[CERPEN] Eksistensi 

Ketika kenyataan menjadi kemungkinan 

Aku menjadi tempat orang-orang pamer segala kebahagiaannya. Menyembunyikan segala duka dan kesedihan demi mengamini sebuah eksistensi. Karena menurut sebagian besar orang, kalau seseorang tidak menggunakanku, ia dianggap lenyap dari dunia. Tidak ada. Tak jelas rimbanya. Konon, sekarang semua informasi memang disalurkan melaluiku, bukan lagi mulut ke mulut atau surat menyurat.

Mereka menggunakanku setiap hari, tapi ada jam-jam tertentu. Hasil riset mengungkapkan bahwa mereka sering kali menggunakanku selepas kerja, sekira jam 7 — 10 malam. Di waktu-waktu tersebut, mereka banyak sekali mengirimiku gambar atau sekadar kutipan bijak (biasanya yang seperti ini akan dapat tanda cinta banyak sekali).

Menurut seseorang yang menciptakanku, aku akan berguna untuk menyempitkan ruang komunikasi. Jadi, orang-orang yang berjarak jauh bisa merasa saling dekat berkatku. Hmmm … kalau dipikir-pikir, aku ini mulia sekali, ya, memang? Mendekatkan yang jauh katanya. Kuharap dengan begitu dunia akan semakin bahagia karenaku.

Tapi, ternyata tidak selalu begitu. Meski orang-orang saling berlomba menunjukkan kebahagiaannya, ada saja orang yang berantem gara-gara aku. Seperti yang kusaksikan kemarin malam, sepasang kekasih bertengkar dan nyaris putus karena memperdebatkan sesosok perempuan yang diajak berbincang oleh si laki-laki dan kekasih laki-laki itu cemburu.

“Itu aku sama dia ngobrolin kerjaan, Yang. Kamu jangan emosi gini, dong,” kata laki-laki yang bernama Ian itu (aku tahu namanya dari yang ia ketikkan di kolom username-nya).

“Tapi sering, ‘kan? Lama-lama, nanti kalian saling suka, terus kamu selingkuh sama dia, terus aku ditinggalin,” kata perempuannya bernama Zia. Ia sering ada di foto yang diunggah bersama Ian.

“Ya, ampun kamu mikirnya kejauhan, Yang. Beneran kemarin cuma ngobrolin kerjaan. Kamu nggak percaya? Nih, baca aja,” kata Ian menyodorkan ponsel pintarnya ke Zia. Tapi, Zia diam saja. Aku cuma bisa melirik mereka berdua. Lucu.

“Gini aja deh. Akunmu masukin di punyaku juga, jadi aku bisa tahu apa yang kamu lakuin,” Zia sekarang membuat penawaran. Ian tentu saja kaget.

“Kayak gini aja aku juga perlu lapor ke kamu? Untungnya buatmu apa, Yang? Kita saling percaya aja kenapa sih? Kenapa harus saling nyimpan akun di ponsel masing-masing? Aku aja percaya sama kamu,” suara Ian meninggi. Huww, sepertinya ia sudah tidak sabar dengan kelakuan kekasihnya.

“Kalau kamu nggak mau kita putus aja. Kamu jalan aja sama cewek yang mesra banget di chat itu.” Wow, Zia serius sekali kali ini. Hampir saja ia membanting ponsel Ian, tapi ia memilih mengembalikannya dengan paksa.

Kemudian, seperti yang ada di drama-drama Korea, Zia berbalik meninggalkan Ian, tapi tangannya kemudian ditahan oleh sang kekasih. Ian memeluk Zia erat-erat. Dan entah bagaimana mereka menyelesaikan masalah ini, yang jelas dua malam kemudian Zia mengunggah foto kepadaku. Ia menampilkan tangannya memegang erat tangan Ian kemudian menuliskan captionPlease don’t go, my babe”. Foto itu mendapat tanda cinta sebanyak 275. Tanda cinta terbanyak dari keseluruhan foto-foto Zia yang kutampilkan.

Ada juga kisah menyedihkan yang tercipta gara-gara aku. Beberapa hari lalu tepatnya, seorang mahasiswa menangis tersedu-sedu semalaman. Ia sedih karena teman-temannya sudah pada wisuda, sementara dirinya masih terperangkap dalam jeruji kemalasan untuk mengerjakan skripsi. Ya, hari itu di layar ponselnya aku banyak menampilkan foto-foto wisuda. Semua wajah di foto itu tampak bahagia, tapi mahasiswa itu tidak.

Satu per satu, temannya pergi meninggalkan kampus dan kini ia tinggal seorang diri. Seharian itu, ia tak ingin melihat ponselnya. Bahkan, kalau tidak salah, ia sempat membantingnya ke atas tempat tidur kemudian meringkuk di tepi kamar. Samar kudengar ia mengatakan dirinya bodoh dan tak berguna. Ah, sejahat itukah aku sampai membuat seseorang sedih dan terluka begitu dalam?

Ada juga yang memanfaatkanku untuk menyebarkan kabar-kabar palsu. Duh, kalau yang satu ini dampaknya benar-benar mengerikan. Yang sempat kusaksikan, ada sebuah keluarga yang jadi terpecah belah gara-gara kabar palsu. Si ayahnya dipecat dari pekerjaan. Lalu, istrinya sudah tak percaya lagi padanya dan membawa pergi kedua anaknya, entah ke mana. Si ayah kini jadi seorang diri, cuma gara-gara satu unggahan yang kutampilkan dan membuat jagat maya bergejolak.

Menurut laporan yang kuterima lewat gambar yang diunggah, si ayah itu memberikan sontekan ujian buat beberapa siswanya. Katanya, mereka memang siswa kesayangan si ayah tersebut. Laporan berupa foto buram yang diunggah padaku itu lewat sebuah akun konten viral. Selain itu, si ayah menjual sontekan kepada siswa lainnya demi keuntungan pribadi. Ceritanya semakin menjadi-jadi saat tertulis bahwa si ayah menggunakan uang tersebut buat berjudi.

Kabar ini sempat viral dan jadi perhatian khusus dinas pendidikan di kota si ayah yang merupakan guru honorer tersebut. Usut punya usut, selang 3 bulan setelah berita itu tersebar, diketahui bahwa foto dan kabar tersebut palsu berkat laporan investigasi seorang wartawan daerah yang menuliskan kisahnya juga lewat diriku. Begitu mengetahuinya, aku benar-benar turut sedih dengan kondisi si ayah tersebut. Mengapa kehadiranku begitu jahat?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Manusia menghakimi, Lur. Kata Aim. Ia seorang pemuda kekinian yang mendeskripsikan dirinya sebagai "social media enthusiast", seperti yang ia tulis di bio akunnya. Aku sempat mendengar percakapannya dengan seorang teman pada sebuah senja yang redup. Temannya, kalau tidak salah dengar bernama Alur, waktu itu berkisah bahwa ia habis kena damprat para netizen — sebutan masyarakat yang berada di internet — karena mengkritik seorang artis papan atas di negerinya karena tidak menaati protokol kesehatan di tengah pandemik virus corona.

Pula, sejatinya aku menampilkan kebahagiaan semua manusia di muka Bumi ini, tapi ternyata malah membuat sebuah keluarga menjadi sunyi. Yang kumaksud adalah keluarga Pak Fitra. Beliau punya tiga orang anak. Semenjak semuanya memiliki ponsel pintar, rumah yang dulu setiap hari ramai itu kini menjadi sepi. Anak-anak Pak Fitra lebih senang menatapku ketimbang main keluar.

Seperti liburan semester lalu, Bu Fitra mengajak seluruh anggota keluarga jalan-jalan.

“Ayo, kita pergi, yuk,” kata Bu Fitra. Sebenarnya hari itu semua sedang berkumpul di ruang tengah, tapi kepala mereka menunduk saja. Pun tidak ada yang menanggapi ajakan Bu Fitra. Pak Fitra sibuk dengan laptopnya, mungkin sedang mengoreksi jawaban ujian mahasiswanya.

“Mas Anas, pergi, yuk,” kali ini Bu Fitra mengajak putra sulungnya. Anas hanya menjawab pendek. “Ke mana?”

Mengapa keberadaanku malah menciptakan semakin banyak kesunyian?

Tidak jarang pula aku melihat ekspresi-ekspresi kesedihan yang tersembunyi dalam senyum bahagia orang-orang yang asyik menatapku. Itu adalah kebahagiaan semu yang mereka ciptakan sendiri. Bagi mereka, keberadaanku menjadi penyelamat kesepian. Tapi, jauh dalam lubuk hatinya, sebenarnya mereka jauh lebih kesepian ketika menatapku seharian. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannya dari sentuhan jemari-jemari mereka.

Yang di-posting orang di sana itu cuma bikin manusia-manusia lain menjadi ingin kemudian berangan. Sebahagia apa pun foto atau caption yang kamu tulis, belum tentu bikin orang lain merasakan yang sama. Mereka mungkin saja mengatakan dan melakukan hal lain di dunia nyata.

Keberadaanku akhirnya membuat banyak orang waras bertanya-tanya akan definisi eksistensi. Keberadaanku sudah menggeser makna itu. Eksis yang berarti nyata wujudnya, kini menjadi maya. Kamu merasa tidak tahu kabar temanmu karena ia jarang mengunggah sesuatu padaku sehingga kamu tidak bisa menyaksikan jejak-jejak hidupnya. Mereka yang tidak pernah membagikan foto kebahagiaannya padaku dianggap seperti hantu, tak nampak.

“Kamu ke mana aja? Masih hidup? Kupikir sudah lenyap ditelan Bumi,” mungkin begitu tanggapan temanmu kalau kamu sudah lama sekali tidak mengaktifkanku.

Begitu pula seorang penyair. Sekarang susah betul bisa tampil kalau tidak menggunakanku. Tidak ada orang yang akan mengenalinya, kecuali ia mengunggah karyanya padaku sebanyak mungkin sampai orang-orang menyadari kehadiranmu — bahwa tulisan-tulisanmu begitu berharga buat mereka.

Apalagi keluarga, seperti keluarga Pak Fitra, keberadaanku malah menyembunyikan keberadaan-keberadaan yang nyata. Mereka ada, tapi tak saling sapa.

Bila Kierkegaard mengatakan bahwa manusia selalu bergerak dari kemungkinan menjadi kenyataan, kini berkat kehadiranku, hal itu menjadi terbalik. Manusia justru bergerak dari kenyataan menjadi kemungkinan. Ya, mereka berpalsu demi menciptakan eksistensi yang bernilai tinggi dan bisa dijual. Dapat uang. Lalu bahagia, kemudian membuat eksistensi yang lainnya.

Kamu eksis bila bersamaku dan tanpaku dirimu tidak ada di dunia ini. Namun, apakah aku menjadi sahabat yang nyata buatmu?

Yogyakarta, 17 Desember 2017 diperbarui 16 Januari 2021

Baca Juga: [CERPEN] Takhayul Neksus di Langit

Gendhis Arimbi Photo Verified Writer Gendhis Arimbi

Storyteller

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya