[CERPEN] Lihat Sisi Baiknya

#ANGPOIN Selalu ada sisi baik di setiap kejadian

Langit-langitnya lebih kotor dari yang aku ingat. Sebenarnya, ini jauh lebih kotor dari hari pertama aku bertemu dengannya. Baiklah. Mengamatinya. Murni karena aku tidak bisa tidur di tempat publik seperti ini. Maksudku, bagaimana bisa dua puluh tiga orang—tanpa aku di dalamnya—dengan sejarah kelam mereka mampu tidur dengan nyenyaknya di ruangan yang luasnya bahkan tidak sedikit lebih luas dari kamar tidurku? Itu pun hanya beralaskan tikar tipis yang sering dibawa oleh nenekku saat kami pergi berpiknik dan benar-benar berdesakan.

Aku benci harus mengatakan ini, tapi, ruangan ini tidak ada bedanya dengan kaleng sarden yang sudah dibuka, tapi tidak jadi dipanaskan karena satu dan dua hal. Itu bukan bagian terburuknya, ngomong-ngomong. Bagian terburuknya adalah aku merasa seperti satu dari lima ekor ikan sarden tanpa kepala, kaya akan bumbu, dan bisa langsung dimakan tanpa harus dipanaskan terlebih dahulu di setiap kalengnya.

Membicarakan ikan sarden membuatku teringat pada apa yang sudah aku lakukan beberapa waktu belakangan ini. Itu... aku tidak tahu pasti berapa lama durasinya, tapi, terbilang cukup singkat untuk melakukan olah TKP di tempat biasa aku membuang tubuh yang sudah tidak bernyawa dan tanpa kepala.

Jangan lupakan bagian puluhan wartawan yang membuat agenda penting yang satu ini menjadi lebih meriah. Dalam konteks yang tidak menyenangkan, tentu saja. Aku tidak akan menganggapnya tidak menyenangkan jika mereka bisa mengajukan pertanyaan padaku secara tertib dan tidak menyakitiku dengan mikrofon, jepretan kamera yang nyaris membutakan mataku, dan kamera lainnya yang menempel terlalu ketat di wajah dan tubuhku. Juga wajah dan tubuh empat orang polisi yang baru dilantik beberapa bulan yang lalu dan ditugaskan untuk mengawalku dari TKP menuju mobil. Tahanan.

Aku rasa mereka tidak akan se-barbar itu jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kau tahu, mayat tanpa kepala dan sedang dalam proses pembusukan dengan bantuan hewan paling aku benci, cacing dan belatung. Atau, paling tidak, tulang belulang dan semacamnya. Yang mana sudah terlebih dahulu diamankan oleh polisi dan beberapa orang yang memakai sarung tangan karet, masker yang bisa kau dapatkan secara gratis di apotek seluruh Indonesia tapi malah diperjual-belikan, dan rompi dengan tulisan “Tim Forensik” segede-gede gaban di bagian belakangnya.

Aku jadi teringat bagaimana wajah orang-orang itu berubah menjadi pucat pasi saat tahu kalau tempat biasa aku membuang mereka adalah sebuah rawa yang ditempati oleh keluarga buaya. Aku cukup yakin kalau keluarga tersebut hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anaknya yang sangat banyak dan sedang beranjak dewasa. Keluarga mandiri. Tinggal terpisah dari kerabat mereka. Aku suka mereka. Karena itulah aku memberi makan mereka secara sukarela.

Sayangnya, keluarga buaya itu harus pindah ke tempat penangkaran hewan liar selama beberapa saat. Atau paling tidak sampai mereka menemukan semua yang sedang mereka cari untuk meyakinkan hakim kalau aku layak mendapat hukuman mati. Dan, kabar terakhir yang aku dengar adalah keluarga buaya favoritku tidak akan pernah kembali ke rumah mereka. Katanya demi menjaga keselamatan penduduk sekitar—yang mana penduduk sekitar yang mereka maksud itu tinggal sekitar empat kilometer jauhnya dari rawa itu. Itu artinya, mereka lebih dari aman. Sebenarnya.

Juga saat mereka menemukan kulkas—paling tidak begitu mereka menyebut benda putih, besar, dan hampir serupa dengan freezer es krim—tempat aku menyimpan beberapa paket yang harusnya segera aku kirim ke konsumen.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku rasa itu semua tidak akan terjadi jika aku bisa sedikit lebih profesional. Tapi, drama keluarga yang tidak ada habisnya itu membuatku terpaksa mengakhirinya dengan caraku sendiri. Apalagi kalau bukan menghabisi si ayah yang nymphomaniac dan suka main tangan. Kemudian membawa buktinya ke kantor polisi terdekat tanpa membersihkan darah yang hampir memenuhi seluruh tubuhku—benar-benar bodoh dan gegabah. Atau orang-orang lebih suka menyebutnya dengan “Anak Penggal Kepala Ayah Kandungnya Sendiri”.

Tapi, hei! Lihat sisi baiknya! Aku membuat pendapatan kota ini menjadi lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya. Kau tahu, orang-orang dari luar kota berbondong-bondong datang ke sini hanya untuk melihat TKP-nya secara langsung. Yap. Rumahku, rawa, dan markas rahasiaku yang jaraknya sangat berjauhan satu sama lain. Jangan lupakan tempat wisata yang instagramable yang banyaknya bukan main. Yang mana akan membuat mereka harus tinggal lebih lama lagi hanya untuk menghamburkan uang mereka ke dalam kas pendapatan kota demi hal tidak berguna seperti itu.

Di sisi lain, aku dan keluargaku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh bintang-bintang Hollywood saat hidup mereka yang harusnya tetap menjadi hidup mereka tiba-tiba saja menjadi milik semua orang. Kau tahu, kejaran wartawan yang haus akan informasi, pembenci yang siap mencabik wajahku dengan jari-jari mereka yang gemuk dan kotor,  dan bla... bla... bla...

Sebenarnya, keluargaku tidak akan mengalami hal itu jika salah satu dari mereka tidak muncul di banyak sekali acara televisi hanya untuk menangis sambil sesekali menjelaskan bagaimana caraku menjalani hidup setiap harinya. Tapi, ya, sepertinya mereka tidak mau lagi menggunakan uang yang ada di dalam rekeningku lagi untuk waktu yang lumayan lama. Paling tidak sampai uang yang mereka dapatkan dari menjadi “bintang tamu” habis dan tidak tersisa.

Dan, yang paling membuatku sangat bahagia adalah bukuku laku keras di pasaran. Bahkan penerbit yang membantuku menerbitkan buku ini kewalahan dalam memenuhi permintaan konsumen. Hampir sama seperti buku Gurita Cikeas atau apa pun itu judul buku yang isinya tidak lebih dari kumpulan konspirasi murahan dengan embel-embel politik. Tapi, ribuan kali jauh lebih baik dari itu. Benar-benar jauh lebih baik dari yang aku perkirakan.

Aku benci harus mengatakan ini, tapi, drama Vicky Prasetyo dan keluarganya pun tidak ada apa-apanya dengan drama buatanku yang satu ini.***

 

Baca Juga: [PUISI] Tak Ada yang Seperti Hati

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya