[CERPEN] Bapakku Manusia Kayu

Aku tetap bapakmu...

Serbuk-serbuk dari kayu yang tengah dihaluskan dengan mesin ampelas oleh Dullah itu mengudara, menyeruak menelusup masuk ke lubang hidungnya, seketika membuatnya bersin entah berapa kali, sejurus dengan itu umpatan-umpatan keluar dari mulutnya.


 


 

Langsung kurampas saja mesin ampelas dari tangannya ketika dia khusyuk mengomel karena tak bisa berhenti bersin.


 


 

"Tidak usah membantu Bapak jika tidak ikhlas!" Sergahku, saat merampas mesin ampelas itu dari tangannya.


 


 

Anak itu tidak lagi memiliki rasa hormat kepadaku, Ayahnya. Semenjak kejadian dua puluh tahun yang lalu. Saat aku mengalami kecelakaan kereta api yang berujung diamputasinya kaki kananku. Saat itu aku tidak lagi bisa bekerja di tempat lamaku, jelas saja, profesi lamaku adalah buruh angkut, yang tidak mungkin bisa kulakukan dengan satu kaki.


 


 

Aku tak pernah diterima saat melamar pekerjaan. Tentu, saat masih sehat saja mencari pekerjaan sesulit mencari jarum dalam jerami, apalagi saat ini, saat tubuhku tak lagi selengkap dulu.


 


 

Akhirnya, aku membuka bisnis mebel. Sebab ayahku adalah seorang tukang kayu, sedikit banyak aku jadi mengetahui perihal pertukangan kayu. Awalnya berjalan lancar, tetapi akhir-akhir ini tersendat. Sebab, dewasa ini jarang sekali yang membutuhkan tenaga tukang kayu. Rumah-rumah telah berbahan semen, besi-besi telah menggantikan fungsi kayu sebagai kosen jendela.


 


 

Usahaku, beringsut menuju bangkrut. Saat itu Dullah baru akan masuk sekolah menengah atas. Aku benar-benar tidak bisa membiayainya. Dengan menahan malu aku menyarankan agar Dullah tidak usah lanjut SMA. Semenjak saat itu Dullah berubah sikap padaku.


 


 

Anak laki-laki kebanggaanku, yang paling tampan dibanding anak laki-laki lain di kampung kami, yang setiap kali aku menerima gaji pasti akan kusisihkan untuk membelikannya mainan baru. Anak tampan yang manis, dia tidak senakal anak laki-laki lainnya. Dia tak pernah jauh dari lingkaran kakiku setiap kali kuajak keluar.


 


 

**


 


 

"Tidak ikhlas? Apakah aku pernah bilang bahwa aku tak ikhlas?" Ia mengernyit, menatapku dengan tatapan tak sopan untuk seorang anak pada ayahnya.


 


 

"Kamu memang tidak mengatakan langsung, tetapi raut wajah dan bahasa tubuhmu itu tidak bisa membohongiku," aku terpancing bersungut-sungut.


 


 

"Haaalaaah...," gerutunya seraya bangkit dari duduk lalu beranjak meninggalkanku. "Sudah dibantu, masih tidak terima." Lanjutnya lagi ketika langkahnya tepat disampingku, tidak segan-segan untuk memperdengarkan itu padaku.


 

Setelah mendengar itu, seketika aku menahan bajunya pada dibagian lengan.


 

"Coba ulangi omonganmu?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks


 


 

"Bapak itu, sudah dibantu tapi masih saja tidak terima." Ia menggertak, lalu menepis tanganku dari lengannya.


 

Plaakk!!!


 


 

Sedetik kemudian tanganku yang sedari tadi telah mengepal itu mendarat ke pipinya dengan keras hingga dia tersungkur di lantai. Aku melihat bercak darah akibat pinggir bibirnya sedikit koyak.


 


 

"Dullah!!!" Teriak Marlena, istriku, dari dalam rumah. Ia berlari pontang-panting menuju Dullah, sementara Dullah perlahan bangkit dan mencoba membalasku. Namun Lena berteriak sejadi-jadinya hingga beberapa tetangga berlarian menuju ke rumah kami.


 


 

"Kenapa? Kau mau membalas ku?" Sergahku. Sebagian orang telah menahanku dan sebagian lainnya menahan Dullah. Sementara Lena masih menangis histeris.


 


 

"Pukul saja aku, Dullah! Tidak usah khawatir durhaka, tak usah anggap aku Bapakmu lagi. Mulai sekarang kau bukan lagi anakku," aku terus menimpalinya.


 


 

Beberapa orang mengingatkan aku untuk sabar, untuk beristighfar, tetapi tak ada yang kuindahkan. Aku tetap bersungut-sungut, ingin mengucapkan apa yang selama ini tertahan.


 


 

"Kau juga telah lama membenciku kan, Dullah? Semenjak aku tak lagi bisa menafkahi keluarga. Kau anggap kehadiranku sebagai parasit. Jika kau ingin aku cepat mati, maka sekarang waktunya, Dullah! Aku ingin mati ditangan anak laki-laki yang dulunya paling ku banggakan..." Aku berhenti pada kalimat itu, mataku tiba-tiba saja mengembun. Sial! Mengapa aku harus menangisi bedebah itu.


 


 

"Aku bukan Bapak yang baik untukmu. Aku hanya memberimu mainan saat kau kecil. Aku tak mampu membiayai sekolahmu, kau harus menanggung beban yang sebenarnya merupakan tanggungjawab seorang ayah. Kau tidak lagi memperlakukan aku layaknya Bapakmu, semenjak sebelah kakiku buntung dan seluruh biaya keluarga tertumpu padamu sebagai anak tertua. Kau boleh menganggap ku beban. Tetapi ketahuilah Dullah, aku tidak pernah meminta ditakdirkan seperti ini." Aku membiarkan air mata beruraian di pipi, sungguh aku tak pernah merasa sesakit ini, bahkan ini jauh lebih sakit dari sambaran kereta api dua puluh tahun yang lalu.


 

**


 


 

Di tengah serbuk kayu yang beredar di sekitarku malam ini
Bersama dingin dan remang cahaya lampu minyak
Aku meringkuk sendiri
Memeluk erat sendu-sendu yang mengeras

 

Dunia telah lama mengeras untukku
Serupa kayu yang menemani hari-hari kelabu
Juga kaki kayu yang kugunakan menapaki pilu
Parahnya, kurasa kini hatiku pun mengeras serupa kayu

 

Tetapi tidak untukmu, Putraku
Kau berhasil leburkan sisi kerasku
Menelisik lebih jauh tentang hati yang kurasa telah mengayu
Kau berhasil meleburkannya bersama tumpahan air mata di wajahku yang kuyu

 

Aku tetap menjadi ayahmu
meski aku mengaku tak lagi mampu
Kau tetap menjadi putraku
meski dirimu tak lagi mau


 

Baca Juga: [CERPEN] Tolong, Izinkan Aku Terbang

Fatimah Ridwan Photo Verified Writer Fatimah Ridwan

75% Introvert

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya