[CERPEN] Satu Amplop untuk Satu Doa

Tidak ada yang gratis di dunia ini

Terik matahari sore menyilaukan setiap sudut mobil yang tengah berjalan di jalanan desa. Aspal hitam legam di bawahku langsung mengepulkan asap saat aku iseng menuangkan sedikit air mineral dari botol minum. Aku teringat akan gurun pasir yang gersang saat melihat segala sesuatu di atas aspal itu seolah-olah bergetar pelan.

Mudik kali ini terasa sedikit berbeda. Lebaran Idulfitri tidaklah lengkap tanpa kehadiran kakek tercinta yang baru saja meninggal sejak tiga bulan yang lalu. Bapak meminta kami ikhlas dan jangan mengungkit lagi tentang kematian kakek saat bertemu saudara nanti. Bagaimanapun juga, Ibu yang berhati lembut tidak mampu menahan air matanya. Beliau menangis sembari memandang kaca jendela mobil di sampingnya.

"Sudah, Bu, Bapak yakin kakek sudah ditempatkan di tempat yang lebih baik," ucap Bapak. Tangan kirinya ia sempatkan untuk mengusap pelan pundak ibu sambil tetap fokus menyetir.

Ibu hanya mengangguk. Ia mengusap air matanya sambil tersenyum parau. "Ibu cuma kangen, Pak. Teringat terus tentang almarhum."

Aku tau keluarga kecil kami masih dalam suasana berkabung. Kakek yang selalu dermawan dan baik hati tentu tidak mudah untuk kami lupakan. Aku kembali teringat kenangan indah bersama beliau saat umurku masih delapan tahun. Waktu itu aku merengek meminta sepasang sepatu roda berwarna merah muda karena temanku, Dinda, terus-menerus bermain sepatu roda di depan rumahku. Aku berusaha meluluhkan hati Bapak yang enggan membelikanku sepatu roda dengan alasan beliau ingin menjadikanku mandiri dan berusaha terlebih dahulu sebelum aku meminta seseuatu. Beliau berjanji akan membelikanku sepatu roda saat rapor akhir semester dibagikan. Itu pun jika aku masuk peringkat sepuluh besar. Aku yang tidak sabar akhirnya menceritakan masalahku pada kakek. Seminggu setelahnya, tepat di hari ulang tahunku, Kakek memberiku hadiah sepasang sepatu roda yang aku inginkan. Perasaan senang yang menggebu-gebu membuatku berlarian ke sana-kemari sambil bersorak gembira. Kenangan itu membuatku kembali menangis.

"Bu, Kakak juga kangen banget sama Kakek. Tapi, bagaimanapun juga, Kakek sudah gak ada dan Kakak harus ikhlas supaya Kakek gak sedih," ucapku.

Sisa perjalanan itu kami habiskan untuk mengenang kenangan masing-masing. Dalam hening kami terhubung oleh pikiran yang sama, yaitu merindukan Kakek yang penuh kasih.

Satu jam berlalu. Kami tiba di rumah Tante Ani di Karawang. Azan magrib berkumandang saat aku baru saja menurunkan kakiku dari mobil Xenia hitam. Langit sudah berwarna jingga pekat, suasana yang entah mengapa selalu membuatku merasa tak nyaman. Ada kegelisahan tersendiri saat aku memasuki waktu senja menjelang magrib. Hampa dan kekosongan yang aku rasakan seolah-olah tak ada lagi hal menarik dalam hidup ini.

Tante Ani dan saudara lainnya menyambut keluargaku dengan antusias. Mulutnya yang tidak bisa diam terus saja berceloteh tentang banyak hal. Membuat suasana terasa hangat dan menyenangkan. 

Bapak yang menghimbau untuk tidak membahas Almarhum Kakek demi menjaga suasana akhirnya menyerah juga. Pembahasan keluarga besar kami sudah jauh membahas ke sana. Bukan bermaksud untuk menggosip tentang almarhum, yang kami lakukan hanya mengenang dan memetik hikmah.

"Eh, Sri, tau gak waktu malam Jumat kemarin, ada kejadian serem banget gusti," ungkap Tante Ani.

"Aku kan baru keluar dari jamban, aku liat, eh, kok ada yang duduk di kursi. Perasaan lagi sendiri dah. Aku kaget banget pas dideketin mukanya mirip Almarhum Bapak! Aku langsung istigfar itu mah."

Ibu yang menyimak cerita itu langsung mengelus dada. Ia berulang kali mengucap istigfar.

Bude Elli terlihat tidak terlalu nyaman dengan pembahasan ini. Ia seringkali terlihat gelisah dalam duduknya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Kalian teh jangan menggosip terus, apalagi ngomongin yang sudah meninggal."

"Betul tuh. Sekarang mah kita ikhlasin semuanya," ucap Bapak, "Besok kita ziarah ke makam Bapak ya, sekalian mendoakan," lanjutnya.

Hari besok pun tiba. Aku dan keluarga besar berkumpul di halaman rumah dengan pakaian yang didominasi warna hitam. Kami lalu berjalan ke makam yang letaknya tidak jauh dari rumah. Hanya menghabiskan waktu 15 menit saja untuk sampai ke lokasi.

Tante Ani membawa satu keranjang bunga dan satu kantong kecil di tangannya. Ia juga membawa gunting rumput dan satu botol air mineral berukuran besar.

"Sudah dibawa 'kan amplopnya?" tanya Bude Elli pada Tante Ani.

"Sudah Li. kok pada belum datang ya?" Tante Ani menelisik sekeliling makam. Entah siapa yang ia cari. Aku kira ziarah kali ini hanya dihadiri oleh keluarga kami saja.

"Tunggu saja, bentar lagi juga datang," kata Bude Elli.

Tidak lama setelah itu sekitar sepuluh orang pemuda berpakaian baju takwa dan kopeah hitam datang dan bergabung dengan keluarga kami. Entah siapa mereka ini, yang jelas mereka ikut mendoakan almarhum Kakek. Bapakku yang memimpin doa segera diaminkan oleh semua peziarah, termasuk sepuluh pemuda asing tersebut.

Aku berasumsi kalau pemuda-pemuda asing itu adalah orang orang yang dekat dengan Kakek. Aku merasa tersentuh dengan kehadiran mereka. Hal itu membuatku yakin kalau Kakek memang orang yang hebat dan penuh kasih sehingga banyak orang di sekelilingnya yang merasa kehilangan.

Selepas doa, Tante Ani memanggil kesepuluh pemuda tersebut. Ia meminta mereka berbaris dengan tertib. Tante Ani lalu mengeluarkan tumpukan amplop yang ia keluarkan dari kantong kecilnya. Ia memberikan satu buah amplop pada setiap pemuda tersebut. Ia lalu menyalaminya satu per satu.

"Nanti datang lagi ya kalau aku ziarah. Ajakin yang lain buat berdoa bersama. Makin banyak makin bagus, ntar aku siapin amplop lagi. Isi amplopnya lumayan loh, ada duitnya," ucap Tante Ani.

Baca Juga: [CERPEN] Peristiwa Jumat Malam

Gina Nabila Photo Writer Gina Nabila

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya