[CERPEN] Umpatan-umpatan Doa

Kopi hitam panas disajikan di depan meja tempatku duduk. 

Kopi hitam panas disajikan di depan meja tempatku duduk. Doni melihatku, mukanya menunjukkan ekspresi bertanya-tanya, kapan pesanan dia datang. Doni salah satu teman kerjaku, walaupun beberapa kali aku harus bekerja dengan orang lain, tapi aku paling cocok bekerja dengan Doni.

Doni ini juara balapan trek-trekan di kampungnya. Siapa pun yang taruhan mendukung Doni, 100% akan menang. Beberapa menit kemudian, pesanan Doni datang, mie goreng instan dengan sedikit sayur dan telor ceplok, lalu es teh manis favoritnya juga dihidangkan. Tak lupa, Doni berdoa sebelum makan. Mulutnya kumat-kamit baca doa yang aku juga tidak mengerti.

“Don, makan aja langsung, kenapa lo berdoa lama banget sih.” Aku selalu bertanya mengapa Doni selalu berdoa.

“Biar aman Ben, kalau gue tersedak terus mati gimana?”

“Ya gue ketawain.”

Begitulah percakapan kami setiap hari, tidak pernah jelas arahnya ke mana. Sejak kecil, Bapak juga mengajarkanku untuk berdoa. Jangan lupa berdoa sebelum melakukan sesuatu. Tapi aku selalu bingung, tidak paham untuk apa kita berdoa. Siapa juga yang akan mendengarkan? Terlalu abstrak buatku. Dulu aku pernah menanyakan tujuan berdoa ke Bapak.

Bapak menjawab dengan logat jawanya, “Nak, jadi manusia itu jangan sombong, ada kekuatan yang lebih besar dari diri kamu ini.”

Pada saat itu aku hanya mengangguk saja, karena anak kecil yang belum mengerti apapun. Tapi Bapak selalu mengingatkanku untuk berdoa. Entahlah, apa yang Bapak harapkan, padahal yang keluar dari perut istrinya adalah seorang anak laki-laki yang nantinya juga tidak pernah berdoa.

Percakapan itu terjadi lebih dari 17 tahun yang lalu saat Bapak masih hidup. Sekarang, hanya aku dan Ibu yang berusaha untuk hidup. Ibu juga selalu berkata Bapak itu orangnya baik, mengagumi keindahan, selalu mengingat Tuhan dan berdoa. Bapak tidak pernah mengeluh akan pekerjaannya.

Menurutku, itu semua palsu. Bagaimana mungkin seorang Bapak yang katanya baik, mengagumi keindahan dan yang selalu berdoa kepada Tuhan itu meninggalkan keluarganya terbelit dalam kesusahan. Seperti benang untuk menjahit yang sudah berbelit-belit menjadi bola, melihatnya saja malas, apalagi menguraikannya.

Satu-satunya yang dapat aku ambil hanya keahlian mengisap rokoknya saja. Bapak meninggal tanpa warisan dan tanpa harta apapun untuk aku dan ibu, kami ditinggal Bapak saja hampir menyentuh garis kemiskinan, dua tahun kemudian kami benar-benar miskin.

Aku tetap saja heran dengan Ibu, dia tetap saja membela Bapak walaupun aku yakin Ibu juga tahu kalau Bapak salah. Cinta pikirku.

“Aku Beni, dipanggilnya Ben.”

Terdengar tertawa kecil entah dari mana asalnya. “Ok Ben, kamu bisa apa?”

Itu percapakan dan kejadian yang selalu terjadi pada saat aku menawarkan diri untuk bekerja. Tertawa, kemudian, pertanyaan aku bisa apa? Aku bisa apa? Memangnya dia yang bertanya bisa melakukan semua hal lebih baik dariku? Siapa bangsat-bangsat yang dapat menjadi atasan ini? Apa memangnya yang sudah mereka lalui hingga bisa bertanya kepada orang “kamu bisa apa?” Siapa yang berhak menanyakan hal tersebut kepadaku, Ben yang telah melewati banyak hal dalam hidup.

Tapi, aku teringat kata Ibu, “Ikuti saja nak, namanya juga mencari kerja, jangan lupa berdoa.” Setiap kali aku akan melakukan sesuatu, ibu selalu berkata jangan lupa berdoa. Itu hanya aku dengarkan saja tapi tidak pernah aku lakukan.

Untuk apa berdoa? Memohon kepada Tuhan? Mencari kemudahan? Selamat dunia akhirat? Itu sih kata para ulama berlogat ke arab-araban yang ibu selalu lihat di TV. Untungnya kami masih punya TV. Setiap orang selalu berdoa, bahkan Doni, teman terdekatku selalu berdoa.

Jujur sajalah, pekerjaanku dan Doni pekerjaan kotor. Kami berani memukuli orang untuk menagih utang, kami kecil-kecilan berjualan narkoba, menjual wanita-wanita desa ke tempat prostitusi, melakukan apa saja asal dapat uang. Walaupun begitu, sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, Doni, temanku ini selalu berdoa kepada Tuhan agar selamat.

“Don, untuk apa lo berdoa lagi tolol, Tuhan pun malu punya kita.” Aku selalu berusaha menyadarkan Doni.

“Ben, Gue punya keluarga, anak gue baru umur dua tahun, gila lo. Paling tidak selamat saja dulu.”

“Pembenaran aja lo bisanya, anak lo juga nanti lupa sama Bapaknya. Pekerjaan lo sekarang tuh tanpa berdoa juga lancar-lancara aja Don. Berapa kali kita hampir ditangkap polisi-polisi anjing itu. Lolos juga kan.”

Tapi tetap saja Doni berdoa. Aku saja tidak tahu Doni ini mengakui adanya Tuhan atau tidak, apalagi punya agama. Bagaimana mungkin, seorang manusia yang tidak punya keterikatan atas hal yang gaib tersebut memanjatkan doa. Berkumat-kamit mulutnya dengan cepat dan lancar agar setiap doa dikabulkan. Lebih baik ikut aliran sesat saja menurutku. Toh apa bedanya, sama-sama percaya hal yang gaib, mencari koneksi dengan yang gaib, berkumat-kamit juga mulutnya.

Malam ini setelah makan di warung langganan, aku dan Doni akan menagih utang. Bos kami (si bangsat yang menanyakan aku bisa apa), meminta agar malam ini kami harus menagih dan mendapatkan uang tersebut. Kami berangkat mengendarai motor Doni dengan menggunakan helm full face andalan kami.

Kami bergegas menuju rumah tujuan untuk menagih utang. Doni dengan lihai meliuk-liuk di antara mobil-mobil, gerobak bakso, becak dan yang pasti menerobos lampu merah beberapa kali.

Akhirnya kami sampai di perumahan Si Tukang Utang. Kami memarkir motor agak jauh dari rumah Si Tukang Utang, lalu kami berjalan perlahan untuk mengampiri rumah nomor 34. Keadaan komplek rumah sepi di saat malam seperti ini. Ini rumah besar sekali pikirku, orang macam apa yang meminjam uang kepada Bos, seharusnya orang seperti ini tidak perlu meminjam uang untuk menghidupi keluarganya. Dinding rumah yang bercat putih dan pagar keemasan menjulang tinggi menjaga rumah tersebut dari luar.

Cara kami menagih, bukan seperti tukang tagih biasa, kami akan masuk ke kamar tidur Si Tukang Utang, lalu kami menodong Si Tukang Utang dengan golok dan pistol mainan, membekap dia dan biar Si Tukang Utang bayar hutangnya saat itu juga. Siapa yang tidak takut dengan cara itu. Selalu berhasil tapi berbahaya, apabila gagal, Si Tukang Utang bisa teriak dan kami ketahuan lalu dipukuli warga sekitar, keesokan harinya masuk halaman depan koran lokal.

Sebelum melakukan aksinya, Doni lagi-lagi berdoa. Aku melihat Doni sedang mengangkat tangannya.

“Don, ngapain sih lo? Ayo cepat, jangan kelamaan. Nanti ketahuan satpam rumah ini habislah kita.” Doni tetap melihat langit kosong berkumat-kamit mulutnya melantunkan doa.

“Don, doa itu harus serius, kalau lo mau berdoa lo harus jadi orang baik, kita kan bukan orang baik Don, sudahlah ayo.” Aku tetap berusaha menyadarkan Doni, untuk apa juga berdoa.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Orang-orang seperti Doni ini yang melecehkan maksud dan tujuan berdoa. Kalaupun memang Tuhan melihat, Tuhan juga akan paham orang seperti aku dan Doni tidak perlu berdoa. Mati pun Tuhan juga tidak akan menganggap kami mati.

Kami pun memanjat, mencari celah untuk masuk dari atap. Dengan memanfaatkan denah rumah yang diberikan Bos, kami dengan lancar dapat naik ke atap rumah yang langsung menuju atas langit-langit kamar Si Tukang Utang. Kami berdiri pada pondasi atap rumah. Aku buka sedikit langit-langit kamarnya, Doni mengikuti aku di belakangku. Kamarnya terang, lampu masih menyala, aku melihat ke bawah dengan hati-hati. Tetapi, tidak ada siapapun. Aku heran.

“Ben, ayo turun saja, daripada kelamaan, mungkin dia di kamar mandi.” Doni sambil mendorong badanku agar kami turun ke kamar. Tapi aku bingung, biasanya tidak pernah seperti ini. Kami harus menunggu Si Tukang Utang tidur, entah bersama istri, anak atau wanita lain. Lalu kami masuk, mengancam dengan suara keras, menodong Si Tukang Utang dengan golok dan pistol mainan. Kalau Si Tukang Utang tidak ada di kamar, bagaimana mungkin kami bisa melakukan itu seperti rencana biasanya.

“Gue udah berdoa, tenang aja Ben, pasti lancar kok.”, dengan peracaya diri Doni selalu mengatakan dia sudah berdoa dan kami akan aman.

“Lo doa apa sih?”

“Ya biar gue selamat Ben, bisa pulang ketemu anak istri, kenapa emang?”

“Lo gak berdoa biar kita selamat?”

“Hmmmm ya kan gue udah berdoa Ben, apa bedanya?”

Idiot juga si Doni ini, apa susahnya berdoa biar pekerjaan malam ini lancar dan kami selamat. Tapi untuk apa juga aku mempertanyakan hal itu, takut? Tentu saja tidak. Entahlah mengapa aku bertanya seperti itu kepada Doni.

Setelah berpikir, akhirnya aku memberanikan diri untuk turun ke kamar yang terang itu. Desainnya minimalis, dengan warna kamar putih dan abu-abu muda. Enak juga tinggal di rumah ini pikirku. Doni langsung mengikuti untuk turun. Kami melihat sekeliling kamar untuk beberapa menit. Lalu membuka pintu kamar mandi di dalam kamar tidur, ternyata kosong tidak ada siapapun.

Aku dan Doni turun ke lantai pertama untuk melihat keadaan, lampunya juga masih menyala tapi tidak ada tanda-tanda siapapun. Kami membuka satu-persatu ruangan rumah itu tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda kehidupan. Doni membuka sedikit tirai ruang tamu. Melalui jendela ruang tamu, pos satpam di halaman depan dapat langsung terlihat. Doni melihat satpam masih tetap terjaga. Sialan, kalau begitu ini belum waktunya pikirku, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 3 malam.

“Doni, pssst, ayo kita pulang saja.” Doni langsung berjalan menghamipirku.

“Gimana nih, percuma kita hari ini, padahal Bos butuh hari ini kan? Lapor apa kita?”

“Lapor aja nggak ada orang kalau terlalu lama kita yang bahaya.” Doni mengangguk setuju, karena tidak bisa lewat pintu depan, kami harus kembali menaiki atap untuk keluar dari rumah laknat ini. Kami dengan bergegas kembali ke lantai dua masuk ke kamar Si Tukang Utang untuk menaiki atap melalui langit-langit kamar dan pulang.

Setelah sampai atap rumah, kami melihat sekeliling keadaan aman. Kami pun menuruni rumah dan melewati rute yang sama sesuai denah yang diberikan Bos. Akhirnya kami turun dengan selamat, satpam rumah pun tidak melihat kami.

Doni tersenyum, dia seperti bahagia karena doanya dikabulkan. Tanpa pikir panjang, Kami berlari kecil menuju motor kami yang diparkir agak jauh dari rumah laknat itu. Sesampainya di tempat parker, Doni langsung menaiki motor untuk menyetir dan aku menduduki jok belakang. Terlihat beberapa orang yang duduk-duduk di pos siskamling daerah perumahan tersebut. Mungkin pada saat kami datang, mereka sedang ronda berkeliling.

“Don, ayo cepat gas langsung.”

“Siap Ben. Tuhan, lancarkanlah perjalananku”. Setelah berdoa, Doni dengan segera menarik gas dan kami motor kami mulai berjalan perlahan.

“MALING!”

Kami menoleh kebelakang,

“Maling Motor!” seseorang yang terdengar dari pos siskamling tadi berteriak. Tak lama, orang-orang yang duduk di pos siskamling tadi langsung keluar melihat aku dan Doni.

“Sialan, Don ayo jalan.” Rakyat-rakyat pos siskamling yang tidak tahu apa-apa itu langsung lari mengejar kami berbondong-bondong. Tak tanggung-tanggung, mereka membawa golok, bongkahan kayu, bahkan tongkat pramuka anaknya. Teriakan tersebut, membangungkan satpam-satpam yang berjaga di rumah-rumah komplek ini. Doni kaget, bingung dan belum menarik gas motornya. Aku berpikir bagaimana pun caranya kami harus cepat.

Tiba-tiba, agak jauh di depan kami, para satpam sudah berkumpul untuk mencegah kami. Sepertinya mereka mendengar teriakan maling tadi. Doni belum juga jalan, tapi rakyat-rakyat pos siskamling itu semakin mendekat. Aku menyuruh Doni untuk melaju dengan kencang jangan berhenti, apapun yang terjadi jangan berhenti. Doni langsung menarik kencang gasnya, tiba-tiba aku tersentak, lalu, aku terjatuh.

Sialan, Doni menarik gasnya terlalu kencang, tentu saja siapapun yang dibonceng akan terjatuh. Tolol Doni pikirku. Doni tidak terjatuh. Doni tetap berada di atas motornya. Doni menoleh kebelakang, melihatku terjatuh kesakitan.

“Don! Tunggu bentar gue naik lagi.”

Suara derap langkah rakyat-rakyat pos siskamling semakin mendekat, teriakan maling semakin kencang, ditambah dengan umpatan-umpatan khas yang keluar dari mulut mereka. Suara-suara tersebut semakin kencang. Tanpa pikir panjang, Doni langsung menarik gas motornya, kencang laju motornya, meliuk-liuk menghindari para satpam yang di depannya. Juara trek-trekan kampung itu terlalu lihai untuk dihentikan.

Sementara aku, terjatuh tak berdaya menunggu rakyat-rakyat pos siskamling ini memukuli diriku. Aku langsung memikirkan judul berita koran lokal keesokan harinya “maling dipukuli masa” , “Begal motor dihakimi” , “Warga dengan sigap menghentikan pencurian motor” semua judul yang mungkin muncul terpikir olehku.

Tak lama kemudian tongkat pramuka memukul kepalaku. Selanjutnya, rakyat-rakyat pos siskamling itu memukuli ku tanpa ampun dan jangan lupa, umpatan-umpatan juga keluar dari mulut mereka.

Aku hanya berkata dengan lemas. “Don, doa lo bikin sial.”***

Baca Juga: [CERPEN] Salam untuk Orang Mati

Fachry Hasani Habib Photo Writer Fachry Hasani Habib

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya