertanyaan membutuhkan jawaban."

"Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk menemukan jawaban atas segala hal di dunia ini. Kamu tahu itu artinya apa? Itu adalah bukti bahwa manusia, tercipta atau diciptakan, dengan keterbatasan.” 

Ia meraih sendoknya kembali, secara refleks mendenting-dentingkannya pada permukaan bagian dalam mangkuknya. Untuk sesaat ia memikirkan apa yang barusan dikatakan sahabatnya itu. "Thank's, Nik."

Lelaki di hadapannya meringis, merasa ucapan terima kasih tadi berlebihan baginya.

“Gimana kalau seandainya aku justru sampai di titik yang sebaliknya dan menetapkannya sebagai keyakinanku?” 

“Aku hanya perlu menerimanya sebagai pilihan.” 

Sampai di sini keduanya saling tertegun, saling berpandangan, sesaat kemudian mereka tertawa. “Kok, obrolan kita jadi serius banget gini sih?” 

“Kamu siiih!” 

“Laah, kok, akuuu?” Keduanya meletupkan tawa kembali, lalu sesaat kemudian lagu yang sempat mereka abaikan tadi kembali memenuhi telinga. Kali ini mulut keduanya sama-sama ikut menyanyikan lagu itu. Berulang-ulang, tanpa sadar dua jam telah lewat. Pengunjung kedai sup durian sudah semakin berkurang.[]

Baca Juga: [CERPEN] Janji, Tidak Saling Jatuh Cinta

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya