[CERPEN] Maya

Maya, waktu, dan polanya

Aku tinggal di pemukiman pinggiran kota yang sebagian besar tanahnya dimakan ladang padi. Ada sekitar tujuh belas bangunan berpenghuni yang mengisi lajur jalan rumahku. Tak ada satu pun dari mereka yang kukenal dengan baik selain Maya, wanita sebayaku yang tinggal sendiri di seberang jalan.

Tak seperti Maya, aku tinggal berdua dengan istriku. Kami sudah sembilan tahun menikah dan setuju untuk tidak akan punya anak. Kami memutuskan pindah kemari karena udara di pusat kota memperburuk pernapasan kami berdua.

Bersama setumpuk obat, tinggal di sini adalah pilihan terbaik. Kamarku dan kamar istriku terpisah karena katanya tidurku mendengkur. Aku tak membantah dan tak keberatan, karena menurutku tidurnya pun tak pernah keruan.

"Pukul berapa sekarang?" Sebuah suara yang berasal dari istriku memecah keheningan. Aku sedang duduk termangu di dapur, sementara istriku baru keluar dari kamar mandi.

"Sebentar," balasku, lalu berjalan menuju kamarku untuk melihat jam.

Di rumah ini, jam dinding hanya ada satu. Setelah berdebat soal di kamar siapa harus menempatkannya, akhirnya aku mengalah dan menampungnya di kamarku. Tak ada di antara kami berdua yang suka jam dinding karena suara detiknya yang mengganggu. Namun, benda tersebut harus ada di salah satu kamar kami untuk tahu kapan harus meminum obat.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku menyempatkan untuk melempar pandangan ke rumah seberang. Maya sedang membaca buku di beranda, meja bulat di sebelahnya diisi botol minuman tinggi yang sudah setengah kosong. Ia tampak terkekeh sendiri karena buku yang sedang dibacanya. Aku ikut terkekeh, semata karena ia terkekeh.

"Pukul sepuluh," ucapku yang tak lama kemudian diiyakan oleh istriku. Waktunya kami minum obat.

Esok harinya pada jam yang sama, aku meminum obat di kamarku sambil menghadap ke luar jendela. Aku terkejut. Maya sedang melakukan kegiatan yang sama seperti kemarin. Hanya pakaian dan buku bacaannya saja yang berbeda. Kuperhatikan ia sampai selesai. Rupanya botol minumnya adalah pewaktu ketika ia membaca. Tepat setelah air minumnya tandas pada pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, ia masuk ke dalam.

Karena penasaran, aku memperhatikannya keesokan hari dan hari-hari setelahnya. Setelah mencatat kegiatannya setiap hari, aku menyadari kemudian bahwa Maya punya pola waktu yang sama.

Pukul enam pagi merupakan saat ia mematikan lampu terasnya. Jika cuaca sedang panas, jam delapan adalah saat ia menyirami tomat-tomatnya yang merona. Sedangkan bila musim hujan, pukul delapan akan serupa ia mengisi teka-teki silang sambil meminum teh di beranda.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sembilan pagi adalah waktu ketika ia absen dan masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan sesi membacanya. Lalu pukul sembilan tiga puluh hingga satu jam ke depan, ia akan tampak membaca dengan saksama. Dua belas siang akan tercium seperti aroma tumisan yang menyapa lambung. Setelah sempat kutanya, ternyata Maya tidak bisa makan lebih pagi daripada itu, dua belas siang adalah waktu sarapannya.

Pukul tiga sore adalah ketika ia mengangkat pakaian yang ia jemur sekitar pukul sebelas. Saat malam, pukul tujuh adalah saat ia menutup tirai kamarnya. Aku tak akan tidur kecuali pukul sepuluh malam. Beruntung Maya punya pola tidur yang sama, karena lampu kamarnya selalu mati pada menjelang pukul sepuluh.

Karena mulai terbiasa dengan mengamati Maya, aku memutuskan untuk menjadikannya penunjuk waktu. Dengan itu, aku melepaskan dan membuang baterai jam dindingku dengan sengaja.

Seperti kataku, suara detik jam sangat mengganggu, sedangkan memandangi Maya sama sekali tidak. Sejak saat itu, aku sangat menikmati keseharian dengan memandang keluar jendela secara berkala, baik saat istriku bertanya jam maupun saat aku ingin saja.

Suatu pagi aku terbangun saat sinar matahari menabrak kaca jendelaku dengan silau. Dilihat dari cerahnya, sepertinya sekitar pukul delapan. Kubuka tirai jendelaku dengan harapan dapat menemukan Maya sedang menyirami tomatnya.

Ini aneh. Maya tak ada di sana. Lampu terasnya masih menyala. Saat aku hendak bergegas ke rumahnya untuk mencari keberadaan Maya, pintu rumahku terbuka. Tampak istriku baru masuk dari beranda.

"Dari mana?" tanyaku.

Istriku terdiam sebentar, lalu mengedikkan bahu sambil tersenyum. "Dari membeli baterai jam," balasnya.

Baca Juga: [CERPEN] Labirin

Fifi Alfiah Photo Writer Fifi Alfiah

A self-proclaimed living paradox who writes | e-mail: fifiimla@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya