[CERPEN] Lelaki yang Tidak Tinggal Sendirian

Siapa yang tak bahagia ada yang menanti pulang?

Jingga mulai muncul menggantikan kuning terang tadi siang. Lampu-lampu kantor oleh Pak Hari segera dinyalakan sebelum terlambat gelap. Sementara itu, ia masih duduk tak tenang di kursi kerjanya. Mata sudah tidak fokus menatap layar komputer. Sesekali, ia memalingkan pandangan ke arah jam dinding yang dipasang tepat di tembok di depannya. Nasib menjadi orang kantoran, sebelum jarum jam tepat menunjukkan pukul 5 sore, para pekerja tidak boleh beranjak pulang dari kantor. Makanya, ia sungguh sudah menantikan jarum panjang itu segera bergerak menuju angka 12.

Ada yang dirindukannya seharian ini, padahal baru ditinggalkannya selama hampir 8 jam. Gara-gara itu, ia ingin segera pulang ke rumah. Ada yang menantinya malam ini.

“Pulang, Mas?” Pak Hari menyapanya di parkiran motor.

“Iya, Pak,” ia mengenakan slayer biru menutupi hidungnya kemudian memasang helm.

“Kok, tumben?” tanya Pak Hari lagi.

“Ada yang nunggu, Pak. Hehe,” jawabnya bernada sangat bahagia. Hanya dibalas senyum ikhlas Pak Hari. Motornya kemudian perlahan pergi meninggalkan kantor yang sudah menjadi tempat kerjanya selama 5 tahun itu.

Ah, pulang kerja hari ini memang berbeda. Siapa yang tak senang kalau sampai rumah disambut oleh seseorang? Siapa yang bisa sabar berhadapan dengan kemacetan sepulang kerja karena ingin segera bertemu yang menunggu di rumah? Meski sesampainya di rumah, jalanan sudah tak lagi nampak cerah, lampu-lampu taman mulai menyala, tapi duduk di ruang makan sembari menikmati teh hangat dan kembang kol goreng merupakan cara paling mahal melepas lelah setelah seharian bekerja.

Itulah yang ingin ditemuinya mulai hari ini. Sayangnya, ia harus bermacet ria terlebih dahulu—seperti biasanya—sehingga mau tak mau ia menghabiskan senja di jalanan yang penuh debu. Setiap hari, mulai pukul 5 sore sampai pukul 7 malam, tumpukan kendaraan di jalan raya ini tak bisa diberi ampun memang. Mengapa semua kantor harus punya kebijakan yang sama? Pulang harus pukul 5 sore, masuk kerja harus pukul 8 pagi. Terlambat sedikit atau pulang lebih awal sebentar kena risiko potong gaji. Sementara itu, jalan raya selalu cuma begitu-begitu saja, tak pernah jadi lebar atau tambah banyak.

Mengapa pula semua orang lewat jalan raya ini, sih? Sudah di kantor suntuk, mau pulang pun semakin bikin suntuk. Maka, jangan heran kalau di jalan setiap pulang kerja kendaraan-kendaraan itu menimbulkan gemuruh yang menyebalkan. Ada yang mencaci maki, ada yang menggerutu, ada yang menyanyi tiin tiin tiin di setiap perempatan lampu lalu lintas dan di mana pun ada penumpukan kendaraan.

Ia menghadapinya setiap hari: Senin sampai Sabtu. Biasanya, sampai rumah, ia sudah tidak mampu lagi menyunggingkan senyum. Bahkan, untuk membuka mulut saja enggan. Tapi, hari ini berbeda. Hatinya begitu berbunga-bunga, tak peduli seberapa panjangnya macet sore ini. Ia bahkan tidak merasakannya. Sudah lupa situasi rupanya dia gara-gara ada yang menunggu di rumah.

Rumah itu tampak terang. Bukan rumah yang besar, bukan pula seperti yang ada di drama-drama Korea: minimalis, tapi mewah. Ia sampai rumah 3 menit lebih cepat dari biasanya mungkin karena suasana hati yang berbunga-bunga itu. Pula, bila biasanya ia harus membuka kunci pintu sebelum masuk rumah, kali ini, ia tak perlu melakukannya lagi karena sudah pasti sekarang pintu itu tidak akan terkunci.

Atau ia yang akan membukakan pintu untukku. Ia tersenyum, membuka pintu, dan melangkah masuk. Diciumnya wangi ayam goreng yang sumbernya dari ruangan terdalam di rumah ini. Ia meletakkan tas kerjanya di atas sofa di depan TV.  Ia tahu pasti nanti akan ditegur, tapi anehnya itulah yang membuatnya selalu merasa jatuh cinta.

“Wah, masak ayam goreng, ya?” tempat pertama yang ditujunya yaitu dapur. Duh, padahal tadi pukul 4 sore ia sempat makan bakso di belakang kantor dan belum merasa lapar sekarang. Tapi, melihat letupan-letupan minyak yang menggenangi potongan paha-paha ayam berbumbu itu membuat perutnya semakin keroncongan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku bebersih dulu, deh. Habis itu makan malam,” ujarnya. Bergegas, ia membersihkan diri. Seusainya, ia meletakkan handuk di atas kasur, tak sabar makan malam bersama seseorang yang spesial itu.

Di meja makan, sudah terhidang ayam goreng yang masih mengepulkan asap-asap kehangatan serta semangkuk sop jagung di sampingnya. Selama hidupnya membujang, mana pernah ia menyantap makan malam sebegitu lengkap seperti ini? Masih hangat pula. Paling mewah ia makan nasi cumi dari warteg di ujung gang yang sudah jadi langganannya selama 5 tahun. Kalau sedang bosan, ya, ujung-ujungnya tidak makan. Ini kalau sampai ketahuan ibunya, pasti ia sudah kena semprot semalaman sampai kuping panas.

Ia tersenyum pada yang duduk di seberang kursinya. Mengucap doa dan terima kasih kemudian lekas menyendokkan nasi ke mulut. Beberapa saat kemudian, ponsel yang ada di sampingnya bergetar.

Ibu.

Ia menggeser layar untuk mengangkat telepon. Terdengar suara lembut ibu di seberang sana.

“Kamu sedang apa?” sapa ibu.

“Lagi makan malam, Bu,” suaranya yang begitu dalam membuat sang ibu merasa rindu pada putra satu-satunya itu.

“Makan apa malam ini?” Bibirnya menirukan kalimat yang diucapkan ibu barusan. Ia sudah hafal betul daftar pertanyaan yang akan diungkapkan ibu di awal-awal perbincangan dengannya. Setelah ini, ibu pasti bertanya kapan pulang.

“Kapan kamu mau pulang bertemu bapak dan ibu? Ada yang mau diomongin sama bapak dan ibu. Ingat, Le, usiamu sudah lebih dari 35 tahun. Sebenarnya, bapak dan ibu saat ini pun bahagia kalau sekarang kamu juga sudah merasa bahagia dengan pekerjaanmu dan kehidupanmu. Tapi kamu tahu kan bapak dan ibu sebenarnya…”

“Iya, Bu,” ia menjawab sekenanya. Ibu masih melanjutkan ceramahnya tanpa titik.

Ia tak menanggapi kalimat ibu, tapi sebenarnya ia mendengarkan dengan saksama. Diletakkannya ponsel di atas meja makan. Ibu masih bicara. Matanya menatap ke kursi kosong di hadapannya, menyingkap tangan, menghela napas.

Andai ada yang benar-benar menungguku pulang kerja setiap hari…***

Baca Juga: [CERPEN] Percakapan: dengan Surabaya

Gendhis Arimbi Photo Verified Writer Gendhis Arimbi

Storyteller

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya