[CERPEN] Perempuan yang Tak Lagi Mencintai Kucing

"Man ahabbaka nashohaka" (Seseorang yang mencintaimu akan menasihatimu), Bab 6, kitab Al-Muntakhobat.

 

 

Siapa sangka Ana; perempuan yang pernah hidup seatap rumah dengan kucing kini membenci kucing. Sampai-sampai keluarganya –juga menyukai kucing- pun dibuatnya heran, yang jelas kebencian itu bermula di waktu tengah malam yang pulas. Tiba-tiba tangisan Ana meledak, ia terperanjat dari lelapnya saat menyaksikan sepasang kucing liar sedang kawin di atas selimut tidurnya.

Sontak sejoli kucing liar itu kabur terbirit-birit melewati jendela kamar Ana yang terbuka. Sekejap bapak ana masuk ke kamarnya, pandangannya sempat menangkap setengah tubuh sepasang kekasih tak punya akal itu kesulitan mencengkeram jendela. Kemudian datanglah neneknya, lalu kedua adiknya, dan terakhir ibunya.

“Ada apa, Nduk?” tanya Ibunya.

Ana mendongak. Hanya neneknya yang menyadari katup mata Ana melebam.

“Ada dua kucing Bu, kucing kawin...” jawabnya terisak sembari mendekap tubuh ibunya.

Masyaallah Ana, bapak kira kucing-kucing itu ngeroyok kamu Hahaha...”

“Hust! Bapak iki kok malah ngguyu, sana! sana!” Usir Ibunya.

Bapak Ana beranjak mengajak si kembar; kedua adik Ana kembali ke kamar, dari kedua wajah lugu mereka menampakkan raut pertanyaan. Persis ekspresinya—selaku murid madrasah—saat menyaksikan guru akhlak; pengajar Al-Muntakhobat* menangis di kelas setelah melihat salah satu kawan kelas seusianya; bergandengan tangan memasuki ruang kelas menirukan gaya pemain sinetron di televisi yang selalu tayang selepas isya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa ustazah menangis? Padahal kawan-kawannya ada yang tertawa dan ceria menggemakan ciye-ciye.

Ana masih menangis di pelukan ibunya, ia tak jua memberi penjelasan mengapa menangis sedemikian sengut hanya karena menyaksikan sepasang kucing yang sedang kawin.

“Aku benci kucing Bu, aku benci kucing, aku benci kuc...” ucapannya tertahan, tangisannya kembali terisak.

“Ya, sudah nduk kalau memang kaget, tenangkanlah hatimu.”

Sayangnya air mata putrinya terus meleleh, sesekali pandangan ibu Ana tertuju ke nenek Ana yang kelihatan iba kepada cucunya. Ibu Ana menggeleng samar sembari mengelus pundak Ana, ia menarik satu kesimpulan. Bahwa penyebab Ana menangis karena teringat kepada kucing kesayangannya yang telah mati dua pekan lalu.

Kemudian jemari tangan nenek Ana mengisyaratkan kepada Hamuda, ibu Ana, melepas tubuh putrinya digantikan nenek Ana yang berpindah duduk di sanding cucunya. Ibu Ana meninggalkan mereka berdua.

“Nenek tahu nduk, nenek tahu. Sabarlah, nenek telah mendengar semuanya dari Diana. Setelah mengantarmu pulang ia menghampiri nenek dan menceritakannya, Diana khawatir nduk dengan keadaanmu.” Mata sayu nenek Ana tak tahan melihat katup mata cucunya kian memerah.

“Aku benci kucing Nek, aku benci kucing, aku benci kuc...” ucapan Ana lagi-lagi tertahan, ia terisak mirip suara kucing tersedak.

***

Di kemudian hari bapak-ibu dan nenek ana tak menyangka bahwa Ana menolak tandas permintaan kedua adiknya untuk memelihara kucing lagi. Pagi itu suasana rumahnya recok, rengek kedua adiknya melebur dengan bunyi panggilan masuk ke dua puluh empat kali di telepon pintar miliknya. Ana acuh tak acuh, melengos keluar-masuk kamar sembari beradun memakaikan bros bunga matahari bermuka anak kucing di bagian bawah kerudungnya. Pupil mata Ana melebar melihat jarum jam dinding. Tiba-tiba terdengar uluk salam perempuan dari luar halaman, semuanya menjawab kecuali kedua adik ana. Kerecokan lantas mereda melaun-laun.

“Pokoknya gak boleh ada kucing lagi di rumah ini. Ibu, Bapak, Nenek, ana pamit berangkat ke madrasah.”

Sebelum beranjak ia memerhatikan raut layu Dini-Dina, kedua adiknya. Mereka menyembunyikan tubuhnya di belakang Ibu. Ana merasa iba, namun sesaat membaca salah satu nama panggilan tak terjawab di telepon pintarnya rasa iba itu mengabu menjadi cicik.

Nduk, kenapa kamu tidak menjawab teleponnya? Kalian berdua bertengkar?” Pertanyaan nenek menghentikan kakinya jenak, Ana bergeming. Lalu bergegas keluar rumah.

Di depan halaman rumahnya tampak Diana sedang duduk menunggu di sepeda motornya. Saat menyaksikan Ana keluar ia marah-marah karena teleponnya tak diangkat. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

Ibu Hamuda tak habis pikir ternyata kebencian Ana kian hari makin jadi. Dia mulai gelisah terutama setelah mendengar cerita dari Diana, bahwa putrinya sempat syok di madrasah lantaran kejadian yang hampir sama menimpa putrinya lagi. Ibu Ana menerka-nerka, ia tak bisa mengelak pada dugaannya sendiri. Pasti ada sesuatu hal tak beres yang telah terjadi pada putrinya. Hingga ia mencoba memahami peristiwa itu, meminta Ana supaya menceritakan ulang kejadian itu.

“Waktu itu aku di ruang kantor guru Bu, aku sedang mengetik laporan bulanan. Karena capek, aku berhenti. Pun tidak melamun, aku terhibur menyimak sahutan serempak ”man ahabbaka nashohaka!”* Ibu Suci dan murid-muridnya di ruangan sebelah. Lantas sekonyong-konyong dari arah pintu muncul dua kucing berkejaran melompat ke arahku. Sontak, aku histeris.”

Ibu Hamuda mulai mencari jalan keluar, bertanya ke ibu-ibu tetangga, suaminya, nenek ana, Diana, dan terakhir meski segan ia mencoba menghubungi calon menantunya. Dari sekian saran yang diterima ia sepakat akan memeriksakan putrinya ke seorang dokter, Pes-si-ki-ya-ter, begitulah sebutan yang ia dengar dari mulut-mulut perot yang kesulitan mengucapkannya. Hanya mulut Diana dan calon menantunya yang terdengar lancar mengucapkannya.          

“Ana waras nduk, ia cuma tidak menyukai kepada kucing lagi. Mengapa harus dibawa ke dokter jiwa?” tanya nenek Ana.

“Ibuk, tak semua orang yang berkonsultasi ke dokter jiwa itu gila. Justru dokter itu paham apa yang diderita Ana. Hal ini merupakan sebagian dari ikhtiar Buk supaya Ana sembuh dan Dini-Dina segera berhenti merengek minta kucing,” jawab Ibu Hamuda.

“Ada baiknya ajaklah juga calon menantumu menemani kalian. Saya khawatir  hal ini belum tentu si upik si buyungnya,” ujar nenek Ana.

Diana mengejap kejut ke arah nenek Ana, berada di antara keduanya ia tak tahu harus menyahut apa. Di dalam benaknya, ia menyetujui saran nenek ana. Sayangnya Ibu Hamuda menolak saran itu. Diana berusaha menutupi kelinglungannya, ia baru saja mengantongi alamat si psikiater yang telah didapatkannya setelah berulang-ulang membalas pesan di telepon pintarnya.

***

Ibu Hamuda menceritakan ulang semua kejadian yang dialami oleh putrinya secara bertahap. Mereka bertiga duduk bersebelahan, sedangkan si psikiater berada di depannya dengan jarak dua meter ditengahi meja kerjanya. Pandangan mata si psikiater merata ke arah mereka bertiga. Kali awal kata ‘kucing’ diucapkan oleh Ibu Hamuda, si psikiater menangkap bahasa tubuh yang berbeda dari ketiganya.

Mata Ana mengarah ke lisan Ibunya. Ia merasa bersalah, kenapa hanya karena dirinya yang tak lagi menyukai kucing orang-orang kesayangannya sampai melakukan hal sejauh ini?. Remang-remang di benaknya jernih, sahutan “Man ahabbaka nashohaka!” Ibu Suci dan murid-muridnya mengalun di telinganya lagi.

Lamunan Ana seketika buyar, ia terkejut manakala si psikiater memperkenalkan dirinya, “Nama saya Dokter Kuncoro, tetapi orang-orang sering memanggil saya Mas Kuco. Alasannya biar ada panggilan akrab gitu, dan saya teman Mas Kuca.” Deg, dada Ana seperti tertohok. Pandangannya memusat ke psikiater; teman dari seseorang yang sangat dikenalinya.

“Apakah Mbak Ana mengidap doraphobia?” tanya si psikiater.

Ana bergeming ingatannya memutar, sosok lelaki yang bernama Kuca itu muncul di kepalanya. Ibu Hamuda dan Diana memerhatikan raut wajahnya. Lantas si psikiater memicingkan lengan bajunya, jenak. Tampaklah bulu lebat di pergelangan tangannya, arkian ditutupnya kembali.

“O, ternyata tidak. Mbak Ana tidak fobia ke bulu atau rambut,” gurau si psikiater.

Hanya Ana yang tidak tertawa setelah menyaksikan hal itu. Ketika si psikiater mengambil gawai untuk menunjukkan foto kucing. Tiba-tiba saja Ana terisak, ia teringat ucapannya sendiri. 

“Mas Kuca, oleh bapakku, kamu dijuluki Abu Hurairah karena sudi merawat, menampung kucing-kucing liar di rumah yang kamu sediakan khusus untuk mereka. Tapi aku tidak sepakat dengan bapakku, karena kamu masih rakus memakan uang pemberian dari orang-orang pemerhati kucing, padahal itu milik mereka.”

Ana tak sanggup membendung air matanya. Ia ingat sebelum dua kucing mengejutkan tidurnya, Ana ditemani Diana pergi hendak menemui lelaki yang sangat dikenalinya di acara perhelatan kerabat. Naasnya lelaki itu tak tahu diri, durjana, terkutuk, di hadapan orang banyak memeluk mesra seorang wanita selain dirinya. Seketika itu Ana beringsut, dadanya terasa pecah.

Menyaksikan Ana menangis dengan mata yang mulai melebam, Ibu Hamuda dan Diana bingung bukan kepalang. Mas Kuco; si psikiater pun mengurungkan lakuannya.

Ana terisak tak henti-henti berujar,

“Aku benci kucing Bu, aku benci kucing, aku benci Kuc... .”***

 

 

fakhru along Photo Writer fakhru along

IDN Times ini media milenial ya? Baik, sebagai generasi milenial saya turut berpartisipasi. Mungkin cukup dengan mendaftar akun, membaca dan membagikan kontennya, dan -kalau tak malas- saya juga akan menulis di sini. Lalu bagaimana dengan kamu?. *Ih, baru nyumbang cuma 1 tulisan aja. SHOMBONK AMAT! *Mandra :"))

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya