[CERPEN] Pukul 4 Pagi, pada Sepertiga Malam

Masihkah mereka manusia ?

           Pukul 4 pagi setelah percakapan semalam, Rudi masih setia duduk manis dengan secangkir kopi yang tak lagi berisi air. Matanya hampa dan bibirnya komat-kamit mengatai dirinya sendiri. Setiap hisapan kretek yang berada di tangannya, bibirnya kembali berkomat-kamit, bukan kepada orang lain tetapi kepada dirinya sendiri. Rudi tak lagi punya rupa seperti manusia biasa. Kemeja yang ia kenakan tak lagi seperti origami yang baru saja dibeli dari toko pinggiran jalan. Rambutnya seperti sapu lidi yang telah brodol pada setiap sisinya. Wajahnya mulai keropos dimakan oleh mulutnya sendiri. Mulutnya hitam dan punya hiasan tembakau disela-sela giginya.

Sekali lagi bukan karena penyakit susah tidur yang punya nama insomnia, juga rumahnya yang habis kemalingan, tetapi karena percakapan semalam.

           “Begini Pak Rudi.....” Orang tua berumur setengah abad itu memulai percakapan.

           “Saya tahu bapak akan suka dengan proyek ini, karena proyek ini akan menghasilkan keuntungan yang besar. Di lain itu, proyek ini akan membantu bapak dalam kenaikan jabatan di perusahan kita.” Sambung orang tua itu yang kemudian diketahui bernama Agus.

           “ Saya masih kurang jelas mengenai maksud kedatangan pak Agus kemari, dan kenapa malam sekali datang ke rumah saya?” jawab Rudi dengan terheran-heran.

           Pak Agus menyuruh Rudi untuk mengunci pintu dan memulai berbicara dengan nada satu oktaf dibawah nada suara yang biasanya. Setiap selesai mengucapkan satu kalimat, mata Agus selalu melihat sekelilingnya dan kembali berbicara. Tak ada satu kata yang dilewatkan oleh Rudi dalam pandangannya, hanya batuk kecil yang mengistirahatkan pembicaraan itu. Tak butuh waktu lama untuk memahami pembicaraan yang pada akhrnya diketahui sebagai proyek manipulasi keuangan.

           “Sebenarnya saya hanya butuh tanda tangan bapak selaku penanggung jawab keuangan perusahaan. Kalau sekiranya bapak merasa terganggu dengan kedatangan saya, kita bisa bekerja cepat. Bapak tinggal tanda tangan surat ini. Mudah bukan ?” jawab Agus sembari meneguk kopi yang telah disediakan istri Rudi.

           “Maaf saya tidak bisa!” Tegas Rudi yang sebenarnya penuh kebimbangan.

           “Kami sangat butuh bantuan bapak dan saya tidak bisa menunggu dalam jangka waktu yang lama. Bapak masih bisa memikirkannya hingga esok hari. Surat ini akan saya tinggal disini mungkin bapak berubah pikiran.” Agus segera menyudahi pembicaraan.

           “Ini ada beberapa uang sebagai jaminan awal selagi bapak kembali memikirkan tawaran kami.” Sambil membuka tas dan mengeluarkan amplop coklat yang kemudian diletakannya di atas meja.

           Waktu kemudian melambat seiring kepergian orang tua setengah abad itu dari rumahnya, tubuhnya bongkok mungkin karena sedang ditunggangi iblis. Orang tua itu telah mengambil keramaian dalam rumahnya dan meninggalkan kesunyian sebagai ampasnya. Rudi duduk terpaku memandang secarik kertas dengan amplop coklat yang mendampinginya. Satu persatu kancing kemejanya ia lepas dan mulai menggulung lengan kemeja yang seperti menggulung nasibnya sendiri. Di atas meja tersebut harga dirinya mulai ditentukan, semua dosa terkumpul menjadi satu koloni, sampai-sampai meja tak kuat menahan beban hanya dengan satu kaki sehingga ia memanggil kaki lainnya untuk menahan sekoloni dosa itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

           Waktu berpihak pada angka 12 sebagai tempat pertemuan kedua lengan yang tak lagi punya panjang yang sama. Satu persatu makhluk multi rupa keluar dari perasingannya dan mulai hinggap di atas kepala manusia yang masih terbangun. Mencongkel mata-mata manusia dan mengganti dengan matanya sehingga tak sedikit yang mati setiap malamnya.

           Tanpa diketahui iblis itu telah ada di sebelah kanan Rudi. Duduk tepat dimana orang tua tadi bersinggah. Mereka mulai bercakap-cakap.

           “Rudi… Rudi.. Manusia bodoh, kenapa tak kau tanda tangani surat itu dan ambil uangmu. Mau jadi kere terus kamu?” Bisik iblis itu tepat di kuping Rudi.

           “Jika tak kau tanda tangani surat itu selamanya kau akan miskin 7 turunan. Dasar manusia bodoh, kau bisa saja menjadi tuan atas seluruh uang itu. Tapi jika tak kau ambil uang itu, kau akan miskin selamanya… selamanyaa…” Suara iblis itu menjadi kecil dan kemudian hilang bersamaan kedatangan istrinya yang dari tadi sudah memasang kuping saat Rudi mulai bercakap dengan Agus.

           “Mas bukannya ingin aku tolak rejeki itu, tapi aku merasa bahwa ini adalah hal yang tidak beres.” Siti membubarkan lamunan Rudi yang dari tadi diam memandangi surat itu.

           Sontak Rudi membubarkan lamunannya.

           “Tahu apa kau soal uang ini”, tegas Rudi.

           “Kau tak perlu ikut campur mengenai apa yang aku kerjakan. Tugasmu itu sebagai istri, hanya di rumah dan melayani suami,” sambung Rudi yang sebenarnya menciutkan hati kecilnya setelah mengatakan pada istrinya.

           “Tapi tidak bisa mas. Aku tidak setuju kalau mas melakukan pekerjaan yang diharamkan itu mas. Dosa mas, dosa besar.” Rudi dengan ringan memberikan kenang-kenangan pada pipi istrinya, merah dan merona.

           Tubuh Rudi lemah dan melempem, tinggal menunggu bau busuk keluar dari tubuhnya dan jiwanya lepas entah ke mana. Dinyalakannya kretek yang menurut penikmat tembakau adalah rokok terbaik. Satu hisapan dan semuanya berubah, tembakau mulai menjadi abu kemudian menjelma menjadi asap dan keluarlah segala keresahan pada hidupnya. Sekejap iblis itu kembali duduk pada kursi yang tak disediakan untuknya sambil memegang sebatang kretek di tangannya.

           Pukul 4 lewat sekian, kreteknya habis begitu pula kesabarannya. Ditinggalkannya ampas kretek dengan kesabarannya di meja penghakiman. Rudi bangkit dan pergi bersamaan dengan hilangnya iblis itu. Ia pergi dengan tangan hampa, kertas dan seamplop uang itu ditinggalkannya di atas meja. Tak ada yang berubah dari kertas putih itu, hanya saja ada noda berbentuk goresan tinta yang mengganjal. Entah siapa yang meninggalkan noda itu di atas kertas, noda yang berbentuk inisial nama Rudi. Tidak ada yang tahu siapa yang meninggalkan noda itu, Rudi atau iblis ? Yang aku tahu, Rudi pergi dengan iblis entah kemana.

Gregorio Surya Abdi J. Photo Writer Gregorio Surya Abdi J.

Lahir di Surabaya, 5 Maret 1997. Saat ini berdomisili di Jakarta dan menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi. Beberapa karya telah dimuat dalam media daring seperti nusantaranews.co dan beberapa festival sastra di Nusantara. Selain menulis cerita pendek, penulis juga menulis puisi, esai, dan skenario film pendek. Saat ini sedang merampungkan buku perdananya, kumpulan cerita pendek yang berjudul " Ibu Berlari, Anak Tertidur"

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya