[CERPEN] Yang Telah Dilaluinya

Bagaimana bisa dia melalui semua ini tanpa mengeluh? 

Harus aku akui, langit-langitnya sangat kotor dan kusam. Juga dindingnya yang lembap dan berjamur di beberapa bagian. Bahkan aku bisa melihat ramat laba-laba yang melambai dengan lembut dan berirama dari sudut mataku. 

Lalu, suara kecil dari dalam kepalaku kembali menegur. Apa ini yang dia lakukan di setiap malamnya?

Aku memiringkan tubuhku ke kiri, mencoba mencari posisi tidur terbaik dan di saat yang hampir bersamaan, aku bisa mencium aroma tubuh ayahku dengan sangat jelas. Cukup untuk membuat tenggorokanku tercekat dan kesulitan untuk bernapas. 

Dalam cahaya temaram, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana posisi bantal, sprei, dan selimut masih sama seperti pertama kali... kau tahu. Maksudku, setelah menemukan ayahku meninggal di kamarnya, ibuku yang panik langsung berlari ke rumah kakekku yang berada tidak jauh dari rumahku untuk meminta bantuan.

Dan ya, ibuku, kedua abangku, dan aku terpaksa meninggalkan kesibukan masing-masing untuk mengurus pemakaman ayahku. Jadi, tidak ada waktu untuk membereskan tempat tidurnya. 

Ayahku. Orang yang sama yang sudah melakukan kekerasan fisik pada ibuku dan menjadikan bualan sebagai realitanya untuk waktu yang sangat lama. Juga orang yang sama yang sudah aku dan kedua abangku abaikan karena satu dan dua hal.

Setiap kali teringat dengan hal itu, sesuatu di dalam diriku merasa marah sekaligus kecewa. Seolah itu saja tidak cukup, perdebatan panjang nan melelahkan itu kembali terjadi. Kau tahu, soal dia yang pantas mendapatkan perlakuan buruk dari anak-anaknya atas apa yang sudah dia perbuat pada ibuku selama dua puluh tahun lebih. Soal dia yang sudah sepatutnya mendapatkan yang lebih buruk dari ini. Soal aku yang seharusnya memaafkan setiap kesalahan yang pernah dilakukannya. Soal kewajibanku untuk menemani dan membahagiakannya di saat-saat terakhir hidupnya. Soal penyesalan dan rasa bersalah yang sekarang ini menggerogoti batinku. Sialnya, aku tidak bisa berhenti menyangkalnya.

Sayup-sayup aku mendengar ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh kerabat serta tetangga di sisi lain rumah ini. Tidak terlalu jelas, tapi aku tahu apa yang sedang mereka lantunkan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kemudian suara itu kembali bertanya. Selama ini ayah bisa mendengar setiap hal yang aku dan abang-abangku bicarakan dan tertawakan?

Rasanya seperti seseorang baru saja menghembuskan asap rokok tepat di depan wajahku.

Bagaimana bisa dia melalui semua ini tanpa mengeluh? 

Aku kembali menengadahkan kepalaku ke atas, menatap kosong ke arah langit-langit. Ayahku mungkin seorang bajingan. Mungkin kesalahannya di masa lalu tidak termaafkan. 

Tapi dia ayahku. Ayahku. Orang yang sama yang bekerja siang dan malam untuk membesarkanku dan membantuku meraih impianku. Orang yang sama yang sama yang membelikan permen kapas karena tidak menangis saat naik bianglala. Orang yang sama yang menampar pipiku dengan keras dan membuatku berjanji untuk tidak pernah mencuri rambutan pak Samad lagi.

Sudah terlambat bagiku untuk meminta maaf padanya. Sekadar mengancingkan kemejanya saja aku sudah tidak bisa.

Oh, Neptunus. Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan sekarang?***

Baca Juga: [CERPEN] Pesan Suara

Febby Arshani Photo Verified Writer Febby Arshani

Akwoakwoakwoak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya