[CERPEN] Percakapan: dengan Surabaya

Aku membencimu, tapi sekarang mudah rindu

"Kamu tahu, sejak awal aku gak suka sama kamu. Dan sampai kapan pun—kalau kamu gak berubah—aku tetap gak akan jatuh cinta!" Aku membanting pintu, mengunci, lalu melangkah dengan derap keras meninggalkan kamar.

Marah. Rasanya sejak bersamanya aku jadi sering marah, apalagi di pertengahan tahun seperti ini. Ia sungguh menyebalkan! Kupikir, dari semua kota yang pernah kusinggahi, cuma di sini aku bisa meluapkan amarahku sebegitu hebatnya. Dan ini karena dia. Ya, cuma karena dia.

Dua tahun lalu, aku ke sini, lantas bertemu dengannya. Ya, ia cukup tampan, kaya raya, menawan, memesona, dan wangi. Tak usah heran kalau ia cukup tersohor di negeri ini. Jadi sosok terfavorit juga, khususnya buat kalangan berduit. Sayangnya, aku tidak seperti orang-orang. Aku tidak menyukainya, bahkan sampai detik ini.

"Aku akan berbenah," katanya padaku suatu hari ketika aku marah-marah karena cuaca panas yang tak terperi. Hari itu, matahari rasanya cuma berjarak sejengkal saja dengan kepala. Panasnya sungguh mencubit kulit!

"Berbenah gimana?" tanyaku.

"Iya, aku akan berusaha membuatmu tenang bersamaku. Biar gak marah-marah terus seperti ini," ujarnya. Aku menyilangkan tangan di depan dada.

"Mau ngapain?" Tanyaku lagi. Masih tak jelas dengan maksudnya "berbenah" itu.

"Ya, pokoknya tunggu aja. Nanti kamu pasti senang," ucapnya, lalu pergi.

Ha! Selalu... Selalu begitu, tidak pernah jelas omongannya. Selalu menggantung ucapannya. Dan kurasa, ucapannya itu selalu bohong. Ia tak pernah berbenah. Ia tak pernah berubah.

"Kalau kamu gak suka di sini, kenapa masih bertahan?"

"Cari kerjaan susah, Cuy!"

"Emang mau cari yang kayak gimana?"

"Kayak sekarang, tapi di tempat yang dingin."

"Aku ini sudah dibikin seperti ini. Panas, legam, dan keras. Jadi, kalau kamu minta aku berubah, rasanya mustahil. Kamu pikir lagi, dong!"

"Sudahlah. Aku mau tidur. Ah, jancuk! Panas banget ini malam-malam! Kamu gak bisa apa menyingkirkan mataharimu itu jauh-jauh kalau malam?"

"Dia udah pergi sejak pukul 5 sore. Lihat, langitnya aja sudah gelap."

"IYA, TAPI PANAS! Aku gak bisa tidur. Besok harus berangkat pagi."

"Ya, jangan marah-marah. Itu justru bikin kamu semakin merasa panas. Dasar bodoh!" Lantas kamu meninggalkanku dengan berlenggak-lenggok ceria. Tanpa kau sadar, aku masih menatap kepergianmu. Kulihat ada api besar yang membara menyelimuti tubuhmu. Pantas keras kepala!

Rasanya, seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan sosok yang begitu keras kepala, ingin menang sendiri. Barangkali memang lingkaran pertemananku semuanya baik, jadi aku tidak berjumpa dengan orang-orang seperti itu. Makanya, aku sungguh kaget ketika berjumpa dengannya. Ah, iya besok Senin. Harus datang pagi karena banyak meeting. Mau tidak mau aku harus bisa tidur malam ini!

**

Sebenarnya, aku tidak terlalu mengenalnya pada hari biasa: Senin sampai Jumat. Soalnya, aku lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan sehingga sangat jarang aku berinteraksi dengannya secara langsung. Terlebih, karena sudah tahu dia selalu panas, aku semakin enggan berjumpa.

"Paling tidak, sapa aku pagi hari," katanya ketika hari Senin sebelum aku berangkat ke kantor dengan wajah bersungut-sungut. Bagaimana tidak? Pukul 7 pagi suhunya sudah 30 derajat!

"Ademin dulu. Nanti, aku sapa." Aku menyalakan motor kemudian melajukannya menuju kantor. Ia melambaikan tangan padaku. Hati-hati di jalan, pengendara di sini suka ngawur kalau bawa kendaraan.

Aku lebih sering mengenalnya di akhir pekan. Soalnya, ya memang gak ada pilihan lain selain keluar kos mencari tempat adem. Makanya, aku bisa berinteraksi dengannya, dengan jalan raya, dengan orang-orangnya. Harus sabar emang.

Hari ini hari Sabtu. Namanya juga akhir pekan, tentu akan macet di mana-mana. Sebenarnya, aku sungguh enggan jalan-jalan di akhir pekan. Pasti akan lebih lama di jalan, belum lagi panasnya. Duh, itu yang selalu membuatku tak nyaman dengannya. Tapi, kalau aku tetap bertahan di dalam kos, hawa panas itu tetap terasa. Aku tidak akan pernah selamat dari kepribadian panasnya ini kalau tidak mencari tempat dingin.

Sepagian aku berpikir, demi bertahan hidup hari ini, aku harus mengungsi ke mana, ya? Sampai aku mencuci baju pukul 8 pagi pun aku masih belum mendapatkan solusi. Ah, coba main ke Masjid Al-Falah aja. Siapa tahu adem. Pikirku.

Sayangnya, ternyata aku salah. Meski ada AC dan kipas angin, Masjid Al-Falah masih terasa gerah.

"Lagi panas banget, ya, Mbak. Kalau udah begini, emang di mana-mana rasanya panas. Tadi, saya ke Mal Royal. Duh, itu isinya orang semua sampai AC malnya gak kerasa," kisah seorang ibu yang tadi minta izin duduk bersandar dinding di sebelahku. Aku menyimpulkan senyum. Iya, dia memang kurang ajar kalau panas!

Sampai magrib aku berada di Masjid Al-Falah. Mengisi waktu dengan scrolling Instagram, sesekali baca Al-Qur'an juga. Mumpung di masjid. Tapi, entah kenapa aku suka sekali berdiam diri di sini. Meski area salat untuk perempuannya tidak terlalu luas, sangat nyaman buat tidak ngapa-ngapain di sini. Toilet dan tempat wudunya cukup dekat, tidak seperti di Masjid Al-Akbar yang jaraknya lumayan jauh.

Saking seringnya aku ke sini, sampai-sampai bapak tukang parkirnya hafal denganku. Nah, karena sering ketemu pula aku juga sering berkeluh kesah tentang sifat si dia yang tak pernah ramah dan selalu bikin marah itu.

"Ya, namanya juga Surabaya, Dik. Emang kotanya panas, hahaha," ujarnya. Ia memanggilku dengan sebutan Dik, sebutan yang kerap digunakan untuk menyapa seorang perempuan muda di sini. Biasanya, yang mengucapkan itu laki-laki, sudah bapak-bapak.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Iya, Pak. Aku, tuh pengin pindah kosan yang pake AC, tapi murah," curhatku, lanjut.

"Lho, coba itu lho ke daerah belakang RS AL. Bendul Merisi iku lho, lak uakeh kos-kosan. Lha, Adik ngekos di Ketintang, kan juga buanyak itu kosan," sahutnya dengan logat Jawa medok, khas Surabaya.

"Gak sempat nyari, Pak. Hehehe...," kataku.

"Ealah, sibuk kerjo arek wedok siji iki. Nek adik ancene niat iku ya dicari, dik. Kayak jodho. Adik masih jomblo, to? Nah, jangan kerja kerja kerja teros. Kenalan itu lho sama anak laki. Ini di masjid ini buanyak lho, dik mas-mas yang jomblo juga, heheh..."

Duh, Pak. Mohon maaf, obrolan soal kosan AC kenapa jadi merembet ke jodoh, ya? Tapi memang kalau aku ngobrol dengan bapak parkir—yang tak pernah kutahu siapa namanya—itu beliau selalu ujung-ujungnya membahas soal pacar, suami, jodoh, dan sejenisnya. Padahal, orangtuaku di kampung halaman saja tak pernah memancing obrolan semacam ini.

"Ya, udah, Pak. Aku mau pulang dulu, udah malam. Assalamualaikum," aku beranjak dari dudukku.

"Ya, ya. Ati-ati, dik. Mbesok ke sini lagi, ndak? Ada pengajian lho besok pagi, siapa tahu ketemu jodoh."

"Haha, lihat besok deh, Pak. Monggo, Pak!" Aku berjalan menuju motor. Begitu duduk di atas jok, tiba-tiba aku gundah.

Masak pulang? Masih jam 8 ini.

"Yuk, muter-muter aja. Mumpung gak panas, nih! Ke mana kek, lihat lampu," tiba-tiba juga ia menyahut.

"Daripada ke kosan, bingung lagi mau ngapain. Lihat jalan aja, ke Tunjungan, tuh," katanya lagi. Hmm, baiklah. Lantas aku menyalakan mesin motor, meninggalkan Masjid Al-Falah, ke luar ke Jalan Darmo kemudian putar balik menuju Jalan Basuki Rahmat.

Sebenarnya... sebenarnya, aku tidak sebegitu benci kok dengannya. Sekeras kepala apa pun dirinya, sepanas apa pun mentalnya, seberisik apa pun suaranya, namun tetap ada hal yang membuatku kagum kepadanya. Dan hal itu cuma bisa aku temukan pada malam hari.

Bukan. Bukan dinginnya. Sama saja dia, mau malam atau siang tetap saja panas. Namun, kalau malam hari aku benar-benar bisa melihat pesonanya, terpana akan ketampanannya, dan takjub akan gemerlapnya. Kadang, kalau sedang suntuk di malam hari, aku akan keluar lalu berkeliling kota menggunakan motor matic-ku. Sendirian.

Aman kok kalau kamu keliling naik motor sendirian malam-malam. Asal gak di atas jam 11 aja. Katanya.

Memasuki Jalan Darmo, kamu akan mulai takjub. Tatanan jalannya begitu rapi. Gemerlap lampu warna-warni menambah ketampanannya setiap malam. Belum lagi pohon-pohon besar di balok pemisah lajur jalan raya. Sepupuku pernah sangat terpesona saat melihat pohon-pohon besar itu. Katanya, pohon seperti itu tidak ada di kota tempat tinggalnya.

Jalan lurus saja terus. Jalan Darmo—salah satu jalan terbesar miliknya ini punya trotoar yang besar dan bersih pula di kanan kiri. Sayangnya, tetap saja yang ramai jalan rayanya, bukan trotoar. Mungkin orang-orang sangat malas berjalan kaki karena, ya, kamu tahu sendiri dia kalau siang selalu bergandengan dengan matahari sehingga panasnya terasa amat menyiksa.

Di Jalan Darmo, ada sebuah taman yang jadi kebanggaannya dan kebanggaan orang-orangnya: Taman Bungkul. Kalau taman lainnya selalu sepi, taman satu ini justru ramai kapan pun, apalagi kalau malam minggu. Di sini, jadi salah satu tempat hangout favorit para keluarga. Tak jarang, aku menemui anak-anak kecil bersama kedua orangtuanya bermain di sini. Ada penjual minuman yang berkeliling menunjukkan kertas menu ke para pengunjung (karena di dalam taman tidak boleh jualan. Ada petugas kota yang lalu lalang di sana). Ada juga penjual mainan di pinggiran taman. Entah kenapa, setiap ke sini, kadang terbesit motivasi untuk berkeluarga dalam benakku. Tapi begitu pulang dan sampai kosan lagi, motivasi itu menguap bersama angin sepanjang perjalanan.

Lepas dari Jalan Darmo, kita akan masuk ke Jalan Basuki Rahmat. Ini jalan menuju Mal Tunjungan Plaza (TP)—mall kebanggaannya karena paling besar dan paling legendaris (tapi bukan yang paling tua, ya!). Jalan Basuki Rahmat ini dibikin bercabang. Yang satu ke arah utara menuju Jalan Embong Malang melewati gedung megahnya Mal TP, satu lagi bercabang ke Jalan Gubernur Suryo—jalur terbaik menuju ke Balai Kota Surabaya.

Di area ini, kelip lampu semakin berkilauan, semakin berwarna-warni. Makanya, aku senang. Aku merasa bahagia saat melihat lampu-lampu kota yang indah itu. Kamu sangat tampan kalau begini! Rasanya segala penat sirna seketika, apalagi saat jalanan sepi.

Aku paling senang melewati Jalan Tunjungan. Di kanan kiri jalanan ini, ada banyak sekali bangunan tua yang kini dipakai untuk gedung kantor. Ada salah satu tempat bersejarah di sini yaitu Hotel Majapahit—tempat para pemuda Surabaya menyobek kain biru bendera Belanda. Kamu ingat kan pelajaran sejarah yang satu itu? Hotel itu kini makin hits, semakin modern, tapi tetap mempertahankan model aslinya. Klasik!

Selain itu, trotoar di sepanjang Jalan Tunjungan pun tak kalah klasik. Semacam Jalan Braga yang ada di Bandung. Ada lampu-lampu kuning khas zaman dulu yang mempercantiknya. Sayangnya, aku belum pernah mencoba jalan kaki di sepanjang jalan ini. Soalnya bingung hendak parkir motor di mana.

Usai melewati Jalan Tunjungan, perjalanan malamku biasanya berakhir. Aku jarang berkelana sampai ke ujung utara ke daerah Kenjeran karena di sana cenderung sepi dan gelap. Begitu pula daerah Timur, agak creepy kalau malam-malam bermotor di sana. Namun, lepas dari Jalan Tunjungan hingga memasuki Jalan Wonokromo, aku sedih lagi. Rasanya, kemeriahan malam itu sirna seketika dan aku harus kembali ke realita.

Tapi, cukuplah untuk membuatku tidur tenang malam ini. Terima kasih, ya! ucapku padanya sebelum tidur.

**

Besok paginya, hari Minggu aku bangun dengan perasaan tenang. Tidak seperti biasanya pula, aku bangun dengan kondisi basah kuyup karena keringat. Padahal, itu pukul 6 pagi. Tapi, pagi ini sudah pukul 8 dan aku masih betah saja di atas kasur. Sejuk.

Aku beranjak, kemudian membuka jendela kamar. Oh, mendung rupanya. Pantas saja sejuk.

"Hai, selamat pagi," sapaku. Tak sadar pula ternyata aku tersenyum.

"Gimana? Apakah kamu kini jatuh cinta padaku?" Tanyanya. Aku mendengar nada-nada usil dari ucapannya barusan.

"Enggak. Sampai kapan pun kamu bukan yang terfavorit. Kayaknya, aku cuma bisa sampai tahun depan. Setelah itu, aku mau pulang. Aku lebih cinta dia, lebih kalem. Maaf, ya," kataku. Ia terdiam sebentar.

"Eh, tapi kamu udah kasih aku pengalaman yang seru, kok! Mungkin kalau enggak di sini, aku gak akan bisa melahirkan karya yang baik. Makasih, ya!" Aku berusaha menghiburnya. Semoga saja dia tidak merindukanku. Tapi mungkin aku yang akan merindukannya. Mungkin.***

Baca Juga: [CERPEN] Setelah Ayah Pergi

Gendhis Arimbi Photo Verified Writer Gendhis Arimbi

Storyteller

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya