[CERPEN] Setelah Ayah Pergi

Seperti...aku menjadi orang lain. Bahkan pada diriku sendiri

Kupikir setelah ayah pergi dari hidupku untuk selama-lamanya, hidupku akan berubah menjadi jauh lebih baik atau semacamnya. Ternyata aku salah.

Harus aku akui, tidak mudah untuk kembali menjalani hidup setelah kejadian itu. Kau tahu, berada di samping ayah selama tiga jam berturut-turut, memegangi tangan kanannya yang sedingin es sedikit terlalu erat, dan melihatnya kesulitan bernapas sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Rasanya seperti... entahlah. Seperti... aku menjadi orang lain. Bahkan pada diriku sendiri. Dan bagian terburuknya adalah aku tidak bisa menjadi diriku yang sebelumnya. Padahal lima minggu sudah berlalu.

Mungkin, jika aku tidak terlalu keras pada diriku sendiri, aku tidak akan dihantui oleh perasaan bersalah yang teramat sangat. Jika saja aku menuruti keinginan ayah untuk mengusap lengannya agar ayah bisa tidur dan tidak sendirian di kamar, penyesalan ini tidak akan mengendap di ulu hatiku. Jika saja... jika saja aku meminta maaf langsung padanya atas semua perlakuan burukku di saat-saat terakhirnya.

Hal yang sama juga terjadi pada kakak perempuanku, Sarah. Jalang dada kempes itu merasa jauh lebih kehilangan daripada aku. Aku rasa itu wajar karena dia berhenti menganggap ayah ada setelah melihat langsung bagaimana ayah mencekik ibu karena—kau tahu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jadi, saat ayah pergi untuk selama-lamanya saat dia pergi mengajar agar bisa membantu biaya pengobatan ayah, dia histeris. Sebenarnya dia histeris selama seminggu. Menangis, berteriak, semuanya. Dia baru berhenti menangis saat satu dari banyaknya pamanku memberinya obat batuk.

Bukan berarti dia sama berhasilnya dengan ibu dan adik laki-lakiku, Irham, dalam melalui masa berduka. Ada waktu dimana aku memergokinya sedang bergelung di lantai kamar ayahku yang nyaris kosong. Atau menangis sesenggukan tanpa mengenal situasi dan kondisi. Atau berdebat hebat dengan ibuku karena sudah membuang tempat tidur, empat bantal, dua bantal guling, dan membagikan seluruh pakaian ayah tanpa alasan yang jelas.

Mungkin semua itu tidak akan terjadi.

Maksudku, aku tahu kalau ayah itu bukanlah orang baik. Ayah menjadikan setiap bualan yang keluar dari mulutnya sebagai realitanya. Juga ringan tangan. Jadi, tidak heran jika ibuku langsung mendaftar di aplikasi kencan berbasis syariah sekali pun aku masih tidak mengerti maksud dan tujuan si pembuat aplikasi tersebut. Jangan lupakan sikap kasar dan keras kepalanya. Benar-benar parah. Tapi... ya. Dia ayahku.

Terlalu melelahkan bagiku untuk terus berpura-pura semuanya baik-baik saja saat semuanya tidak baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa berhenti. Mencoba untuk berhenti saja tidak terlintas dalam kepalaku.***

Baca Juga: [CERPEN] Bagian Terakhir

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya