[CERPEN] Kopi Terakhir

Kopi jadi teman terakhir sebelum kematianmu

 

Secangkir kopi di hadapanmu telah lama mendingin. Sengaja kau diamkan. Mungkin. Di seberang meja, aku masih dengan santai menyeruput kopi hitam kental ini. Cairan hitam favoritku. Dan ini adalah cangkir kelima sekaligus terakhir.

“Apa perlu aku teguk jatah kopimu?” tanyaku dengan senyum dikulum. Kau hanya melengos. Aku tahu itu bukan jawaban. Kau melengos karena heran setengah mati dengan lontaran pertanyaanku. Ekspresinya seperti hendak bertanya apakah masih tersisa kewarasan dalam kepalaku.

“Kau pernah takut?”

Aku menggeleng. Pertanyaan barusan adalah pertanyaan yang entah keberapa kalinya.

“Aku tak pernah menyangka akan menitipkan kepingan hati pada psikopat sepertimu,” ucapnya terdengar mengambang. Menyisakan seulas senyum miris.

“Dan aku pun tak akan pernah menyangka bisa jatuh dalam pelukan orang introvert sepertimu.” Aku menekan suara pada kata introvert. Sebuah kata yang membuatku tergila-gila dengan ‘dunia kesendirian’ dan tentang pesona diam pada dirinya. Ya, lelaki introvertku yang penuh dengan kejutan. Tapi, kejutan terakhir yang ada padanya sekaligus datang dari ibunya yang membuatku harus dipakaikan baju khusus bergesper ini. Hanya saja mulutku tak dipakaikan masker aneh itu. Karena aku mungkin tak seagresif Hannibal Lecter dalam film Silence of the Lambs.

“Seharusnya kau tahu prinsip yang kuanut. Aku tahu kau begitu mencintaku. Tapi aku kecewa, sangat kecewa, karena kau tak menerima bahwa cintaku untuk orang yang melahirkanku lebih besar daripada cinta untukmu!”

Suara serakmu melengking. Lengkingan yang sedari tadi tadi kau tahan karena menahan semua emosi. Ia menyebut...siapa itu? Ah, ya, Ibu. Ibu. Wanita yang pernah melahirkannya. Sosok yang tak pernah kukenal karena memang sejak dini aku tak pernah mengenal wanita yang dipanggil ‘ibu’. Lantas mengapa setiap orang wajib tunduk dan patuh pada perkataan wanita itu? Bukankah sama dengan wanita lainnya? Apakah setiap yang terlahir sebagai perempuan harus menjadi seorang ibu?

Kau menatapku tajam. Ah, rasanya ingin sekali menyeruput bola mata hitammu yang pekat, Sayang. Mirip pekat kopi.

“Jangan bilang hanya karena kau tak mempunyai seorang ibu!” Kali ini telapak tangannya mengepal lebih keras. Deru nafas beratnya sampai terdengar. “Lagu klasik yang selalu kau agungkan!”

Aku menyunggingkan senyum. Aku tak tersinggung sedikitpun. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tak pernah punya perasaan takut, kecewa, sedih ataupun macam perasaan negatif lainnya? Dan dihadapanku, lelakiku yang bermandikan keringat dingin, cemas, takut dan gelisah menatap jarum jam. Tengah malam terlewati dua menit yang lalu. Ah, bulir air mata meluncur di pipinya.

“Jika nanti kau bertemu ibuku disana, titip salam sayangku untuk beliau,” desisnya tergugu. Aku tersenyum tipis. Itu pun jika memang ditakdirkan bertemu kembali. Kalau tidak? Selamanya aku berhutang amanat salam untuk ibumu?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ibumu orang baik. Mana mungkin dipertemukan dengan orang jahat sepertiku.” Aku terpaksa menyelipkan kata ‘baik’.

“Karena kau membuatnya pergi. Dan hanya kau yang akan bertemu dengannya saat nanti,”

Kau bangkit dari dudukmu setelah petugas yang sedari tadi mengawasi memberi isyarat untuk menyudahi percakapan. Kau dengan langkah ringan menuju pintu. Tak lagi menengok padaku. Hanya menyisakan bayang punggungmu yang menjauh. Dua petugas lain datang menjemputku. Menatapku tajam.

***

Aku tak mengindahkan rentetan kalimat yang meluncur dari seorang pemuka agama di sampingku. Terlambat. Harusnya aku diceramahi saat hendak menembak ibu dari kekasihku yang sudah menghinaku setengah mati. Ia kini telah mati karena tanganku.

Si pemuka agama terdengar melangkah menjauhiku. Angin menderu kencang. Sekencang ikatan tanganku pada tiang pancang ini. Entah radius berapa meter, para petugas khusus itu bersiap dengan senjata mereka. Ingin rasanya kuucapkan selamat dan kuberi hadiah bagi yang pelurunya berhasil menembus jantungku.

***

Aroma rumput dan tanah basah berpadu dengan aroma bebungaan. Aku melihat kau. Tapi tak dapat kujangkau. Pelan kau berjongkok di tepi tempat ibumu, membelai nisannya.

“Wanita itu sudah mati, bu. Aku harap ibu tak akan mati untuk kedua kalinya bila bertemu di sana.”

Aku tertunduk.

Dasar cerewet.

Bukankah sudah kukatakan bila ibumu orang baik dan aku orang jahat? Untuk apa kami dipertemukan?

 

Bumiayu
21: 51
15 November 2017

Esa Nurul Jannah Photo Writer Esa Nurul Jannah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya