[CERPEN] Malam Minggu ke Delapan Puluh Empat

Aku. Kamu. Kita tak pernah tahu di mana ujungnya.

Aku. Kamu. Kita tak pernah tahu di mana ujungnya dan kapan kita sampai ke sana.

Dirga menghela nafas. Ayunda marah lagi. Kali ini penyebabnya gara-gara ia telat menjemput. Padahal… padahal jujur saja jalanan hari ini macetnya ampun-ampunan. Lihat saja penampilan Dirga sekarang. Rambutnya yang tadi sudah dipakaikan pomade jadi berantakan lagi. Wangi parfumnya sudah hampir hilang disembunyikan bau asap kendaraan di jalanan tadi. Sayang, meski sudah menjelaskan berkali-kali Ayunda tetap tak mau ikut Dirga ke parkiran motor.

“Kayak gini nuntut aku bawa mobil. Bawa motor aja masih telat, gimana mobil?” Dirga menggerutu tepat di samping kekasihnya yang cantik jelita itu.

“Jadi mau pulang nggak?” Dirga membujuk Ayunda dengan nada sehalus mungkin meski dirinya juga tengah dirundung kesal. Ayunda masih merengut.

“Ya sudah aku tinggal. Kamu naik ojek aja,” Dirga melenggang ke parkiran motor. 

Sebenarnya berharap Ayunda akan mengikutinya, nyatanya kekasih yang sudah dipacarinya sejak kuliah itu masih berdiri di depan pintu kafe.

Sementara itu, Ayunda sama sekali tak memandangi kepergian Dirga. Tangannya merogoh ke dalam tas, mencari ponsel pintarnya. Sekejap, ia benar-benar memesan ojek seperti yang dikatakan Dirga tadi. Tak menunggu lama, aplikasi ojek itu memberi tahu kalau Ayunda sudah mendapat sopir, sekitar 2 menit lagi sampai lokasi penjemputan.

“Halo. Iya Mas, di depan Kafe Dermaga. Saya pakai baju hijau, rok bunga-bunga. Oke, ditunggu,” Ayunda mematikan ponselnya.

Semarah itukah Ayunda pada Dirga? 

Beberapa hari lalu Ayunda juga marah. Penyebabnya adalah Dirga yang tak kunjung membalas pesan Ayunda selama hampir 6 jam. Waktu itu hari Selasa, jadwal mengajar Dirga di kampus memang cukup padat. Begitu pula pekerjaan Ayunda di kafe yang memang sedang ramai-ramainya. Ayunda hanya ingin memastikan apakah dia dijemput atau tidak hari itu. Tapi sampai jam pulang Ayunda, pertanyaan di pesan LINE itu tak dijawab juga oleh Dirga. Akhirnya, daripada menunggu lama Ayunda memilih pulang sendiri.

Pesan itu baru dibaca Dirga ketika jadwal mengajarnya selesai tepat pukul 5 sore. Ayunda biasanya pulang pukul 6 sore, artinya sebenarnya Dirga masih punya kesempatan membalas pesan itu. Namun, karena belum melaksanakan shalat Ashar, Dirga mengesampingkan dulu urusannya dengan Ayunda. Seusainya, Dirga langsung meluncur ke kafe tempat Ayunda bekerja, hanya 15 menit dari kampus.

“Mbak Ayun tadi sudah pulang, Mas Dirga,” kata Nami, rekan kerja Ayunda yang masuk di shift malam. Mendengar itu Dirga terpaku.

“Sama siapa?” tanyanya, memastikan.

“Naik ojek tadi, Mas,” jawab Nami. Dirga menghela nafas panjang. Ia kemudian pamit pada Nami dan meninggalkan kafe.

Kalau sudah begini seringkali Dirga kesal. Dia ini kekasih atau tukang antar jemputnya Ayunda? Kalau hari ini emosinya tak tertahan mungkin pertanyaan itu sudah terlontar buat Ayunda, tapi Dirga urung karena tak ingin memperpanjang masalah.

Biar diam saja dulu. Pikirnya.

Ojek Ayunda sudah datang. Tak menoleh ke arah parkiran motor, Ayunda lekas-lekas naik ke jok motor ojek dan mengenakan helm.

“Perum Mediteran ya, Mbak?” Sopir ojek Ayunda memastikan tujuannya. Ayunda mengiyakan. Tiga puluh detik kemudian motor melaju meninggalkan kawasan Riau.

Kamu mungkin menganggap Ayunda keterlaluan, tidak peduli perasaan Dirga sampai-sampai tidak mau memandang punggung kekasihnya itu ketika meninggalkannya ke parkiran. Perempuan tak tahu terima kasih, sudah baik pacarnya mau menjemput jauh-jauh dari Dago, bermacet ria tapi usahanya itu disia-siakan. Tapi bukan itu yang sebenarnya sedang dilakukan Ayunda. Ia hanya melakukan hal yang semestinya sedang terjadi saat ini.

Sepanjang perjalanan pulangnya ke Cisitu, pikiran Ayunda tidak bisa berhenti barang sedetik. Akhir-akhir ini ia merasa ada sesuatu yang janggal antara dirinya dengan Dirga, entah apa itu. Kegelisahan ini bahkan tidak bisa disampaikannya pada Dirga karena begitu sulit mengonversikannya menjadi kata-kata yang berantai dan mudah dimengerti. Demi mengatur napasnya Ayunda memejamkan mata begitu rapat, tak ingin melihat jalanan. Pusing rasanya. Kedua tangannya saling menyilang memeluk badan.

Ayunda merasakan motor yang ditumpanginya tidak melaju dengan kecepatan tinggi, bahkan seringkali berhenti.

Mungkin macet, pikir Ayunda. Ia masih tak mau membuka mata.

Memang benar, jalanan masih macet meski sekarang sudah hampir pukul 7 malam. Maklum, ini hari Sabtu. Semua orang tentunya ingin menghabiskan malam minggu mereka bersama orang-orang terkasih sembari melepas penat. Pergi keluar rumah, cari makan malam di tempat paling romantis. Ah, sepertinya sudah lama sekali Dirga dan Ayunda tidak merasakan malam minggu berdua seperti itu.

Dan Dirga tidak bohong dengan ceritanya tadi, bahwa ia terjebak macet di daerah Jalan Riau. Dirga memang tak pernah bohong, sekali pun selama mereka berdua menjalin kasih. Ayunda pun bukannya tidak tahu hal itu. Dirga adalah laki-laki paling jujur yang pernah ditemuinya selama hidup. Ia percaya kalau tadi Dirga memang terjebak macet, itu bukan kebohongan. Tapi, ia tetap tak bisa menyembunyikan amarahnya.

Kenapa aku harus marah? Aku ini marah pada siapa? Harusnya tadi aku ikut Dirga saja. Kali ini Ayunda menyesali perbuatannya. Tapi ada satu sisi dalam dirinya yang menyangkal penyesalan itu.

Tapi aku ingin marah. Ayunda semakin memejamkan matanya, menarik napas sedalam mungkin.

Tak terasa, sebentar lagi masuk kompleks perumahan. Ayunda harus membuka matanya untuk memberikan arahan kepada sopir ojek.

“Itu nanti gang ke dua belok kanan, ya. Habis itu lurus sedikit, belok kiri. Rumahnya pagar hitam nomor 15, Mas,” Ayunda memberi arahan selengkap-lengkapnya, supaya ia tak perlu banyak bicara. Ia sedang malas bicara dengan siapa pun.

Ada Dirga di depan rumah. Ia bersandar di motor Hondanya kemudian berdiri ketika ojek pengantar Ayunda datang. Ayunda turun dari motor, membayar ongkos, kemudian berjalan menuju pagar. Ia tahu ada Dirga di situ, tapi ia tak sanggup melihatnya.

“Yun,” panggil Dirga. 

Ayunda menghentikan langkahnya. 

Dirga mendekat.

“Ngobrol sebentar boleh?” hati-hati Dirga bertanya. 

Ayunda masih hening.

“Kita ini kenapa, sih?” Dirga bertanya lagi.

Ayunda menguatkan genggaman tangannya pada gagang pagar.

“Aku juga nggak tahu, Ga,” Ayunda menjawab lirih.

“Tapi jangan diam aja,” kata Dirga. 

Ayunda menghela napas.

“Aku bosan, Ga,” kata-kata itu akhirnya terucap. Kata-kata yang sudah sangat ingin Ayunda katakan berbulan-bulan yang lalu. Kata-kata yang pamungkas, tapi tak pernah jadi solusi terbaik bagi sepasang kekasih. Kata-kata yang tentu saja membuat Dirga tercengang. Ia menelan ludah, bibirnya kering seketika.

“Aku salah apa?” tanya Dirga. 

Ayunda menggeleng pelan.

“Enggak ada. Aku cuma bosan. Bosan, Ga.”

“Apa karena aku terlambat jemput dua kali ini?”

“Emangnya kamu siapa? Kenapa cuma hadir pas jemput aku aja? Kamu bukan sopir ojek, kan?”

“Terus kenapa kamu marah?” nada Dirga agak meninggi. Tapi masih bisa diaturnya, supaya tidak terdengar oleh orangtua Ayunda yang ada di dalam rumah.

“Aku… nggak tahu, Ga. Aku bingung,” suara Ayunda bergetar menahan tangis.

Hampir lima tahun mereka menjalin kasih. Bermula ketika keduanya menempuh semester 4 bangku kuliah. Selama itu, bukannya mereka tak pernah berseteru. Berbagai macam masalah datang dan pergi. Mulai dari saling cemburu, tidak membalas pesan, tidak membangunkan sahur, tidak mau mengenal teman masing-masing, sampai hampir dipisahkan karena skripsi. Entah sudah berapa kali keduanya saling berdebat, namun masih bisa disatukan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hanya saja, untuk yang kali ini Ayunda merasa hubungannya tak bisa diselamatkan. Ia bingung, sebenarnya untuk apa ia menjalin hubungan dengan Dirga selama ini? Mengapa begitu lama? Apa yang hendak dicapai bersamanya?

Apakah Dirga benar-benar serius menjalin hubungan ini? Tapi sampai kapan?

“Kita ini ngapain, sih, Ga?”

“Maksud kamu?”

“Mau sampai kapan kita begini terus?”

“Aku nggak paham, Yun. Maksudmu gimana?” Ayunda terdiam lagi. Bagaimana harus mengatakannya?

“Aku merasa hubungan kita begini-begini aja. Apalagi sejak lulus kuliah. Kita cuma ketemu kalau malam, kamu jemput aku, memulangkanku. Begitu seterusnya setiap hari sampai tidak ada waktu jeda buat kita berdua. Kalau ada satu dari kita sedang ingin pergi berdua, ada saja alasan satu lainnya yang menolak. Sesederhana malam minggu. Orang-orang pada keluar rumah, kita justru di rumah masing-masing. Kelelahan bekerja atau ada urusan yang lain,” Ayunda menghela napas.

“Sudah delapan puluh empat malam minggu kita lewatkan, Ga. Waktu jeda yang seharusnya bisa kita gunakan sebaik-baiknya, tapi kita sia-siakan begitu saja.”

“Lalu maumu apa?” Dirga memberanikan diri mengajukan pertanyaan itu. Semoga saja Ayunda tidak menjawab kalimat yang saat ini sedang dipikirkannya. Tangan kirinya mengepal, ketakutan sekali.

“Maumu apa?” Ayunda justru bertanya balik. 

Tengkuk Dirga bergidik.

“Kalau kamu memintaku melamarmu, aku belum bisa dalam waktu dekat,” jawab Dirga. 

Ayunda menggeleng.

“Bukan itu, Ga. Sejak kapan aku meminta itu?”

“Jadi kamu tidak pernah memikirkan itu?” Kali ini nada suara Dirga benar-benar meninggi. 

Ayunda terperanjat, kepalanya akhirnya terangkat dan menatap wajah Dirga. Seketika dadanya berdesir. Meski di remang-remang lampu kompleks, tapi wajah Dirga begitu jelas di mata Ayunda. Wajah yang belum disaksikannya selama hampir tiga hari ini, hanya suara yang didapatnya dari Dirga selama itu. Dan kini ia teringat kisah-kisah masa lalu yang dijalaninya bersama Dirga.

Apakah setiap pasangan harus selalu memikirkan hal itu untuk mengakhiri hubungan mereka?

“Apa yang kamu pikirkan, Yun?” Dirga mencoba menyadarkan Ayunda yang masih terpaku menatapnya. Kali ini Dirga memikirkan kemungkinan jawaban kedua yang membuatnya semakin takut. Tidak… jangan sampai kata itu terucap!

Ayunda akhirnya mengalihkan pandangannya ke samping kanan, mungkin sedang menata pemikirannya kembali. Selama ini, hanya Dirga, laki-laki yang mampu menyeimbangkan kehidupannya. Sosok sahabat sekaligus kekasih yang mendukung semua impiannya, mendorong bahkan memaksanya untuk segera memulai usaha kafe. Dan hal itu kini sudah terwujud berkat Dirga. 

Kafe Dermaga di kawasan Jalan Riau itu kini sudah tampil cantik bersandingan dengan kedai-kedai hits lainnya. Usaha kafe bukunya ini pun berjalan lancar dua tahun terakhir. Banyak pecinta buku, kopi, dan tempat-tempat Instagrammable khas anak muda yang berdatangan ke sini. Semua keberhasilan ini tak lepas dari bantuan kerja keras Dirga juga. Ialah yang membantunya promosi ke semua kawan-kawan blogger makanan di Bandung.

Akankah aku menemukan laki-laki sebaik dirimu, Ga?

Pula, akankah Ayunda bertemu dengan laki-laki cerdas seperti Dirga? Laki-laki yang selalu punya mimpi besar dan tak akan pernah menyerah sampai titik penghabisan. Saat ini Dirga sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Janji Dirga tahun lalu pada Ayunda, dirinya akan membawa Ayunda juga ke sana. Bagi perempuan pada umumnya, pasti sudah membayangkan akan hidup bahagia sejahtera bersama Dirga. Tapi, dalam benak Ayunda sama sekali tak pernah terlintas pikiran itu. Ia tak pernah membayangkan akan hidup bersama Dirga. Selamanya.

“Kita sudahi saja,” perih betul mengucapkannya. Tapi cuma kalimat itu yang terlintas dalam benak Ayunda. Perih yang semakin terasa karena ia mengucapkannya sambil menatap wajah rupawan Dirga. Wajah yang mungkin tidak akan disaksikannya lagi selama bertahun-tahun ke depan.

“Jangan ucapkan itu tanpa alasan, Yun. Pikirkan dengan matang. Barangkali ini cuma emosimu sesaat. Kita harus sama-sama berpikir jernih, Yun…”

“Aku sudah memikirkannya berbulan-bulan, Ga. Cuma ini yang terlintas dalam pikiranku. Tidak ada yang lain,” Ayunda masih memberanikan diri menatap wajah Dirga. Ia ingin berlama-lama menatap wajah bersih itu, sebelum sirna semuanya.

“Alasannya apa? Karena aku belum punya mobil? Karena aku selalu terlambat jemput?”

“Ga, tolong. Soal mobil itu aku cuma bercanda. Kenapa kamu begitu menganggapnya serius? Sudah bertahun-tahun kamu kenal aku, harusnya kamu bisa bedakan kapan aku bercanda dan serius.”

“Sebercanda-bercandamu aku selalu menganggapnya serius karena aku serius sama kamu.”

“Pikirkan baik-baik, Ga. Apa benar kamu serius?”

Ayunda. Perempuan ketiga yang selalu dicintai Dirga dalam hidupnya setelah sang ibu dan nenek. Perempuan yang selalu membuatnya bangga dan tak pernah mengekangnya. Satu kalimat yang disukainya dari Ayunda adalah, “Lakukan aja apa yang kamu suka, selama itu positif pasti itu akan baik buatmu. Aku juga akan dukung.

Kalimat itu begitu menguatkannya, apalagi ketika Dirga tengah berkutat dengan tugas akhirnya tiga tahun yang lalu. Sebuah proyek robot yang pernah mangkrak hampir setahun lamanya coba diteruskan sebagai tugas akhir oleh Dirga meski hanya seorang diri. Timnya sudah meninggalkan proyek robot memasak itu karena dirasa tidak akan terlalu berguna buat kehidupan. Tangan-tangan manusia akan lebih mampu menciptakan masakan yang lezat ketimbang tangan robot.

Ayunda adalah orang pertama yang benar-benar mendukungnya untuk meneruskan proyek ini. Bukan sekadar dukungan formalitas sebagai seorang kekasih, tapi Ayunda benar-benar menginginkan robot ini terwujud. Ia juga yang terus-terusan menanyakan bagaimana perkembangan proyek robot memasak itu. Meski sempat dicibir oleh dosen pembimbing sendiri di tengah-tengah pengerjaan robot ini, pada akhirnya Dirga berhasil merampungkannya jauh sebelum deadline. Semua itu tak lepas dari bantuan Ayunda.

Maka, Dirga tak sanggup membayangkan kalau perpisahan ini benar-benar terjadi. Ia akan kehilangan motivator terbaik dalam hidupnya dan akan sulit baginya untuk menemukan yang serupa. Akankah aku benar-benar terbang ke Eropa tanpamu, Yun?

“Sepertinya kita sama-sama kelelahan, Yun. Kamu pasti capek seharian jaga kafe. Kamu istirahat dulu aja. Nanti malam aku telepon, besok aku juga akan ke sini lagi. Kita tenangkan diri dulu,” Dirga kali ini tak sanggup memandang wajah Ayunda yang masih menatapnya dalam.

“Tapi aku serius, Ga,” suara Ayunda terdengar lirih, tapi nada itu awam bagi Dirga. Nada-nada keseriusan. Nada-nada tak ada ragu dalam kalimat Ayunda. Ia hanya bisa mengangguk pelan.

“Kita bicarakan besok. Kamu masuk gih ke dalam. Aku pulang dulu,” Dirga mengenakan helmnya dan naik ke atas motor Honda yang sudah dipakainya sejak kuliah itu. Berat hati ia menekan tombol starter

Sementara itu Ayunda hanya terdiam memaku memandang punggung Dirga yang kini tampak rapuh itu. Dirga pelan-pelan meninggalkan rumah Ayunda.

“Assalamu’alaikum,” pamitnya, dijawab pelan oleh Ayunda. Tanpa sadar, air mata yang sudah tertahan selama satu jam itu luruh ke pipi Ayunda.

**

Kini keputusan ada di tangannya, apakah ia harus mengamini permintaan Ayunda atau memperjuangkan hubungan ini. Sekarang pukul 2 dini hari. Dirga sama sekali tak bisa memejamkan mata. Orang mana yang bisa terlelap begitu saja ketika kekasihnya meminta mengakhiri hubungan?

Demi menenangkan hati dan mendapat jawaban, Dirga mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat istikharah. Musim kemarau bulan Mei di Bandung nyatanya tak membuat suhu dini hari menjadi hangat. Dirga menggigil ketika air wudhu membasahi wajahnya.

Lama ia bersujud, tak tahan untuk menumpahkan tangisnya di atas sajadah biru itu. Baru kali ini ia bisa menangis sedemikian pedih hanya gara-gara tiga kata yang diucapkan Ayunda tadi malam. Usai shalat, ia memohon pada Sang Pemberi Jawaban.

“Ya, Allah. Kalau memang bukan dia masa depanku, kalau memang aku harus mengakhiri hubunganku dengan Ayunda saat ini, kalau aku memang tidak pantas untuknya, tolong berikan aku jawabannya. Turunkanlah hujan sederas-derasnya seusai aku melipat sajadah ini. Amin." 

Dirga mengambil napas panjang sembari mengatupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Lekas ia melipat sajadah biru itu kemudian tidur sebentar sebelum bangun lagi untuk melaksanakan shalat subuh.

Nyatanya, usai melipat sajadah dan selama ia terlelap, hujan tak turun. Mana mungkin hujan deras turun di musim kemarau seperti ini? pikir Dirga. 

Dan ia bangun dengan tenang pada pukul 4.30 untuk melaksanakan shalat subuh. Dalam doanya seusai shalat berjamaah di masjid, Dirga mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Ia bersujud lagi seusai berdoa, sebelum beranjak dari tempat shalatnya. Kemudian ia bangun dari sujudnya seraya melipat sajadah. Sayup-sayup suara guntur terdengar.

Tak lama kemudian, jutaan liter air tumpah ruah ke tanah Bandung.***

Baca Juga: [PUISI] Tanpa Sepatah Ucap

Gendhis Arimbi Photo Verified Writer Gendhis Arimbi

Storyteller

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Febrianti Diah Kusumaningrum

Berita Terkini Lainnya