[CERPEN] Sofa Setengah Lingkaran

Aku tidak harus lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja

Aku ingat itu menyakitkan. Mengetahui barang incaranmu di sebuah toko sudah terjual dan pegawai toko yang kelewat ramah menawarkan barang serupa tapi tidak dengan harganya. Jadi, ya, saat Sarah—kakak perempuanku—histeris karena lemari kabinet yang sangat dia inginkan untuk mengisi rumah barunya sudah terjual dan kebetulan perusahaan yang memproduksi itu mengalami kebangkrutan, aku memutuskan untuk pergi. Murni karena ingin memberi Sarah ruang untuk melampiaskan kekesalannya pada dua pegawai toko.

Tadinya aku akan terus berjalan melewati lorong bantal dan boneka kemudian berbelok ke kiri di mana pintu keluar berada. Tapi... entahlah. Mataku menangkap sesuatu yang menarik perhatianku. Terlalu menarik perhatianku sampai-sampai aku melewatkan pintu keluarnya dan terus berjalan ke arah benda itu.

Sebenarnya da banyak sofa dengan berbagai macam warna, bahan, ukuran, dan bentuk yang tersusun rapi di sebelah sini. Tapi aku tidak begitu memerhatikannya. Perhatianku hanya tertuju pada sofa kulit berbentuk setengah lingkaran. Dan aku sangat penasaran apa yang membuat mereka menaruh sofa secantik dan seunik itu di bagian paling ujung dan tidak terjamah oleh tangan-tangan kotor.

“Bagus bukan?” kata seseorang dari arah belakang.

Aku mengamini perkataannya dengan menyusuri permukaan ssofa yang licin dan dingin dengan tanganku. “Ya. Berapa harganya?”

“Mungkin jutaan.”

“Kau bekerja di sini,” kataku dengan masa bodoh. “Harusnya kau tahu harganya.”

“Aku tidak bekerja di sini.”

Sialan.

Aku berbalik dan mendapati seorang pria setengah dewasa sedang tersenyum. Mungkin akan terlihat jauh lebih muda jika dia bercukur dan merapikan rambut ikal yang nyaris menutupi matanya.

Pria itu berjalan melewatiku dan duduk di bagian ujung sofa. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan melipat kakinya. Membuat kaos kaki hitam panjang motif kentang goreng yang dipakainya terekspos.

“Kau akan membelinya?”

“Tidak,” kataku sambil melemparkan tas gendong tuaku ke atas sofa. Tidak karena aku tidak mungkin memakai uang tabunganku untuk membeli benda yang tidak benar-benar aku butuhkan. Juga tidak ada lagi ruang di kamarku untuk menampung sofa paling keren yang pernah aku lihat selama dua puluh tahun aku hidup di dunia ini.

“Istriku akan membelinya,” ujarnya saat aku duduk di ujung sofa yang satunya. “Tadinya.”

“Kemudian istrimu melihat tirai lucu di sebelah sana”—aku menuding setumpuk kain yang menjuntai di sisi lain ruangan ini—“dan memutuskan untuk membeli meja makan dengan dua belas kursi.”

“Bukan.”

“Oh.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Dia pergi,” katanya dengan frustrasi. “Dia meninggalkanku untuk selama-lamanya karena kebiasaan buruknya. Kau tahu, menyeberang jalan sembarangan sambil bermain ponsel.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Aku hanya... aku tidak tahu apa yang aku rasakan sejak tahu kalau istriku menjadi korban tabrak lari. Di sisi lain, aku merasa lega. Mungkin karena kita tidak harus berpura-pura semuanya baik-baik saja saat semuanya tidak baik-baik saja dan semacamnya.”

Aku memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Mendengarkan ceritanya saja sudah cukup membuatku frustrasi. Jadi, sudah pasti dia akan merasakan kesal luar biasa saat orang asing—tidak lain dan tidak bukan adalah aku—yang baru saja dia temui di toko perabotan rumah tangga memberikan petuah yang sepenuhnya omong kosong belaka.

“Aku menyatakan perasaan yang sudah aku pendam dua tahun lamanya pada guru Bahasa Inggris di sekolahku dulu karena aku lelah menyangkal dan membohongi diriku terus-terusan. Seminggu kemudian dia menikah,” kataku tanpa pikir panjang.

“Oh ya?” ucapnya dengan bingung.

“Maksudku, aku tahu orang itu menyebalkan. Dia punya cara berjalan yang aneh dan dia terlalu sering menjilati bibirnya karena dia menganut paham lipbalm-menghancurkan-harga-diri-pria-sejati. Tapi aku menyukainya. Tidak peduli sekeras apa aku mencoba untuk membenci dan membuatnya membenciku, aku masih menyukainya.”

Dia tersenyum lalu memainkan kancing rompinya.

“Dua tahun aku bergumul dengan diriku sendiri gara-gara orang sialan itu,” gerutuku. “Sekalinya aku mengakui itu, semuanya menjadi kacau.”

“Apa itu membuatmu membencinya?”

“Tidak sama sekali! Bahkan jantungku masih berdegup kencang sekali setiap kali ada orang yang menyebut namanya dengan jelas padahal namanya itu sangat pasaran,” cerocosku.

Dia mengusapkan telapak tangannya berulang kali dan mengangguk, mencoba untuk menjaga apa yang sedang dia sembunyikan di balik matanya tetap berada di tempat persembunyiannya.

Sementara dia menahan air matanya untuk tidak keluar dan menggenang di pelupuk matanya, aku merasakan lega yang luar biasa. Rasanya seperti beban yang aku pikul untuk waktu yang lama akhirnya terangkat juga. Seperti menghirup udara segar untuk pertama kalinya setelah berjam-jam berada di bus dengan seribu macam aroma di dalamya.

“Mencintai seseorang adalah bentuk lain dari aksi menyakiti diri sendiri. Bagaimana menurutmu?”

“Ya. Dan belum banyak yang menyadari itu,” gumamnya. “Namaku Budi, ngomong-ngomong.”

“Febrian,” balasku dengan cepat. “Dan perempuan yang sedang dan akan terus berteriak di bagian lemari adalah Sarah, kakak perempuan.”***

Baca Juga: [CERPEN] Basa-basi Paling Basi

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya