[CERPEN] Menyambung Potongan Waktu (Bagian 1)

Karena kata-kata bisa diulang, sedangkan waktu?

Setelah menguap berulang kali hingga membuat matanya yang sayu terkatup-katup seperti kembang sepatu layu, Asti tercenung di depan lemari. Di bawah lemarinya terdapat tumpukan map laporan bulanan sekolah yang belum selesai ia kerjakan, ada binder yang kertasnya mengusut, dan beberapa buku fiksi yang biasanya cukup mengisi kekosongannya di akhir pekan. Namun, pekan ini kekosongan itu telah terisi dengan sesuatu yang melekat di pikirannya sedari malam.

Hati Asti tiba-tiba memendung saat melihat lipatan kertas berwarna yang diplastik. Kertas itu berisi pesan, lengkap dengan denah lokasi, waktu acara, dan nama si pengantar kertas sekaligus si penyelenggara acara. Asti menemukan catatan kecil di bawah kolom namanya, "Doakan semoga tidak hujan, ya."  

Dengan tubuh sempoyongan Asti beranjak membuka bupet, mengambil semua koleksi foto yang telah lama ia terima dari seseorang, dilihatnya dengan tatapan mengenang satu-persatu. Ia juga memastikan adanya catatan titimangsa di balik kertas foto. Lalu meraih binder dan lem kertas. “Sepertinya aku perlu menulis sesuatu yang berbeda untuk hari ini...” gumamnya.

Asti membuka bindernya, pelan-pelan membuka halaman-perhalaman sehingga tampaklah tulisan-tulisan lama itu; cerita keseharian, kelam, indah, sewaktu masih kuliah, saat menikah, pecahan ingatannya tertata rapi. Akhirnya sampailah pada halaman kosong. Lalu diambilnya satu foto...

***

03:55 WIB

Sebelum memulai tulisan ini, kuawali dengan melihatmu tersenyum dalam sebuah potongan waktu. Tampak kau tengah menepakkan map dokumen ke lenganku, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku terkejut, semringahku setengah-setengah.

Mbak Luluk dan Ibu Rum bungah memandang kita. Pak Saif berdiri di depan pintu kantor, tangannya mengepal menutup mulutnya. Matanya memejam. Kemungkinan di siang bolong itu ia menahan angop (bahasa Indonesia: menguap -red) karena dilanda kantuk, atau jangan-jangan menahan batuk.

Batuk? Tunggu, waktu itu di ruangan hanya ada tiga laki-laki; termasuk kau salah satunya. Pak Saif dan Mas Yusuf tidak sepertimu yang kadangkala terdengar terkakah-kakah padahal sebenarnya kau sedang batuk dikarenakan sehari-harimu mempraktikan kampanye konyol, “Dua bungkus rokok nikmat, empat gelas kopi sempurna." 

Tak jarang murid-murid tertawa saat mendengar suara batukmu, kata mereka suara batukmu lucu. Syahdan, kami para guru menasihati murid-murid agar tidak bersikap demikian. Aku, maksudku; kami iba kepadamu.

Untung saja saat menepak lenganku kau tidak batuk. Kau malah tertawa, ya.

Aku ingat, kau tertawa setelah melontarkan rayuan yang cukup mewarnai kemuraman perasaanku hari itu.

Sampai hari ini aku masih ingat betul...

“Mereka -orang-orang nyinyir dan sombong karena telah memiliki anak- (ini tafsiranku) mengira kita tidak punya anak. Padahal semua murid di sekolah ini adalah penerus generasi kita, calon pemimpin bangsa kita, dan mereka semua anak-anak kita. Ya kan, Bu?”. Barulah kau tersenyum, lalu beranjak sambil menepakkan map dokumen itu ke lenganku.

Maaf, azan subuh. Ibuku sudah bangun. Tulisan ini akan aku lanjutkan lagi nanti.

– Potongan Waktu, Ruangan Guru. 11-Februari-2015

09:10 WIB

Daripada dibikin pusing memikirkan warna dan motif gamis-kardigan-kerudung-sepatu (eh, aku cuma punya dua sepatu) yang akan kupakai nanti malam, lebih baik tulisan ini kulanjutkan saja...

Perhatianku tertuju pada potongan waktu lain; sebuah momen yang tidak mungkin terjadi untuk yang keduakalinya. (Kalimat ini lagi? Ya, aku suka mengulang-ulangnya, karena kata-kata bisa diulang sedangkan waktu? tidak).

Murid-murid tampak sangat ceria, mereka berdesak-desakan; antusias karena ingin berada di barisan depan. Ingin eksis dipotret. Sampai-sampai tubuh kami; Ibu Wakil Kepala Sekolah, tiga guru, dan empat wali murid sangat berdempetan. Sehingga tak sengaja ujung sepatu salah satu murid menginjak kaus kaki beliau.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kulihat raut wajah Ibu Waka –yang sehari-harinya selalu memasang muka galak- sangat syok. Bisa dipastikan, ya. Setelah itu beliau langsung memarahi murid-murid, lalu mereka saling menyalahkan satu sama lain. “Dia Bu, ini lho Bu, bukan aku Bu, dari belakang yang mendorong duluan, Bu."

Kami bertujuh tertawa ngacir menyaksikannya. Setiap kali mengingat lakuan mereka, aku merasa seperti gadis supel yang memiliki banyak kenangan manis. Haa!

Oh iya, pada waktu itu aku kehilangan bros bunga mawar kecil pemberian mantan suamiku. Mungkin terjatuh saat berdesak-desakan dengan murid-murid. Ibu Rum dan Mas Yusuf sempat membantu mencarikannya untukku, tapi sayang bros itu raib bak ditelan tanah perkebunan.

Andai bros itu berupa bibit mungkin saat ini telah tumbuh dan bunga mawarnya bermekaran, semoga saja duri-durinya tak sampai melukai siapapun. Halah, lebay! Haha. Aku merasa sungkan pada Mas Yusuf. Selain itu ia sempat bertanya apakah bros itu harganya mahal atau begitu berarti bagiku. Aku jawab bercanda, “bros itu hanya berpindah tempat, Mas. Lagian bisa dibeli lagi, murah kok."

Tapi ia tetap saja mencarinya, melibatkan murid-murid, mengecek semua berkas foto di kamera milik sekolah yang ia pegang. Sayang seribu sayang, mungkin bros itu sedari dulu memang telah kecewa sebagaimana sikap pemberinya kepadaku? Ah, cukup.

Sewaktu kami; beberapa murid, Ibu Rum, dan Mas Yusuf, mencari keberadaan bros itu aku berharap kau juga membantu. Tetapi kulihat kau bersama Mbak Lufita tengah menemani murid-murid belajar, fokus pada edukasi menanam tumbuhan.

Kau sempat penasaran dengan apa yang kami lakukan, berhubung Mbak Lufita menyergahmu supaya tetap memerhatikan murid-murid akhirnya kau mengabaikan kami. Kau tidak tahu, sebenarnya wanita di dekatmu itu menatapku sinis, jenak. Tak lama kemudian datang Pak Saif menegurmu supaya tidak merokok. Sebagaimana pada potongan waktu ini, saat kami berpose, berdesak-desakan di depan Mas Yusuf. Kau berdiri menyandarkan tubuhmu pada pagar tanaman, kau berada di belakang kami bersama Pak Kepsek dan tanganmu masih tak bisa lepas dari rokok.

Aku ingat, sebelum pulang dari wisata perkebunan terjadi percakapan kecil antara Pak Kepsek dengan Pak Saif, cukup membuat kami semua terhibur. 

“Kalau bukan karena cinta orangtua mereka mungkin kita tidak punya tempat tinggal, saat sakit kita tak bisa mengkonsumsi obat, bahkan bisa jadi saat kita makan tidak ada sayur-mayurnya. Saya ingin menjadi orangtua seperti mereka," ucap Pak Kepsek, pandangannya memutar 180 derajat.

"Tentu, Pak. Maka benarlah narasi monolog salah satu iklan di televisi," sahut Mas Saif.

"Memangnya ada? Narasi iklan yang benar-benar jujur, tidak dilebih-lebihkan, Pak? Apalagi iklan yang berhubungan dengan ini."

"Kalau dicocokkan dengan penuturan sampean tadi ada, satu iklan."

"Wah, iklan apa itu, Pak Saif? Gimana bunyi narasinya? Saya tidak tahu. Karena saya lebih suka menonton acara komedi, balap motogp, adu tinju, dan berita daripada menonton iklan."

Seloroh Pak Kepsek itu sudah membuat kami -yang kebetulan berada di dekatnya- tertawa. Mungkin karena merasa diledek, kemudian Pak Saif mengeluarkan jurusnya.

"Meski tak persis tapi agak-agak mirip, kalau tak salah bunyinya begini, 'Ini Malika, anak kami, mereka kami besarkan sepenuh hati seperti anak sendiri.' Hasilnya anak kami pun tumbuh, besar, dan bergizi lalu kami makan sendiri." 

Sontak kami semua tertawa, Pak Kepsek pun menggeleng-gelengkan kepala dan tak bisa menyembunyikan tawanya. Lalu Pak Saif menoleh ke arah kami, ia mencari dukungan atas justifikasinya mengenai hubungan narasi iklan itu dengan penuturan Pak Kepsek. 

"Loh, kecap kan emang dari tumbuh-tumbuhan to? Betul, kan Pak Ami?".

Kau jawab, "Sak karepmu, Pak." Haha.   

- Potongan Waktu, Wisata Penghijauan. 22-Februari-2015.

**Bersambung ke bagian 2

Baca Juga: [PUISI] Menatap ke Arahmu

fakhru along Photo Writer fakhru along

IDN Times ini media milenial ya? Baik, sebagai generasi milenial saya turut berpartisipasi. Mungkin cukup dengan mendaftar akun, membaca dan membagikan kontennya, dan -kalau tak malas- saya juga akan menulis di sini. Lalu bagaimana dengan kamu?. *Ih, baru nyumbang cuma 1 tulisan aja. SHOMBONK AMAT! *Mandra :"))

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya