[CERPEN] Akseptasi

Aku yang akhirnya sadar menyukaimu

Kedua kaki ini terus melangkah tanpa menghiraukan jalanan becek yang basah karena hujan. Dinginnya malam pun sama sekali tak buatku bergidik. Hati dan tubuh ini terlalu panas untuk sekadar merasakannya.

"Adrian!"

Pekikan suaramu mengudara di saat tangan ini terus menyeretmu entah ke mana. Kau mencoba untuk melepas genggamanku, tapi tak bisa. Mungkin memberimu rasa sakit, namun sayangnya, aku tak bisa merasa kasihan saat ini.

Dan sampailah kaki ini membawa ke sebuah gang. Aku lantas mendorong tubuhmu hingga menghantam tembok. Meskipun gelap, wajah kesalmu masih begitu jelas lewat cahaya dari bangunan sekitar yang menyusup ke dalam gang.

Kita saling menatap. Bahkan, aku yang menyudutkanmu sama sekali tak membuatmu geletar. Malah, netraku menangkap bola matamu yang seolah penuh gejolak api.

"Lu ngapain ke sini?"

Pertanyaanmu memecah geming di antara kita. Sebenarnya, aku punya jawaban untukmu. Namun, melihat wajahmu, diriku masih begitu geram sehingga lidah pun berakhir kelu.

"Kemarin, lu sendiri yang bilang kalau lu jijik ngeliat gua. Terus, sekarang?"

"Bisa diem gak, sih?!"

Kau langsung menepis tanganku yang meraih kerah bajumu. Kuakui, ucapanku waktu itu memang terdengar menyakitkan. Namun, aku tak habis pikir saja. Dari semua orang di dunia ini, mengapa kau harus begitu? 

"Lu bilang apa?"

Kau sedikit ragu untuk berkata lagi. "Gu-gua juga suka co-cowok."

Mendengarmu mengucapkan itu, aku sungguh kehilangan kata-kata. Hatiku ingin menolak apa yang kau bilang saat itu. Namun, aku tahu kau bukanlah orang yang mudah berbohong.

"Lu pasti lagi dapat dare dari Robby ini, kan? Jangan bohong lu," ujarku, masih mencoba untuk membantah.

"Dare apaan? Gua gak-"

"Jadi, kita temenan 10 tahun lebih dan lu udah gay sejak dulu?" tukasku. "Masih banyak cewek di luar sana dan lu malah suka sama cowok? Gak habis pikir gua."

"Bukan gitu. Dengerin dul-"

"Jangan dekat-dekat! Jijik gua sama lu."

Sejak saat itu, aku putus kontak denganmu. Bertemu di kampus pun sudah seperti orang yang tak saling kenal. Menyadari kalau dirimu termasuk salah satu bagian dari mereka masih sulit bagiku untuk memercayainya.

"Kalau lu nyeret gua ke sini cuma untuk ngeliat lu diem doang, mending lu minggir."

"Tunggu." Tanganku menggapaimu yang hendak beranjak pergi.

Melontarkan kata-kata tajam waktu itu memanglah murni kesalahanku. Hanya saja, melihatmu pergi bersama orang lain, aku tak suka. Seakan-akan, kau hendak meninggalkanku untuk selamanya–dan aku tak mau itu terjadi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Gua gak suka ngeliat lu sama orang lain."

Mungkin, masih belum terlalu jelas bagimu. Anggap saja aku cemburu melihatmu pergi berjalan bersama cowok lain. Terlebih kalau kau malah gembira bersamanya, aku membencinya. Itu sebabnya aku langsung menyeretmu keluar dari bar itu tanpa meninggalkan sepatah kata pada cowok itu.

Jadi, kuharap sudah jelas sampai di sini: aku cemburu bukan sebatas 'teman dan teman', melainkan lebih dari itu. Dan aku marah dengan diriku sendiri karena sudah menghinamu, tapi malah berakhir menyukaimu.

Mendengar ini, kau lantas menyeringai. "Sumpah, gua gak ngerti sama lu."

"Lu ngehujat gua karena suka cowok, terus sempat ngira kalau gua suka sama lu. Sekarang, malah lu yang suka sama gua. Terus, besok apa? Lu mau ngajak nikah gitu?" kau berujar.

Aku hanya terdiam.

Kau pun lanjut berbicara, "Alasan waktu itu gua ngasih tahu karena gua mikir, lu bisa aja makin kecewa kalau lu nemuin sendiri sisi gua ini."

"Gua juga tau, kok, lu anti sama orang yang kayak gua ini. Dan jujur, gua sama sekali gak ngarepin lu yang bakal memaklumi karena lu pasti gak bakalan setuju," sambungmu.

"Gua pikir, lu bakal nasihatin baik-baik. Tapi..." Kau menghela napas, lalu berkata, "Gua jadi terkesan kayak sampah, tau gak?!"

Kita kembali dirundung hening.

"Iya, gua salah. Gua malu. Gua kemakan omongan sendiri." Aku lalu mengambil dan menggenggam kedua tanganmu. "Tapi, pliss banget, kasih gua kesempatan sekali lagi."

Kau hanya merundukkan wajahmu. Mungkin, terdengar seperti guyonan belaka, tapi aku ingin kau tahu bahwa ucapan itu murni datang dari lubuk hatiku.

Genggamanku kemudian kau lepas. Lalu, kau berkata, "Jangan gegabah, Adrian. Mending, besok aja kita bicarain ini."

"Lu masih gak percaya sama gua? Gua serius!"

Bahkan, aku yang sudah berlutut di hadapanmu tak mempan membuatmu luluh. Kau kembali menjauhkan tanganku dan beranjak pergi.

Aku tak mau menunggu besok. Aku pun kembali menggapai tubuhmu dan menyudutkanmu ke tembok. Tanganku erat mencengkeram bahumu, tak mau melepasmu pergi.

Sebenarnya, aku masih enggan melakukannya. Namun, bibir ini lantas memberanikan diri 'tuk layangkan kecup pada bibirmu. Jantungku berpacu tak seperti biasanya. Begitu kencang dan bisa kurasakan detak jantungmu pun begitu.

Dan setelah kita selesai melakukannya, wajahmu begitu tercengang. Sekujur badanmu seolah membeku, tak bergerak sedikitpun. 

"Gua cuma bakal nyebutin ini sekali doang," kataku.

Kau masih terpana.

"Gua gak mau lu sama orang lain. Gua mau jadi pacar lu."

Baca Juga: [CERPEN] Sang Nakhoda

E N C E K U B I N A Photo Verified Writer E N C E K U B I N A

Mau cari kerja yang bisa rebahan terus~

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya