[CERPEN] Sepuluh Alasan

Sepuluh alasan untuk mencintaimu

Pematang Siantar, 8 Mei 2006

Surat ini kubuat untuk gadis yang selalu memandang keluar jendela sebelum apel pagi. 

Kata orang, mencintai itu tak butuh alasan. Dengan tidak adanya sesuatu yang mendasari tersebut berarti rasa suka yang diberikan memang tulus. Jadi, apakah aku tak benar-benar mencintaimu? Karena nyatanya, ada sepuluh alasan yang membuatku luluh padamu.

Pertama, senyum indahmu. Setiap mata ini tak sengaja menangkapmu, rasa-rasanya aku tak ingin lepaskan pandangan. Gundah gulana yang sempat menyungkup dalam dada langsung sirna. Seolah ada mantra yang sengaja kaujuruskan di tiap simpulan senyummu.

Aku takut terlalu geer. Semoga saja kau melakukan ini kepada semua orang. Sebab, kebiasaanmu menatap dalam mataku menjadi alasan kedua mengapa aku menyukaimu. Sungguh meresahkan sejujurnya. Tiap kali kita berbincang dan kau begitu, semua yang ingin kukatakan langsung buyar.

Ketiga, gerak-gerikmu. Entah mengapa, aku senang melihatmu ketika menulis catatan. Ayunan tanganmu tatkala merangkai tulisan tampak begitu elegan. Terlebih sewaktu kau geraikan rambut hitam-panjangmu itu. Intinya, setiap dirimu melakukan sesuatu, aku suka.

Aku jadi mengerti arti dimabuk cinta sekarang. Semua perbuatanmu kerap buatku gelagapan. Seperti waktu itu, tatkala kamu tiba-tiba duduk di sampingku. Rasanya sungguh menggebu-gebu niat hati untuk menyapamu. Namun, karena kita beda kelas, aku takut kau anggap sok dekat. Lantas, sengaja kubuat pandanganku terpaku pada smartphone walaupun sebenarnya aku curi-curi pandang.

Tiba-tiba, kau menepuk pundakku. "Serius banget main game-nya sampai gak tahu aku di sini," ucapmu.

Panic mode on. Sialan, aku ketahuan. Dan saat momen itu terjadi, aku tak tahu harus menjawab apa. Sama seperti ketika aku ditanya Pak Silaban sewaktu pelajaran Fisika. Syukurlah temanmu memanggil. 

“Yah, padahal masih mau ngobrol,"

Kau lalu menyandangkan tas dan berdiri, "aku duluan, ya?”

Tak pernah kuperhatikan sebelumnya. Tapi tutur katamu begitu lembut, ya? Mendengarkan suaramu langsung bikin hati teduh. Tentu itu menjadi alasan keempat mengapa aku menaruh rasa padamu.

Aku ingin terus bercerita. Namun, aku takut kau akan jemu. Jadi, kupersingkat saja. Untuk tiba di alasan kesepuluh, sepertinya harus ada kilas balik dahulu supaya dirimu lebih mengerti. 

Ingat tidak sewaktu hujan minggu lalu? Air tumpah setumpah-setumpahnya sehingga buatku tak bisa pulang. Aku hanya bisa berdiri di halte sembari memeluk erat tubuhku.

Dari kejauhan, kudapati dirimu berlari dengan payung pelangimu. Kupikir kau akan berlalu. Nyatanya kau malah menghampiriku. Jujur, aku bingung harus berbuat apa. Ingin bertanya kenapa kau datang kemari. Tapi kau masih terengah-engah. Ingin diam saja, tapi aku takut dikira sombong. 

"Sialan, situasi yang sama lagi," pikirku dalam hati.

Kau mengambil napas panjang dan berkata, "kamu udah dari tadi di sini?"

"I-iya," balasku terbata-bata.

Biar kau tahu, aku belum siap kalau dihadapkan situasi seperti ini. Alhasil, kita berdua hanya diam saja. Hening. Hanya memandangi titik-titik air hujan yang basahi dunia.

Kulihat dirimu tak mengenakan jaket. Hendak kuberikan jaketku, tapi aku juga kedinginan. Lebih anehnya, kau punya payung. Kenapa tak diterjang saja hujan ini? Daripada semakin menggigil akibat sunyi, aku pun beranikan diri untuk mulai percakapan.

"Kamu gak dijemput pacar?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kau menoleh ke arahku dan melongo. "Hah?"

"Ah, aku tadi salah ngomong. Lupain aja!"

"Bukan begitu," katamu. "Baru kali ini kamu yang duluan bicara. Biasanya selalu aku yang duluan. Jadi, agak terkejut gitu."

Aku tak mau terlalu berharap. Tapi ternyata kau ingat semua percakapan kita? Jadi, itu bukan sekadar basa-basi saja? Pikiranku sudah mulai kacau waktu itu.

"Oh, jawab pertanyaan kamu tadi, enggak. Aku gak lagi pacaran. Memangnya, aku kelihatan udah punya cowok, ya?" tanyamu.

Jawabannya sudah jelas. Penampilanmu, ditambah dengan prestasi yang kau torehkan di sekolah, mustahil tak memikat para pejantan. Bisa dibilang, kau itu merupakan artis sekolah; dikenal oleh semua orang. Dan aku yakin, setidaknya sudah ada yang pernah mencoba mengajakmu berkencan.

"Kalau kamu gimana?" kau bertanya lagi. "Aku sering lihat kamu pulang bareng cewek. Dia pacar kamu, kan?"

"Eng-enggak! Itu adik perempuanku. Aku sama sekali gak pernah pacaran. Lagian, siapa juga yang mau sama aku?"

"Ya ampun. Jangan merendah gitu, dong!"

Kau tersenyum dan tertawa. Benar-benar payah. Bisa kurasakan wajahku panas dan memerah kendati hujan masih belum redah. Sebegitu konyolkah diriku? Namun, aku juga tak bisa mengelak.

Setelah lama ditutupi mendung, akhirnya sang surya pun menunjukkan diri. Hujan berhenti dan langit sore tunjukkan warna oranyenya.

"Kamu gak mau balik? Hujannya udah berhenti," kataku.

"Oh, iya." Kau lantas menyandangkan kembali tasmu. "Sebenarnya, aku bisa pulang dari tadi, sih."

"Iya. Kamu, kan, bawa payung."

"Tapi, kalau aku pulang duluan, nanti kamu sendirian, dong," jawabmu.

Panic mode on kembali lagi.

"Ya udah, deh. Aku duluan, ya."

Kita pun saling melambaikan tangan. Ada perasaan senang bercampur sedih tatkala melihatmu pergi. Memang, sangat disayangkan momen ini harus berakhir. Namun, aku senang karena bisa bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama denganmu. Aku juga senang karena jantungku bisa berdegup tenang lagi.

Kau lalu berbalik lagi dan berkata, “Kalau aku tiba-tiba suka sama kamu, jangan terkejut, ya!”

Itulah alasan kelima hingga kesepuluh; dirimu yang penuh tanda tanya. Teka-teki yang kausematkan di setiap gerak-gerikmu tak larat memancing perhatianku. Diriku jadi tak bisa lepas dari mantra sihirmu. Aku tak tahu apakah itu mimpi atau tidak; apakah kau sungguh-sungguh atau tidak. Namun yang pasti, kau buatku jatuh lebih dalam lagi.

Baca Juga: [CERPEN] Perjalanan Anak Monyet

E N C E K U B I N A Photo Verified Writer E N C E K U B I N A

Mau cari kerja yang bisa rebahan terus~

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya