[Cerpen] Melewati Kabut 

Yang penting, Sukra sudah melewati kabut itu

Sukra tidak bergeming. Motor Beat hitam yang ia kendarai melaju kencang di tengah hujan. Persis di pinggir jalan, tertera sebuah papan bertuliskan "Ciloto". Hanya sepelemparan batu lagi, motor ini akan memasuki kawasan Puncak.

Kabut masih belum hilang. Sejak dari Cipanas, kabut itu perlahan menyapa, tetapi masih tipis. Riuh orang yang berbelanja membuyarkan semua itu. Yang Sukra tahu, hanya ada beberapa angkutan desa warna kuning menghalangi jalanan.

Motor Beat hitam Sukra masih melaju. Ciloto terlewati, lalu sampailah ia di perbatasan gapura Bogor-Cianjur. Di sini, kabut menebal. Jarak pandang hanya kisaran satu hingga dua meter. Sukra memelankan laju motor. Jas hujan yang ia kenakan mulai kuyup.

"Bismillah, kabut tebal, semoga tidak apa-apa," ujar Sukra dalam hati.

Sukra sebenarnya sudah tahu betul setiap lekuk jalanan di puncak. Bukan sekali dua kali ia lewat situ. Setiap pulang ke Bandung, jalur ini jadi tempat favoritnya mencuci mata. Namun, jika kabut datang, lain soal. Sukra kerap ciut karena ia tidak tahu apa yang sudah menantinya di balik kabut.

Dengan segala kegamangan, Sukra kembali mempercepat laju motor. Beberapa kelokan ia lewati, sembari menyalakan sen sesekali dan lampu jauh. Semakin atas, kabut semakin tebal. Hingga suatu ketika, tibalah Sukra di sebuah jalur yang kanan kiri tidak ada warung.

Rasa khawatir makin menebal, tetapi Sukra tidak peduli. Hingga akhirnya, akibat jarak pandang yang tipis, motor Beat-nya menghantam lubang besar. Sukra yang panik langsung menekan rem depan kencang-kencang.

Langkah yang salah, karena pada akhirnya Sukra terjatuh. Ban motor selip dan ia tak mampu mengendalikan motornya. Beruntung, Sukra tidak terperosok ke jurang. Motornya terhenti persis di samping separator jalan.

Sukra yang merasakan sakit di paha dan betis kanannya sempat tergeletak di jalan. Namun, tidak lama kemudian, ia langsung bangkit. Kendati tidak ada yang menolong, ditambah rasa sakit yang menjalar, Sukra bisa mendirikan kembali motornya.

Sedikit merintih, Sukra memerhatikan sekeliling. Sadar tidak ada warung, Sukra langsung mendorong motornya perlahan. Sesekali, ia coba men-starter motor. Hamdalah, motor masih bisa hidup. Ia pun menaiki motor itu dan melaju pelan.

Beberapa meter dari tempatnya jatuh, warung mulai terlihat. Sukra langsung menepi di warung tersebut. Sembari menghela nafas, Sukra memasuki warung. Ibu warung yang melihat kondisi Sukra yang repot langsung menghampirinya dan bertanya apa yang terjadi.

"Jatuh ya jang?" ujar si ibur

"Iya bu, biasa tadi kena lubang. Jadi tijuralit (terjatuh)," timpal Sukra.

Sang ibu warung langsung masuk ke dalam, kemudian keluar lagi sembari membawa obat merah dan minuman hangat. Sukra menyambut obat merah dan minuman itu, sambil berkata kepada si ibu.

"Hatur nuhun nya, bu (Terima kasih ya, bu)," ucap Sukra.

"Iya jang, udah itu lukanya diobati dulu, meh teu bareuh (biar tidak bengkak)," jawab si ibu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sukra melihat kakinya. Benar kata si ibu, betisnya sedikit membengkak dan ada lapisan luka yang basah di situ. Darah keluar. Sukra terlebih dahulu mengelap luka itu dengan tisu yang ada di warung, lalu menetesinya dengan obat merah. Perih, itu pasti. Laiknya ditinggal orang yang disayangi.

Namun, Sukra menahan rasa perih itu. Bibirnya sedikit megap-megap. Rintihan-rintihan kecil keluar dari mulutnya yang sedikit memutih. Selesai mengobati luka, Sukra menaruh obat merah di meja warung, dan bergegas meminum minuman hangat yang disuguhkan ibu warung.

Minuman itu sejatinya sudah tidak terlalu hangat lagi. Dingin udara puncak membuat minuman yang hangat, terkadang bisa jadi dingin dalam sekejap. Namun, saat Sukra menyeruput minuman itu, rasa hangat masih bisa ia rasakan. "Oh, jahe ternyata ini," gumam Sukra dalam hati.

Obat merah di luka sudah mengering, Sukra perlahan menggerakkan kakinya. Aman, tak ada rasa sakit berlebih yang ia rasakan. Ia pun membuka tas, lalu mengambil dua batang rokok kretek Aroma dan menyalakannya. Semburan asap rokok dari mulutnya beradu dengan uap dingin khas puncak.

Habis dua batang, minuman hangat dari si ibu juga sudah tandas. Tak terasa sudah setengah jam Sukra beristirahat di situ. Ia mulai melakukan pemanasan tipis-tipis, sambil mengecek kondisi luka dan keadaan kakinya. Semua aman. Begitu juga tangannya tidak merasakan pegal yang berlebihan.

Ia pun pamit kepada si ibu, sembari menyerahkan uang satu lembar Rp10 ribu untuk membayar minuman hangat. Sang ibu awalnya menolak, tetapi Sukra memaksa agar ia mau menerimanya. Akhirnya, si ibu menerima uang tersebut.

"Yasudah jang, hati-hati ya. Jangan takut, jang, asal fokus mah aman. Kabut gini mah buat kita udah biasa," ujar si ibu dengan senyum khas ala wanita Sunda.

"Muhun (Iya) bu, ini juga saya mau lalaunan (pelan-pelan) aja," ujarnya.

Sukra beranjak ke arah motornya yang terparkir. Sekarang Beat hitam itu sudah kuyup oleh air hujan campur embun. Ia mengecek kondisi ban dan pengereman motor, takut-takut ada yang rusak karena kejadian tadi. Ternyata, semua masih berfungsi.

Ia langsung mengenakan jas hujannya, memakai helm, dan berpamitan kepada si ibu. Pelatuk gas ia tarik perlahan. Tidak lama dari warung itu, jalur yang tadinya menanjak, sekarang sudah mulai menurun.

Sukra perlahan berpikir, kabut memang kerap memberi ketidakjelasan. Kabut mengaburkan pandangan, bahkan bisa membuat seseorang terjatuh. Namun, kabut harus tetap dilewati, karena sejatinya kabut tidak mengancam. Kabut hanya ingin agar orang-orang lebih waspada akan sesuatu yang tak pasti.

Jalanan di belakang sudah tidak tampak. Kabut menutupinya. Namun, makin lama, seiring jalanan yang menurun, kabut makin tipis dan akhirnya mulai hilang, tepat ketika Sukra melalui daerah Megamendung. Sebentar lagi Ciawi, dan Sukra akan segera sampai Bogor.

Awan memang masih mendung. Namun, kabut sudah sirna. Hujan juga sudah reda. Rasa sakit di kaki tidak begitu terasa, dan motor Beat hitam dalam kondisi baik-baik saja. Sukra menarik pelatuk gas lebih kencang, dan beranjak memasuki Ciawi, Tajur, kemudian sampai ke kota Bogor.

Di Bogor, Sukra sempatkan menyesap kopi Liong. Hangat kopi Liong, ditambah satu batang rokok kretek Aroma membuat tubuhnya yang kedinginan mendapatkan api semangat baru. Ia sadar, masih ada sisa 55 km lagi jarak yang mesti ia tempuh. Jakarta sudah menanti.

"Hayu (Ayo) ah, gaskeun deui (gaskan lagi)," teriak Sukra dalam hati.

Motor Beat hitamnya melaju lagi. Bersamaan dengan itu, deru suara klakson mobil dan motor makin ramai terdengar di Jalan Raya Bogor. Sukra tidak peduli. Yang penting, hari itu ia selesai melewati kabut di puncak.

Baca Juga: [CERPEN] Teman Berdialog

Firdaus Sandy Photo Writer Firdaus Sandy

Coba menjadi cerpenis kembali sebisanya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya