[Cerpen] Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan

Serupa skripsi yang penuh perjuangan, begitu pun aku padamu

“Aku tak dapat membedakan cinta yang kauucap barusan benar fakta atau hanya opini belaka!” Rinata segera angkat suara diiringi tatapan tajam pada mata elang Teguh.

Teguh mengelus dada, tak percaya dengan jawaban Rinata. Sebab, selama ini ia merasa kedekatan keduanya mengartikan rasa cinta.

“Jika cinta yang kauucap barusan benar fakta, aku tunggu kau dihadapkan orangtua!”

Kali ini Teguh merasa jawaban Rinata benar-benar fakta artinya perempuan yang memiliki tubuh sedikit sintal dan paras bak bidadari itu tak lagi bercanda.

Ah.

Menemui orangtua Rinata!

Teguh sangat tahu, Rinata dari kalangan berada. Bapaknya seorang PNS golongan V A, sementara Ibunya adalah penguasaha catering yang terkenal di daerah tempat ia berpijak. Jika merujuk pada keadaan itu, tentu Teguh hanya seonggok pungguk yang merindukan bulan.

Tidak. Tidak mungkin. Batin Teguh lirih. Ia sadar diri, datang ke hadapan orangtua Rinata sama saja dengan bunuh diri. Apalagi selama berteman dengan Rinata orangtuanya tak begitu setuju dengan kedekatan mereka.

Mendadak migrain Teguh kumat, di saat seperti itu Rinata pergi meninggalkan lelaki itu sendiri. Tubuh Teguh serasa ditikam pisau, sedemkian dalam, hingga ia tak sanggup melangkah. Di kepalanya, seperti ada bintang-bintang yang berkeliling, serupa ketika Tom berhasil dipukul Jerry pada film animasi kesukaannya.

Ah! Aduh!

Seru sekali Teguh mengaduh di batinnya. Tapi, keadaan yang sedemikian sakit itu tak membuat banyak orang di sekelilingnya tahu.

Dan, sepersekian waktu. Teguh berhasil menguasai tubuhnya kembali. Lampu taman tampak terang, sementara hati Teguh tidak. Beberapa remaja berpasangan bemesraan di taman itu, tapi Teguh tidak. Bahkan ada beberapa remaja yang double date atau bahkan triple date, Teguh hanya merasa sendiri di tempat yang sedemikian ramai. 

Ia menyelia ke sekeliling. Hingga akhirnya berusaha pergi dari taman yang menjemukan itu!

*

Di kamar kost pada pukul delapan malam lewat empat puluh lima menit.

Teguh telah tiba dengan selamat. Pemuda yang berasal dari sebuah desa yang tak dikenal di peta itu berusaha memncingkan mata setibanya di kamar tidurnya yang tak lagi empuk.

Tapi, sungguh batinnya terus bergolak. Seperti tak percaya jika ia ditolak oleh bunga yang selama ini diidam-idamkannya.

Belum sempat memperbaiki perasaannya, Arif, teman kost Teguh sekaligus teman seperjuangan di bangku kuliah mendatangi kamar lelaki itu.

“Guh, kamu sudah nyatakan cinta belum ke Rinata?” tanya Arif langsung menodong.

Teguh tak menjawab. Bibirnya yang hitam itu tak memiliki jawaban.

“Soalnya dengar-dengar Rinata sudah ada yang melamar?”

Penjelasan Arif ini membuat Teguh serupa kena kilat. Ia benar-benar tak percaya. Pantas saja, Rinata sedemikian dingin padanya. Tak lain dan tak bukan karena masalah orang yang melamar itu. Sebagai gadis yang memiliki paras seperti bidadari, tentu pasti banyak jejaka yang ingin melamar Rinata.

Begitu pun Teguh. Rinata juga sudah memberi pertanda jika cinta yang ia ucapkan di taman kampus yang basah itu benar fakta. Harusnya lelaki itu siap menemui orangtua Rinata.

Mengingat itu semua, Teguh hanya punya satu jalan: melamar Rinata juga.

“Maaf hanya memberikan saran, seharusnya kamu mengerjakan skripsinya terlebih dahulu. Setelah itu, mungkin orangtua Rinata bisa mengerti,” putus Arif, lalu meninggalkan Teguh sendiri di kamar.

Kedatangan Arif yang tiba-tiba ke kamar Teguh tak membuat banyak keadaan berubah. Lelaki itu menurut Teguh tak cocok sekali menggunakan nama Arif, sikapnya sama sekali tak bijaksana dan sok menasehati. Padahal, seharusnya sebagai kawan terdekat. Ia harusnya memberi solusi, bukan nasihat!

Tapi, Teguh berpikir bahwa nasihat Arif itu ada benarnya. Skripsinya harus selesai. Dan, setelah itu Teguh langsung tenang. Ia pun mengirim SMS kepada Rinata untuk mengajak ketemu di taman kampus esok sore.

*

Lelaki bertubuh tegap dengan warna tubuh sedikit pekat itu mengantri di antara tumpukan mahasiswa yang sedang menunggu giliran bimbingan.

Guna membunuh waktu, Teguh berkali-kali membaca e-boook kumpulan cerpen yang ia punya. Lelaki itu terkadang senyam-senyum sendiri membaca kisah patah hati, sekalipun terkadang ia menitikan mata jika kisah antar tokoh tak sesuai dengan harapannya.

Roman picisan itu benar-benar menyeruak dalam pikirannya, seolah-olah ia sendiri yang menjadi peran utama. Dan memang benar, kondisi Teguh saat ini telah masuk dalam drama picisan antara si miskin dan si kaya bak cerita di layat kaca.

“Mas Teguh!” panggil dosen pembimbingnya.

Berbarengan dengan itu, Arif telah menyelesaikan proses bimbingan. Diam-diam Teguh kagum pada teman satu kost itu yang sebentar lagi akan segera menjalani ujian skripsi. Sementara ia, seminar proposal saja masih belum.

Makanya ia akan segera menyelesaikannya. Setelah itu akan membawa sejumlah bekal yang cukup untuk menghadap ke orangtua Rinata.

“Kok lama sekali nggak bimbingan?” tanya dosen pembimbingnya yang tak pernah meninggalkan sapaan “Mas” padanya.

Teguh tersenyum, sebab dengan senyum ia merasa dosen pemilik wajah teduh itu tak akan bertanya macam-macam lagi.

Dan benar saja. Ia pun bisa mendapat bimbingan, sedikit arahan, dan beberapa masukan yang harus segera diselesaikan demi proses skripsinya.

“Skripsi itu penuh perjuangan, Mas. Semuanya harus disiapkan pikiran, mental, energi, dan uang. Saya tidak mau jika Mas kurang semangat bimbingan,” ucap dosen pembimbing yang seusia ibunya itu.

Teguh tersenyum sekali lagi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Perhatian dosen itu sungguh-sungguh membuatnya semangat untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.

Proses bimbingan bekisar tiga puluh menit itu telah usai. Teguh menggambil ponsel yang ia taruh dimeja dosen pembimbing. Darisana ia bisa memutar suara sang dosen guna mempermudah proses merevisi tugas akhir itu. lewat ponsel pula, Teguh mengetahui bahwa kini sudah masuk jam tiga sore.

Maka buru-buru ia segera minta diri, diciuminya telapak tangan sang dosen, lalu berucap salam. Semua ia kerjakan sedemikian cepat. Seolah-olah Teguh sedang dikejar sesuatu.

Di taman yang penuh dengan aneka bunga, ada bunga yang menunggu Teguh. Tak lain dan tak bukan. Adalah Rinata, bunga yang akhir-akhir ini melambungkan dirinya seakan ke puncak asmara.

“Ada apa?” tanya Rinata langsuung.

Teguh sedikit menorehkan senyum di bibirnya yang hitam akibat ia sering menjadi ahli hisap tembakau.

“Kamu masih merokok?”

Lagi-lagi Teguh tersenyum, ternyata Rinata sedemikian perhatian padanya.

Teguh tak langsung menjawab dua pertanyaan itu. Ia memilih duduk di bangku taman dekat dengan Rinata.

Teguh merasa beruntung jika kelak ia bersanding dengan perempuan yang memiliki harum serupa melati, dan paras bak mawar, namun hatinya tak berduri tajam.  Lelaki itu memang bukan wangsa, tapi sungguh cintanya bisa mengalahkan pangeran manapun di dunia.

“Kamu dijodohkan?” tanya Teguh.

Kini giliran Rinata jadi kikuk, mungkin perempuan itu merasakan aura keterkejutan yang luar biasa. Pasti di batinnya berkata, “Dari mana Teguh tahu?”

“Jawab.”

Perempuan itu tak menjawab, tak ada senyuman di sana, tak ada ekspresi kegemberiaan atau kesedihan. Teguh mengartikan sikap itu karena ... ah, lelaki itu tak melanjutkan.

“Aku tak dijodohkan, hanya saja ada beberapa yang melamar.”

Beberapa? Seberapa banyak? Mendadak Teguh merasakan jika bendera perang siap dikibarkan. Pasti di antara beberapa orang yang melamar ada yang jauh lebih dari segalanya. Mengetahui itu Teguh berusaha ingin mundur dari pertarungan yang sudah jelas-jelas tak mungkin dimenangkannya.

“Kamu bisa saja menjadi salah satu petarung, tapi tolong buat orangtuaku percaya!”

Akhirnya kalimat yang ditunggu Teguh datang juga. Lelaki berbadan gelap dengan rambut sedikit kriwil itu mendapat transfer rasa percaya diri.

Rinata melanjutkan penjelasan, orangtuanya bisa percaya asalkan mereka melihat lelaki yang melamar Rinata itu sudah memiliki kejelasan baik dari segi pendapatan ataupun lainnya. sebab, kedua orangtuanya tak ingin. Anak bungsunya itu hidup susah.

Bukan karena orangtuanya materialistik, tapi mutlak hal itu dibutuhkan agar orangtuanya menjadi sedikit lebih tenang, nanti melepas anak bungsu itu.

Soal beberapa lamaran itu, Rinata menceritakan semua ditolaknya. Mulai dari anggota dewan yang masih muda, PNS yang baru diangkat, bahkan mahasiswa S3 yang kuliah di Jepang. Orangtuanya memberikan hak mutlak pada perempuan itu.

Dan, mereka hanya menunggu. Jika Teguh memiliki cinta yang berdasar fakta, tentu bisa berani melamar.

“Aku boleh minta syarat?” ujar Teguh. “Tunggu aku selesai skripsi. Selepas itu aku akan melamarmu!”

Rinata tersenyum senang, tapi senyum yang mengembang di dada Teguh jauh lebih besar.

Maka mulai hari itu pula Teguh semakin bersemangat mengerjakan skripsi. Ia bahkan bimbingan tiap hari selama seminggu. Hari ini mendapatkan revisian, besok ia menghadap lagi, begitu seterusnya. Hingga ia berhasil seminar. Tepat seminggu sebelum Arif wisuda.

Wisuda Arif juga membuat ia mengenal orangtua Rinata, sebab Arif dan Rinata memiliki periode yang sama. Tak disangka ternyata, orangtua Rinata itu memiliki tipikal yang baik. Bahkan dengan Teguh sendiri, ayah Rinata langsung memeluknya.

Teguh merasa seolah-olah ia sudah masuk dalam keluarga Rinata.

Maka, terhitung sejak wisuda Arif, sebulan kemudian Teguh langsung ujian sidang. Dilahaplah semua pertanyaan dosen yang sudah ia kira sebelumnya. Tak sampai dua jam, sidang mempertahankan hasil penelitiannya itu selesai. Kedua dosen pembimbing dan dua dosen penguji memberinya ucapan selamat.

Setelah itu, ia keluar dari ruang ujian. Tapi, tak ada Rinata di sana. Hanya ada beberapa teman seperjuangannya yang memberinya ucapan selamat sekaligus hadiah seperti boneka, parfum, buket bunga, dan lain-lain.

“Di mana Rinata?” tanyanya pada Arif.

Yang ditanya menggelengkan kepala.

Maka demi bertemu dengan sosok terkasih itu, Teguh segera ke parkiran menuju rumah Rinata yang tak jauh dari kost-an. Sepanjang perjalanan ia berucap, “Seperti skripsi, kamu patut kuperjuangkan!” Kalimat itu serupa mantra yang membuatnya semangat menyelesaikan tugas akhir yang menjemukan itu.

Perjalanan antar kampus dan rumah Rinata yagn berjarak lima belas menit itu membuat Teguh selalu menghias wajah perempuannya yang cantik itu di dalam kepala.

Pun, sesampainya di rumah kekasih tercinta, ia hanya bisa tertunduk lemas.

Di sana ada karangan bunga yang indah, tapi bukan untuk menyambutnya karena telah usai mengikuti ujian. Melainkan bunga ucapan selamat menempuh hidup baru Rinata dan Arif.

Teguh mersakan gempa berpuluh-puluh skala Richter. Bagaimana mungkin sahabatnya menikahi pacaranya itu?

“Kisah cinta mereka tidak diduga ya. Orangtua Non Rinata ketemu keluarga Den Arif di wisuda. Eh, ternyata mereka berdua pernah menjodohkan anaknya. Dan, benar terjadi!” seorang ibu bercerita sambil membawa karangan bunga.

Badan Teguh mendadak menggigil. Ia merasa apa yang diperjuangkan untuk Rinata tak ada guna. Skripsi sudah ia perjuangankan, tapi Rinata tak lagi ada dalam genggaman.

Jember, 15 Februari 2017 13:52

 

Gusti Trisno Photo Writer Gusti Trisno

Gusti Trisno selalu merayakan ulang tahun setiap tanggal 26 Desember. Setelah menyelesaikan kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember, ia menjadi guru di Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo Jember. Bukunya yang telah terbit: Ajari Aku, Bu (Kumpulan Puisi) dan Museum Ibu (Kumpulan Cerpen).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya