[CERPEN] Wajah Transparan

Mereka berkumpul di dalam sana

Langitnya lebih biru dari yang aku ingat. Mungkin juga lebih gelap. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, gumpalan awan di atas sana mulai menipis dan menyebar seiring bertiupnya angin yang cukup kencang hari ini. Dan, cahaya mataharinya nyaris membutakan mataku. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku. sekarang semuanya benar-benar gelap.

Aku tidak melihat apapun selain banyaknya semburat warna yang mulai memenuhi pandanganku. Warna-warna yang sering sekali membuatku pusing. Ketika aku berpikir aku baru saja melihat warna ungu, dengan cepat semua yang aku lihat berubah menjadi merah kehijau-hijauan. Tidak, sekarang mereka berubah lagi menjadi biru dan merah muda. Tidak cukup sampai di situ, kadang-kadang mereka mulai bersatu dan bergerak membuat sebuah bentuk abstrak yang membingungkan.

Sekarang aku bisa melihat wajah seseorang. Wajahnya sangat transparan. Aku nyaris tidak bisa melihat wajah itu. Aku tidak tahu siapa dia. Namanya atau kapan dan di mana aku bertemu dengan orang itu. Tapi, aku yakin sekali aku pernah melihatnya di suatu tempat.

Apa mungkin aku melihatnya di televisi? Tidak. Itu tidak mungkin. Sudah hampir delapan bulan yang lalu sejak terakhir kalinya aku menonton televisi. Itu pun hanya layar kosong.

Wajah itu tersenyum padaku sekarang. Bahkan ketika otakku tidak memerintahkan wajah itu untuk tersenyum padaku. Aku menggelengkan kepalaku dan merasakan bibirku membentuk sebuah senyum mencemooh. Aku pasti sudah gila, batinku.

Kau tidak gila, bisiknya dengan takjub.

Aku terperanjat dan nyaris saja berteriak. Apa... apa wajah itu baru saja berbicara padaku?

Wajah itu tersenyum padaku sekarang. Ya, sayangku,aku baru saja berbicara padamu.

Baiklah. Ini waktunya bagiku untuk membuka mataku dan melupakan apa yang aku lihat dan dengar barusan. Tunggu. Kenapa aku tidak bisa membuka mataku? Kenapa seluruh tubuhku terasa mati rasa.

Kau tidak akan pernah bisa melakukan itu, sayangku, kata wajah itu dengan ramah.

Meskipun aku nyaris tidak bisa melihat wajahnya, aku tahu kalau sepasang matanya menatap tajam ke arahku. Kenapa tidak?

Aku merasakan bagaimana aku mengedikkan bahuku dengan enteng. Apapun yang sudah kau lupakan, sayangku, mereka tidak benar-benar kau lupakan. Sekarang aku merasakan tangan kiriku baru saja membelai pipiku. Mereka berkumpul di dalam sana, bisiknya saat aku merasakan tangan kananku menekan dadaku dengan keras. Menanamkan sesuatu yang tidak pernah kau duga sebelumnya dan sekarang ini, mereka tumbuh dengan suburnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa membuka mataku! Kenapa tubuhku bergerak tanpa aku perintahkan! Aku hanya memejamkan mataku, bukan tidur. Tidak mungkin jika aku sedang mengalami ketindihan!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kau yakin tidak ingin mengingat kembali apa yang sudah kau lupakan?

Aku merasakan air mataku keluar dari sudut mataku dan mengalir menuruni pipiku. Apa ini? Kenapa aku menangis? Harusnya aku berteriak dan meminta seseorang untuk membangunkanku!

Jangan paksa aku untuk membantumu, sayangku, desaknya.

Aku tidak tahu apa yang wajah itu bicarakan. Aku hanya ingin terbangun dari mimpi gila ini. Aku tidak bisa bernapas. Rasanya seperti sesuatu menutupi dan menekan wajahku dengan keras. Siapa saja, tolong!

Kau yang memaksa, sayangku.

Wajah itu menghilang dari pandanganku sesaat sebelum aku merasa seperti terjatuh. Tanganku mencoba meraih apapun yang bisa aku pegang. Hanya ada kekosongan dan rasa hampa yang menyesakkan dadaku. Aku berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutku hanyalah erangan lemah yang tidak berguna. Detak jantungku semakin menggila. Rasanya seperti seseorang melempariku dengan batu besar tepat di dadaku setiap detiknya. Sedetik kemudian, semuanya kembali menjadi gelap.

Aku membuka mataku. Aku melihat dua orang pria dewasa dalam balutan seragam polisi sedang duduk di hadapanku. Yang duduk di sebelah kiri terlihat kesal dan sudah kehilangan kesabaran mereka sejak berjam-jam yang lalu. Sementara yang satunya seperti ingin menampar wajahku dan membenturkannya ke permukaan meja besi ini. Terlihat sangat jelas dari caranya memegang gelas kertas berisi kopi yang nyaris kosong.

“Tidurmu lelap sekali,” kata polisi itu sambil meremas gelas kertasnya.

“Sudah ingat apa yang ingin kau katakan pada kami?” gertak polisi satunya dengan tidak sabar.

Aku tidak perlu repot-repot mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan ini. Aku juga tidak menghiraukan rasa sakit yang menggigit di kedua pergelangan tanganku akibat borgol. Atau darah yang mulai mengering dan terasa lengket di beberapa bagian tubuhku. Terutama kedua telapak tanganku.

Aku memperbaiki posisi dudukku, membuat kedua polisi itu menatap tajam ke arahku. Sekilas, aku melihat kepala yang berlumuran darah dan terbungkus dalam kantong plastik. Di sebelahnya, aku melihat sebuah pisau daging milikku. Ya. Itu adalah kepala milik wajah transparan itu. Si ayah. Lebih tepatnya adalah Ayah yang suka sekali main tangan dan mencekik Ibuku sampai mati pagi ini.

Ah, aku ingat sekarang. Aku menatap kedua polisi itu secara bergantian. “Itu bukan kepala pertama yang aku penggal,” kataku sembari tersenyum.

Baca Juga: [CERPEN] Ikan Cupang

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya