Sore Kala Itu

#14HariBercerita Kalau sudah tiada, baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berharga - Rhoma Irama

Saat itu hari terlihat gelap, hujan bisa jadi akan datang atau tidak karena meskipun terlihat gelap, situasi seperti ini susah untuk ditebak. Aku benci dengan keadaan yang tidak pasti seperti itu, sebagian orang akan berasumsi bahwa gelapnya langit menandakan malam segera menjemput, sedangkan sebagian orang lagi akan berasumsi bahwa langit saat itu gelap dikarenakan hujan yang akan turun sebab angin yang sejak tadi berembus kencang yang tidak seperti biasanya. Aku setuju dengan asumsi yang pertama, bahwa sore hari ini akan kupastikan hujan itu tidak turun. Karena, biarpun sebagian orang berpikir bahwa hujan membawa memori-memori indah dari masa lampau, aku  tetap tidak menyukai hujan. Sungguh.

Yah, pokoknya aku akan pastikan bahwa sore hari ini tidak akan hujan.

Aku berdiri di depan pintu besar salah satu paviliun rumah sakit seraya merapatkan jaket yang kukenakan, sedang menunggu beberapa teman yang sudah berjanji denganku. Aku menantikan mereka dengan harap-harap cemas, waktu sudah semakin sore dan aku takut sekali bahwa kami tidak akan dipersilakan menjenguk karena waktu besuk yang telah habis. Aku memang sudah kacau saat itu, masalah datang silih berganti dan aku harus menghadapi sesuatu yang sebenarnya ingin sekali kuhindari. Aku tidak pernah berkeinginan untuk menjenguk seseorang di rumah sakit. Maksudku, ayolah, siapa yang ingin orang terkasihnya berada di rumah sakit?

Aku menempatkan pandanganku ke sekeliling untuk sekian kalinya dan akhirnya aku melihat mereka, salah satunya bernama Saras. Dua orang temanku berjalan beriringan menghampiriku. Setiap anak tangga yang kupijak, aku sudah memantapkan hatiku agar aku dapat menahan segala sesuatu yang menyesakkan dadaku. Aku tahu aku ini orang yang naif, tapi toh aku tetap saja bertekad demikian. Jangan menangis, jangan menangis, jangan menangis.

Saat pikiran serta hatiku sudah kacau, aku tetap harus menenangkan Saras yang memiliki trauma untuk menginjak lantai paviliun rumah sakit ini, berusaha memberitahukannya bahwa semua akan baik-baik saja. Tentu aku berbohong karena aku sendiripun tidak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun apa lagi yang harus aku katakan untuk menenangkan dia sementara pikiran serta hatiku sudah kacau? Berbohong memang pilihan yang tepat meski aku tahu tak sedikitpun terpikirkan olehnya untuk percaya omongan dariku.

Akhirnya kami memasuki ruangan itu juga. Ini pertama kalinya aku memasuki ICU rumah sakit dan rasanya ngilu. Benar-benar ngilu. Aku meringis melihat keluarga yang terlihat masih memiliki sedikit harapan meskipun sebenarnya tempat inilah tempat di mana pasien mendekati masa-masa akhir dalam hidupnya.

Aku bergegas ke kamar paling ujung. Ruangan ini memuakkan, sungguh. Aku melihat Yulia, aku melihatnya terlelap dengan menghadap ke kanan. Selang-selang itu banyak sekali yang menempel di tubuhnya. Kami masuk ke ruangan dengan perasaan yang campur aduk. Aku pribadi selalu mengingatkan diriku untuk tidak mengeluarkan air mata, bahkan untuk satu tetes. Hal itu bahkan sudah seperti mantra yang selalu kuulang beberapa kali di dalam kepalaku. Jangan menangis, jangan menangis, jangan menangis.

Saras, aku kesakitan.

Saras langsung mendekatinya, berdiri di samping kanan tempat tidur tepat di depan wajahnya. Sementara aku berdiri di samping kiri Saras. Dia tertidur. Saras bahkan sudah tidak dapat menahan air mata sembari dia mengelus-elus kepala Yulia hingga akhirnya dia terbangun dari tidurnya. Aku bersyukur mengetahui bahwa dia dapat membuka matanya saat itu, masih mampu melihat bahwa dari sekian banyak manusia yang dia kenal, kami membuktikan keeksistensian kami.

"Saras aku kesakitan"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Untuk sepersekian detik aku ingin tersenyum dan menanyakan kabarnya, namun aku mengurungkan niat saat mendengar dia berucap seperti itu. Sungguh, aku tidak dapat menahan air yang dengan seenaknya turun dari mataku, tidak peduli seberapa keras pikiranku berteriak untuk tidak menangis. JANGAN MENANGIS, JANGAN MENANGIS, JANGAN MENANGIS!!!

Yulia meringis. Aku dan Saras tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis. Ini merupakan hal paling bodoh yang pernah kulakukan, aku --JANGAN-- tidak seharusnya menangis --MENANGIS!-- sekarang. Aku tidak --JANGAN-- seharusnya menangis. Namun, --MENANGIS!-- seperti yang kubilang --JANGAN-- tadi, aku sangat --MENANGIS!-- naif sekali.

Yulia mulai berteriak, tidak kuat menahan sakitnya hingga akhirnya salah satu suster memasuki kamar dengan senyum di bibirnya. Aku tidak tahu bagaimana para suster yang bekerja di bagian ICU masih dapat mengeluarkan senyum terbaik mereka. Mungkin jika aku yang berada di posisi mereka, --yang setiap saat melihat satu per satu pasien yang mereka rawat berminggu-minggu akhirnya pergi untuk selama-lamanya-- aku akan selalu menangis.

Aku benar-benar kacau saat itu. Aku bahkan tidak dapat mengucap satu katapun untuk Yulia, aku hanya tidak ingin aku mengeluarkan semua emosi negatifku jika aku benar-benar berusaha untuk berbicara kepadanya. Pikiranku malah berkelana menuju waktu di mana kami semua tertawa bahagia, bagaimana kami menghabiskan waktu saat SMA, di taman yang sering kami kunjungi hanya untuk sekadar bermain ayunan hingga ngobrol yang biasanya tidak kenal waktu, di toko buku yang merupakan salah satu tempat favorit kami, dan bahkan di kantin kampus kami saat Yulia masih menempuh kuliahnya di sana.

Yulia merupakan teman baikku sejak SMA, bahkan kami mendaftar di satu universitas dengan jurusan yang sama pula, namun Yulia tidak pernah menyelesaikan satu semesterpun karena keputusannya untuk mengikuti tes IPDN. Kami sungguh memiliki waktu yang benar-benar menyenangkan. Namun, belum genap satu tahun dia berada di IPDN, Yulia mengalami sakit hebat. Tidak, sakit ini bukan merupakan sakit yang ‘dihasilkan’ oleh senioritas. Hanya saja, imunitas tubuh Yulia akhirnya menurun setelah sebelumnya dia baik-baik saja saat masa orientasi bersama anggota Akmil dan Akpol.

Entahlah, mungkin waktu dan mister nasib sedang bermain-main dengan kami.

Suster keluar dan Yulia sudah tidak mengeluh kesakitan lagi. Aku lagi-lagi hanya diam dan menyeka setiap tetes airmataku yang akan turun. Sementara Saras sudah mulai menyuapi Yulia buah pepaya, sesuai keinginannya. Kunjungan kami tidak lama, mengingat kondisi Yulia yang belum stabil.

Kami keluar ruang ICU dan mendapati bahwa di luar sana sedang hujan. Sial, mister nasib memang sedang mempermainkanku.

Aku salah.

Hujan itu turun. Bukan hanya sekadar terlihat jatuh membasahi bumi, namun juga sebagai representasi kesedihanku kala itu. Tapi toh setidaknya aku mensyukuri segalanya, bahwa saat itu aku beruntung masih melihat Yulia membuka matanya. Aku tidak pernah bosan untuk berkata bahwa aku merindukan saat-saat di mana Yulia masih sehat dan kami bercengkerama bersama. Andai saja waktu memberikan kami kesempatan lebih.

 

Habibah Abdaliah Photo Verified Writer Habibah Abdaliah

Nyctophile

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya