[CERPEN] Waktunya Pulang

Aku menunggu waktu yang tepat untuk memberitahunya

Itu akhir yang sempurna. Kisah cinta yang suram. Impian dalam genggamanku. Tragedi yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Lalu aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengannya. Lagi.

Untuk beberapa saat, aku menoleh ke belakang. Memastikan kalau dia menepati janjinya. Dan ya, dia menepati janjinya. Aku tidak melihatnya di mana-mana. Tapi aku melihatnya. Orang yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang dari semestinya hanya dengan melihatnya. Atau mendengar suaranya. Dan dia masih terlihat sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Memakai kemeja batik hitam lengan pendek dan tersenyum pada setiap orang yang berpapasan dengannya.

Awalnya terasa menyenangkan bisa melihat wajahnya lagi setelah tiga tahun tidak bertemu. Tapi perasaan itu tidak bertahan lama. Mungkin karena aku teringat pada hal-hal buruk yang sudah aku lakukan padanya di masa lalu. Mungkin juga karena cincin emas yang melingkar di jari manisnya.

Aku menunggu waktu yang tepat untuk menghampirinya dan mengatakan semuanya. Tapi aku tidak pernah menemukan waktu yang tepat karena, entah bagaimana caranya, tiba-tiba mataku bertemu pandang dengan matanya.

Rasanya seperti seseorang baru saja menambah beban baru di atas tumpukan beban di dalam dadaku. Lebih dari cukup untuk membuatku kesulitan untuk bernapas padahal udara hari ini sedang bagus-bagusnya. Tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Kemudian semua beban di dadaku terangkat saat dia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.

“Hai,” sapanya dengan ramah.

“Hai.”

“Jadi, apa yang membuatmu datang kemari? Kau butuh cap dan tanda tangan kepala sekolah yang baru di fotokopi ijazahmu atau—“

“—Bicara denganmu,” kataku menyela.

Aku tahu dia tidak ingin bicara denganku. Terlihat jelas di wajahnya yang menegang dan aksi mundur-satu-langkah-ke-belakang yang baru saja dia lakukan.

“Tidak lama kok,” tambahku dengan cepat.

Untuk sepersekian detik, aku sadar kalau dia akan menolaknya. Dengan halus, tentu saja. Mengingat dia juga pernah menyakitiku dengan caranya sendiri. Membuatku mengungkapkan perasaanku padanya via whatsapp dan menikah dengan orang lain seminggu setelahnya. Tapi—

“Ya, tentu.” Dia menoleh ke arah tembok pembatas setinggi lutut orang dewasa. “Kau mau duduk atau... berdiri di sini? Di depan pintu perpustakaan?”

“Di sini saja,” kataku dengan suara tercekat.

“Oke.”

Akan terasa jauh lebih mudah jika aku tidak menatap matanya. Jadi, aku menunduk. Menatap noda cokelat yang tidak pernah aku sadari sebelumnya di ujung sepatuku.

“Ak—aku minta maaf.” Dengan susah payah aku menelan gumpalan besar di tenggorokanku. “Kau tahu, untuk semua hal yang sudah aku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf.”

“Oke.”

“Aku sadar kalau yang aku lakukan untuk menarik perhatianmu sangat tidak keren,” kataku setengah berbisik. “Justru itu membuat tahun pertamamu bekerja di sini menjadi sangat menyebalkan dan membuatmu kesal.”

“Aku—“

“—Tidak baik-baik saja,” potongku. Kemudian aku menatap matanya. “Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Aku membuat reputasimu buruk di mata teman-temanku—bahkan guru-guru—karena aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi itu. Kau tahu. Perasaanku. Padamu.”

Dia menganggukkan kepalanya pelan. “Aku tahu.”

“Tapi ya, sampai sekarang pun aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi perasaanku padamu,” kataku sambil mengedikkan bahu.

“Kau akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku di luaran sana,” gumamnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku merasakan air mataku jatuh dan membasahi pipiku saat aku tertawa. Yang dikatakannya tidak akan terdengar sangat lucu jika aku benar-benar punya waktu yang banyak untuk menemukan orang itu di luaran sana.

“Diana!”

Aku berbalik ke arah suara itu berasal. Di sana, di bawah pohon cemara yang tumbuh di tengah-tengah halaman depan sekolah, aku melihat pria itu mengetuk jam tangannya dengan cepat.

“Sialan,” desisku.

“Apa?”

“Ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu tapi waktuku tinggal sedikit,” kataku dengan panik. “Tapi Bayu, kau adalah pustakawan paling keren dan paling menyebalkan yang pernah aku temui selama dua belas tahun aku menuntut ilmu di sekolah yang berbeda.”

Rona merah muncul di pipinya. Sedetik kemudian, aku melihatnya tersenyum malu-malu dan tertawa pelan.

“Dan kau adalah satu-satunya murid paling brutal dan menjengkelkan yang pernah aku temui,” balasnya.

“Tapi kau baru tiga tahun jadi pustakawan di sekolah,” protesku.

“Diana!”

Aku memejamkan mataku. Pria itu sudah menepati janjinya. Tapi sikap disiplinnya benar-benar membuatku jengkel.

“Satu menit lagi! Kumohon!”

“Kau bicara pada siapa?”

Aku mengerjapkan mataku yang basah dengan cepat. “Tidak ada. Hei, terima kasih sudah mau bertemu dan berbicara lagi denganku.”

Dia mengedikkan bahunya dengan enteng. “Tentu saja.”

Sementara suara langkah kaki milik pria itu semakin mendekat, aku menahan keinginanku yang teramat sangat untuk memeluk dan memberitahu Bayu kalau ini adalah terakhir kalinya dia bertemu dan berbincang denganku. Tapi aku tidak bisa karena aku sudah menyetujui apa yang harus aku lakukan agar aku bisa menemui orang-orang yang sangat berarti bagiku untuk terakhir kalinya sebelum aku benar-benar pergi dari sini. Tidak memberitahu mereka mengenai apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku.

Tangan dingin itu menyentuh bahuku. Pria itu menganggukkan kepalanya pelan saat aku menoleh ke arahnya. Itu artinya sudah waktunya aku pulang. Bukan ke rumah. Tapi ke tempat di mana jiwa-jiwa yang tersesat sepertiku akhirnya bisa beristirahat dengan tenang.

“Aku pulang, ya,” kataku sambil memukul lengan Bayu pelan.

“Hati-hati.”

Hari sudah sore ketika akhirnya aku dan pria itu pergi dari sana. Aku menautkan lenganku ke lengan pria itu sepanjang perjalanan. Lalu aku memandangi sosok yang tidak asing bagiku tergeletak di atas aspal. Tenggelam dalam genangan darahnya sendiri.

“Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau sudah berpamitan pada orang yang tepat,” katanya mencoba menenangkanku.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menoleh ke belakang. Melihat lagi ke arah di mana tubuhku terkulai lemas dan tidak bergerak sama sekali beberapa meter dari mobil yang sudah menabrakku dengan keras.

Tarik napas. Tenang.

Aku sudah bertemu dan meminta maaf padanya. Dan berpamitan pada ibu dan adik laki-lakiku dengan layak. Jadi, pria itu benar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.***

Baca Juga: [CERPEN] Bagian Terakhir

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya