[CERPEN] Koridor

Itu hanya rasa penasaranmu

Semua orang yang berada di ruangan ini begitu larut dalam kegembiraan. Aku juga mencoba melarutkan diriku sendiri dalam kegembiraan ini dengan harapan aku bisa melupakan apa pun itu yang sedang memenuhi kepalaku saat ini. Hanya saja, sebanyak dan sekeras apa pun aku mencoba untuk berbaur dan menyatu dengan mereka—termasuk sepupu dan kerabat yang tidak pernah aku ketahui dan temui sebelumnya—rasanya semakin mustahil untuk aku bisa bergabung dengan mereka.

 Aku hanya... aku hanya ingin merasakan hal lain. Selain perasaan tidak menyenangkan di dalam perut dan dadaku yang sudah menyiksaku selama seminggu belakangan ini, tentu saja. Perasaan yang... di beberapa kesempatan membuatku merasa tidak bisa bernapas dengan baik karena mencekik leherku. Paling tidak begitu yang aku rasakan saat itu. Saat Adam—

“Adam!” kataku dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Demi janggut Odin, kenapa dia di sini? Kenapa dia tidak menyalami tamu undangan yang aku jamin tidak pernah dia temui sebelumnya? Bahkan mengenalinya saja tidak. Kenapa jalang dada kempes itu membiarkannya meninggalkan pelaminan? Kenapa tidak seorang pun panik karena mempelai prianya sedang berbicara pada adik mempelai wanitanya di koridor hotel yang sepi seperti sekarang ini? Kenapa dia terlihat sangat panas dalam setelan jas hitamnya? Dan kenapa dia menatapku seperti itu? Seperti dia ingin memberitahuku soal cabe yang tertinggal di gigiku padahal aku tidak membuka mulutku sama sekali!

“Febrian,” sahutnya. “Aku senang kau tidak menyentuh wine dan sampanye.”

Aku langsung membuang cairan ungu pekat yang ada di dalam gelas yang aku sembunyikan di belakang punggungku ke dalam pot berisi pohon palem. “Aku juga senang karena aku tidak menyentuh mereka.”

“Ya,” kata Adam, di mana senyumnya perlahan memudar dan tangan kanannya—mungkin juga tangan kirinya—yang terangkat untuk melakukan sesuatu. Oh, tidak. Dia baru saja menurunkan kembali tangannya dan menghempaskannya dengan kekecawaan yang terasa begitu kental di sini. “Aku hanya ingin tahu kalau kau baik-baik saja.”

Aku menepuk bahunya menggunakan gelas kosong yang sedari tadi aku pegang dengan main-main. Membuat cairan pekat yang tertinggal di dalam gelas menciprat ke segala arah. Tapi anehnya, cairan itu tidak menciprat ke arahku dan ke arahnya. “Aku masih hidup, Adam. Jadi, aku rasa aku lebih dari baik-baik saja. Yey.”

Hening.

Sebenarnya tidak benar-benar hening. Aku masih bisa mendengar seseorang sedang menyanyikan lagu sejuta umat, A Thousand Years, dan ratusan orang yang berbicara di waktu yang bersamaan. Meski pun tidak begitu jelas karena ruangan yang mereka sewa itu berada di sisi lain hotel ini, aku masih bisa mendengarnya. Oh! Aku juga bisa mendengar hembusan napasnya yang terasa begitu berat. Atau sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai marmer dengan cepat karena gelisah. Aku rasa itu karena dia masih belum bisa terima dengan berapa banyak uang yang harus dia keluarkan untuk menyewa hampir setengah dari jumlah kamar hotel yang ada di sini. Aku rasa begitu.

“Feb—“

“—Adam.”

Sekarang aku tidak bisa untuk tidak tertawa seperti kuda. Maksudku, aku tahu ini pasti akan terjadi. Tapi aku tidak menyangka kalau adegan ini akan terjadi di koridor hotel yang panjang, disangga oleh tiang-tiang besar dan tinggi, dihiasi pohon palem dan mural di langit-langitnya, dan diterangi dengan cahaya temaram saat langit malamnya sendiri sedang terang-terangnya oleh ratusan bintang dan bulan purnama. Ugh, menjijikan.

“Kau duluan,” kataku.

“Aku akan selalu mencintaimu,” bisiknya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku tahu itu. Aku selalu tahu kalau dia akan mengatakan itu. Bahkan aku sendiri sudah mempersiapkan apa yang harus aku lakukan saat dia akan mengatakan itu sejak tahu kalau orang asing yang menemaniku... bersenang-senang di hari ulang tahunku yang ke-20 adalah orang yang sama yang akan menikahi kakak perempuanku.

Tapi, tetap saja. Sesuatu di dalam sana yang sangat kompetitif dan tidak tahu malu itu tidak tahan untuk membalasnya. Aku juga akan selalu mencintaimu.

“Jangan bilang kau terobsesi dengan gagasan jatuh cinta pada orang yang tidak pernah kau duga sebelumnya di tempat dan situasi yang juga tidak pernah kau duga,” bisikku.

“Febrian, aku serius.”

“Kalau begitu, aku akan selalu memberitahumu kalau itu hanya rasa penasaranmu,” kataku. “Rasanya sangat mustahil bagi dua orang yang baru bertemu dan langsung bersenang-senang saat itu juga bisa langsung jatuh cinta. Maksudku, itu adalah hal yang lumrah terjadi saat dua orang menyedihkan seperti kau dan aku bertemu. Mereka bersenang-senang. Seperti yang kau dan aku lakukan.”

“Sepertinya kau tidak tahu apa itu jatuh cinta pada pandangan pertama,” gumamnya.

“Itu hanya rasa penasaranmu yang terlalu berlebihan padaku karena aku adalah orang pertama yang memberitahumu bagaimana tampil fashionable di Instagram-mu tanpa harus membuatmu menjadi sobat miskin,” debatku dengan sengit.

“Kau juga orang pertama yang memberitahuku bagaimana caranya makan sepuasnya tanpa harus membayar tagihan,” tambahnya. Dia menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telingaku. “Aku rasa aku akan mengalami kejang-kejang setiap kali selesai makan di restoran mahal.”

Kemudian aku dan dia tertawa pelan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku dan dia tertawakan. Tapi, aku cukup yakin kalau aku dan dia sedang menertawakan betapa konyol dan menjijikannya cerita roman-picisan yang menjadikan aku dan dia sebagai tokoh utamanya. Mungkin aku harus menyimpan gagasan itu tetap berada di dalam kepalaku.

“Baiklah,” kataku, pada akhirnya. “Yang satu ini benar-benar mengganggu pikiranku. Bagaimana bisa kau lolos dari tamu yang mengantre untuk menyalamimu?”

“Well,” dia tertawa pelan, “itu rahasia.”

“Mungkin kau harus segera kembali ke sana,” komentarku.

Adam hanya mengedikkan bahunya. “Kau ikut?”

Aku lebih memilih untuk menggelengkan kepalaku. Aku membiarkan jari-jari tanganku menyentuh lengannya yang tertutup oleh jas dengan lembut, menatap langsung ke matanya yang cokelat untuk terakhir kalinya, dan tersenyum.

Baca Juga: [Cerpen] Si Anak Toilet

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya