[CERPEN-AN] Mading

Kamu ribuan kali lebih baik dari mereka

Jadi, di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan mading sekolah sambil mendengarkan lagu Sea of Love versi Emily West lewat earphone yang hanya bunyi sebelah. Memikirkan empat belas juta enam ratus lima kemungkinan yang akan terjadi jika aku melakukan hal yang benar. Paling tidak sekali dalam hidupku.

Maksudku aku pernah melakukan hal benar dalam hidupku. Seperti masuk ke SMK Negeri paling muda yang ada di kota ini dan baru meluluskan satu angkatan saja. Yang mana itu adalah sesuatu yang baik untuk diriku. Sangat baik malah. Dan saking baiknya, aku melupakan tujuan awal aku masuk ke sekolah ini—menjadi murid yang tak kasat mata agar tidak terlibat lagi dalam segala bentuk drama yang unfaedah dan buang-buang waktu. Tapi ya, aku lupa dengan semua itu dan berakhir menjadi seperti ini. Si pembuat segala jenis drama unfaedah yang terjadi selama hampir dua tahun aku belajar di sini.

Aku benci harus mengatakan ini, tapi, guru BK yang secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya padaku bilang kalau dia tidak sudi membuang waktunya hanya untuk mengurusi murid pansos sepertiku adalah penyebab utama kenapa aku menjadi begini. Kau tahu, mempertanyakan hal-hal sensitif seperti, “Apa yang terjadi padaku?” atau, “Apa yang sudah aku lakukan hingga guru BK baru yang tidak kompeten di bidang itu sampai bilang seperti itu? Dan kenapa bisa-bisanya aku membanggakan itu?”

Dan ya, dari pertanyaan itu, muncul banyak sekali jawaban, penyangkalan, dan pembenaran yang muncul di dalam kepalaku. Dari banyaknya hal yang muncul di kepalaku, ada tiga yang aku renungkan lebih dari apa pun.

Pertama, keluargaku yang super berantakan dan dipenuhi dengan kebencian yang ternyata hal itu sudah diturunkan oleh leluhur kami sejak lama sekali.

Kedua, masa SD dan SMP-ku yang menyakitkan, penuh kebencian, dan sempat membuatku kehilangan arah. Yang aku yakini sebagai penyebab utama kenapa aku menjadi seperti ini. Kau tahu, berengsek dan tidak punya belas kasihan.

Ketiga, sebenarnya aku masih tidak yakin apakah hal ini layak untuk aku renungkan atau tidak, tapi—

“Vivian Pangestu.”

Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Di sana, tepat di sampingku, si anak Akomodasi Perhotelan kebanggaan bersama milik sekolah sedang tersenyum dan melambaikan tangan kanannya padaku. Selain karena dia terlalu menyatu dengan prinsip yang dianut oleh seorang hotelier yang baik, tangan kirinya tengah sibuk memegangi setumpuk kertas.

“Jebediah si anak emas kebanggaan bersama milik sekolah,” balasku dengan nada ramah yang dibuat-buat.

“Masih terdengar seperti slogan stasiun televisi swasta.”

“Ngomong-ngomong, sudah berapa banyak guru yang memujimu sebelum menjadikanmu sebagai bahan perbandingan untuk murid-murid lain yang biasa-biasa saja, pemalas, dan cenderung bodoh hari ini?”

“Kau kejam sekali, Viv. Dan namaku Andre,” katanya sambil tertawa pelan. Dia menunjukkan jari telunjuknya padaku. “Biasanya kau tidak membalas sapaanku saat benda itu terpasang di telingamu.”

“Benda itu hanya bunyi sebelah,” kataku sambil mencopot earphone yang terpasang di telingaku dalam sekali hentakan. Membuat suara Kacey Musgraves yang sedang menyanyikan lagu Slow Burn hilang dalam sekejap mata. Kemudian aku menuding setumpuk kertas yang ada di tangan kirinya dengan daguku. “Apa itu daftar murid yang belum bayar SPP dan akan dipermalukan untuk seminggu ke depan?”

Dia mengangkat tumpukan kertas itu. “Ini adalah karya seni dari anak-anak lintas jurusan yang akan menghiasi mading untuk satu minggu ke depan.”

“Kita berdua tahu kalau itu hanyalah salinan dari apa pun itu yang mereka temukan di internet yang kemudian membubuhkan nama, kelas, serta asal jurusan mereka. Kau paham betul apa yang sedang aku bicarakan, Jebediah,” cibirku.

Jebediah tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di sana, di hadapanku, menatapku dan memasang senyum ramah yang selalu diajarkan oleh guru-guru di sini. Seolah-olah dia tidak memiliki beban yang seharusnya dipikul di bahunya. Itu sangat aneh mengingat semua orang yang ada dan pernah hidup di planet ini memikul banyak sekali beban hidup di bahunya.

“Kau tahu,”—aku mengeluarkan double tape dan gunting dari saku chef jacket-ku—“Lupakan saja. Ayo kita tempelkan benda itu di sana.”

“Apa aku boleh menanyakan sesuatu padamu selama kita bekerja?” tanya Jebediah.

“Jika kau bersedia berhenti memanggilku dengan nama depanku yang aku dapatkan karena ibuku terobsesi film Pretty Woman, aku akan menjawabnya dengan senang hati,” jawabku dengan nada mengancam.

Jebediah menganggukkan kepalanya terlalu keras. Aku tidak akan bilang seperti itu jika rambut pendeknya yang disisir ke kanan dan memakai terlalu banyak pomade menjadi sedikit berantakan.

“Kenapa mulutmu pedas sekali?” kata Jebediah saat aku sedang menempelkan puisi si Hannah Baker versi Netflix yang datang dari kelas X Administrasi Perkantoran 2.

“Semua yang keluar dari mulutku adalah kebenaran dan tidak ada seorang pun yang mampu menerima kebenaran dengan lapang dada. Termasuk mereka yang menganut paham kebenaran-itu-di-atas-segalanya-sekali-pun-menyakitkan. Yang mana sebenarnya semua itu hanyalah omong kosong,” kataku dalam satu tarikan napas.

Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mungkin setuju dengan jawabanku. Mungkin juga menganggapku sebagai maniak yang harus segera diamankan oleh pihak berwajib sebelum membuat kerusuhan yang jauh lebih besar. Siapa yang tahu.

“Aku setuju dengan itu,” katanya, terdengar tidak yakin. Dia memberikan kertas berisi karikatur BLACKPINK yang memakai seragam praktek jurusan Pemasaran yang warnanya menyakitkan mata dan sedang memegangi balon alfabet padaku. “Aku rubah saja pertanyaannya.”

“Apa itu?”

Jebediah menatapku sedetik lebih lama sebelum kembali melakukan... apa pun itu yang sedang dia lakukan dengan paku stereofoam. “Kenapa kau memberikan julukan pada semua orang?”

Aku tahu betul jawaban dari pertanyaannya. Tapi, tetap saja aku peras otakku untuk mencari informasi tambahan agar dia bersedia melakukan apa yang aku minta.

“Karena aku payah dalam mengingat nama seseorang dan semua orang menyebalkan,” jelasku, terdengar tidak begitu yakin.

“Kau tahu kalau yang kau lakukan itu tidak baik kan, Viv? Kenapa kau masih melakukannya?”

Aku menelan gumpalan besar yang ada di tenggorokanku.

“Maksudku, aku tahu kau ini menyebalkan, sangat barbar untuk seorang cewek, dan sepertinya kau sangat menyukai tatapan penuh kebencian yang dilontarkan oleh teman-teman yang mendapatkan label khusus darimu. Tapi,” Jebediah menggaruk keningnya terlebih dahulu sebelum tertawa kikuk. “Entah kenapa aku merasa kalau kau... membencinya.”

Baiklah. Sekarang aku tidak bisa untuk tidak mengerutkan keningku.

“Hanya perasaanku saja atau kau direkrut oleh guru BK baru yang tidak kompeten itu agar mau membantu aku yang nyaman berada di jalan setan untuk kembali ke jalan yang benar?” desakku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Lebih tepatnya aku yang merekrut diriku sendiri untuk memberantas para perundung dari sekolah kita.”

“Jadi, menurutmu aku ini seorang perundung?” kataku tanpa berpikir panjang.

“Aku rasa begitu,” bisiknya kemudian mengedikkan bahunya. “Maksudku, kau memberikan julukan hampir ke semua orang yang kau kenal—“

“—Penjilat, tukang pansos, dan punya wajah yang menyebalkan,” potongku, sekali pun aku tahu kalau memotong kalimat seseorang itu dosa besar untuk murid yang belajar di sekolah Bisnis-Pariwisata.

Jebediah menghembuskan napasnya dengan dramatis. “Dan mereka yang mendapatkan julukan darimu rata-rata merasa tidak senang dan sakit hati,” katanya. “Jadi, aku rasa kau seorang perundung.”

Aku menempelkan lembar terakhir ke papan tulis dengan keras. Cukup untuk membuat anak kelas XII Perhotelan yang sedang melakukan tes senam menghakimiku lewat tatapan tajam yang mereka lontarkan padaku.

“Dasar penguntit,” desisku dengan sengit.

“Ini sekolah yang kecil, Viv.”

Dia benar juga. Anak emas sialan itu selalu benar!

Setelah melalui delapan detik yang sarat akan ketegangan dalam keheningan, aku mencoba mengira-ngira alasan kenapa Jebediah bertingkah layaknya pahlawan kesiangan. Namun, mengingat dia juga mengamini soal guru BK baru yang tidak kompeten, aku pun mengerti kenapa dia termotivasi untuk menciptakan perdamaian di sekolah ini tanpa pamrih sedikit pun.

“Jadi, Jebediah—“

“—Andre.”

Aku memutar mataku. “Bukankah menurutmu hal ini biasa terjadi di masa sekolah yang sifatnya sementara? Kau tahu, ada yang tertawa dan ada yang menertawakan.”

“Aku rasa kau tahu betul kalau hal itu tidak akan pernah bisa membenarkan apa yang sudah dan sedang kau lakukan saat ini, Viv,” balasnya dengan sopan.

“Aku ganti saja pertanyaannya. Apa yang akan kau lakukan untuk memberantas perundung sepertiku dari sekolah ini?”

“Aku akan membuat dirimu meminta maaf pada mereka yang sudah kau beri label dengan julukan-julukan aneh dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah itu, aku akan memintamu untuk belajar menghapal nama asli mereka,” jawabnya sambil memainkan kancing rompi pelayannya dengan riang.

Lagi-lagi aku memutar mataku. Yang benar saja, batinku.

“Dan—oh! Sebelum aku melupakannya,” dia mengeluarkan sesuatu dari saku rompi pelayannya dan memberikannya padaku. “Aku berjanji padamu kalau yang akan kau lakukan ini adalah satu dari empat belas juta enam ratus lima kemungkinan yang terjadi saat kau melakukan hal yang benar dalam hidupmu.”

Aku masih menatap jurnal dengan sampul motif nanas yang menghilang dari tas gendongku secara misterius empat hari yang lalu. Sialan.

“Vivian, aku bersumpah padamu kalau aku membuka jurnal yang aku temukan di depan gerbang sekolah hanya untuk mencari nama pemiliknya,” katanya dengan tegas. “Tapi yang kau tulis di dalam sana membuatku ketagihan dan tidak bisa berhenti membacanya.”

Aku memindahkan beban tubuhku dari kaki kanan ke kaki kiriku. “Ada garis tipis di antara ketagihan dan kepo akan rahasia seseorang, Jebediah.”

“Vivian!” Jebediah meletakan tangan kanannya di bahuku. “Yang kau lakukan itu tidak akan pernah bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi. Yang ada, kau tidak ada bedanya dengan mereka.”

Demi celana dalam Neptunus, siapa yang menaruh bawang di sini?

“Aku benar-benar menyesal dengan semua hal buruk yang pernah terjadi padamu, Viv,” bisiknya. “Aku yakin—sangat yakin malah—kalau di balik mulut pedas dan kelakuan barbarmu, kau ini orang baik. Dan yang paling penting, kau ribuan kali lebih baik dari mereka yang sudah menyakitimu.”

“Yakin tidak mau memakainya sebagai senjata utama untuk membalas semua perbuatan burukku padamu?” kataku dengan suara bergetar.

Dia berpose seperti Iron Man yang baru saja menyelamatkan kota dengan menghancurkan hampir separuh kota untuk ke sekian kalinya sebelum mengangguk lagi.

“Kenapa?” protesku.

“Percayalah, Viv, saat ini aku sangat ingin mengatakan sesuatu yang mampu membuatmu terkesan, tapi, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” katanya sambil tertawa frustasi.

Sedetik kemudian, aku mendapati diriku tertawa bersamanya diikuti oleh air mata yang mengalir dari sudut mataku. Bukan. Bukan karena aku terharu karena kebaikan Jebediah. Apalagi karena ada seseorang yang benar-benar menaruh bawang di sekitar sini. Lebih ke... karena dia selalu memandang segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda. Selalu. Dan yang paling penting, dia tidak menghakimi masa lalu seseorang. Masa laluku yang menyedihkan dan masih membuat dadaku sesak bukan main setiap kali mengingatnya, untuk lebih tepatnya. Tidak heran dia selalu muncul di dalam kepalaku saat aku merenungkan sesuatu.

“Kita akan memulainya kapan pun kau siap,” kata Jebedia—maksudku Andre, saat aku sendiri berusaha sekuat tenaga menahan dorongan untuk berteriak dan menangis sejadi-jadinya.

Jadi, ya. Tarik napas. Tenang. Tidak ada lagi yang perlu aku takutkan.

Aku rasa aku bisa melakukannya.

***

Kuningan, 18 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Satu Hari yang Akan Selalu Kuingat

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya