[CERPEN] Anggaru

Tak ada yang lebih setia dari seekor anjing #IDNTimesFiction

Di dunia ini, tidak ada yang lebih setia daripada seekor anjing. Sudah menjadi kodratnya untuk selalu mendampingi majikannya hingga akhir hayatnya. Bahkan, jika level kesetiaannya sudah tinggi, hewan itu bisa saja mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi majikannya. Aku berani mengatakannya karena hal itu sudah terjadi kepada “sahabatku” juga. Anggaru, namanya. Menyedihkan memang. Namun, aku yakin. Suatu saat, aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.

Hari ini, awan sedang menangisi kesendiriannya di langit senja kota Jakarta. Sebagai seseorang yang lupa membawa payung, aku merasa beruntung karena sudah sampai di rumah sebelum rintik-rintik air matanya membasahi pakaianku. Jadi, aku tidak perlu terjebak di kantor dan bisa cepat-cepat bertemu Anggaru. Ditambah lagi, aku sedang membawa teman baru untuknya.

“Anggaru, aku pulang! Ke sini, deh, aku bawa teman baru, lho!” seruku. Tetapi tak ada sahutan. 

Berpikir kalau Anggaru masih tidur di kamar, kuturunkan kandang besar, yang kubawa selama perjalanan, ke lantai. Setelah kubuka pintu kandangnya, seekor anjing ras Pomeranian muncul. Mata hitamnya yang kecil itu lalu diarahkan kepadaku, seolah bertanya, “apakah ini rumah baruku?” 

Dengan memberi senyuman sehangat mungkin, aku berkata, “iya. Selamat datang di rumah barumu, Hani.”

Anjing kecil nan lucu itu pun berlari menjelajahi tempat tinggal barunya dengan lidah yang terjulur ke luar. Aku tertawa kecil melihatnya.

Sungguh anjing yang periang. Semoga saja Anggaru tidak merasa kesepian lagi.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Pertanda sudah waktunya untuk menyiapkan makan malam. Namun, saat aku beranjak menuju dapur, Hani tiba-tiba menggonggong. Dengan langkah cepat aku menuju asal suara Hani yang ternyata berada di kamarku. 

Mataku seketika membelalak. Di sana, aku menemukan Anggaru yang sudah terkapar tidak sadarkan diri di lantai kamarku. Butiran-butiran pil obat yang biasa kukonsumsi juga berserakan di sekitarnya. Hatiku mulai gelisah. 

“Anggaru!” teriakku.

Aku langsung berlutut di hadapannya. Jantungku semakin berdebar kencang. Berkali-kali dalam hati kumemohon kepada Tuhan agar Dia tidak mengambil Anggaru dariku. Setidaknya, tidak untuk yang kedua kalinya karena aku tidak tahan jika hidup sendirian lagi.

Setelah beberapa lama mengecek kondisi Anggaru apakah masih ada tanda-tanda kehidupan di dalam dirinya atau tidak, aku menghela napas. “Ah, syukurlah. Hanya tidur biasa rupanya,” ujarku yang disusul dengan suara tawa.

Cerita sedikit mengenai Anggaru, sebenarnya anjing kecil itu sudah punya majikan dan aku kenal siapa majikannya. Aku juga tahu kalau sebenarnya majikannya sendiri tidak suka dengan anjing. Ironis memang. Akan tetapi, dia terpaksa merawatnya karena istrinya sangat ingin memiliki hewan berbulu itu. Eh, lama-kelamaan, dia jadi suka dengan Anggaru, deh. Mengharukan sekali, bukan? 

Namun, aku sudah muak dengan cerita mengharukan. Aku butuh sesuatu yang lucu. Apalagi, aku dan dia juga memiliki sejarah yang lucu juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjahili dia. Kira-kira, bagaimana, ya, reaksinya setelah tahu kalau anjing kesayangannya itu diambil?

Di sisi lain, mungkin karena tindakanku tersebut juga yang membuat Anggaru selalu memberontak dan menyalak kepadaku selama empat hari ini. Ya, mau bagaimana lagi? Anggaru ini mirip, sih, dengan anjing peliharaanku sebelumnya dan aku tidak ingin kehilangannya lagi. Aku akan melakukan apa saja supaya bisa bersama dengannya lagi. Bahkan, jika harus mengorbankan tempat tidurku. Siapa tahu? Mungkin dengan kasih sayang seperti itu, Anggaru bisa lebih setia kepadaku daripada majikannya sebelumnya.

Singkat cerita, setelah membaringkan Anggaru di kasurku dan menyapu pil-pil putih yang berserakan di lantai, aku kembali melanjutkan acara memasakku di dapur. Sore ini, aku akan menyiapkan hidangan kesukaanku dan Anggaru, gulai daging sapi.

Akan tetapi, aku belum tahu apakah Hani suka dengan masakanku ini juga. Karena anjing kecil itu belum terlatih untuk menjawab panggilanku. Maka aroma gulai daging masakanku sajalah yang menariknya ke dapur. Setelah Hani datang dan mengendus-endus dengan hidung kecilnya itu, secuil daging yang kumasak pun dilahapnya sampai tak bersisa di tanganku. Syukurlah, berarti masakanku tidak sia-sia. 

Sayang sekali, tanpa hadirnya Anggaru, makan malam kali ini akan terasa membosankan. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Salahnya sendiri karena telah menggigitku. Agh, seharusnya aku tidak boleh begitu. Seharusnya aku bisa lebih sabar dan memberinya makan kemarin. Aku harap, Anggaru juga bisa belajar dari kesalahannya.

Beberapa menit telah berlalu. Sekawanan jangkrik mulai bernyanyi setelah aku menyelesaikan makanku. Di saat aku pergi mengecek kamarku, Anggaru masih belum siuman. Berharap jika saja dia terbangun, aku pun meletakkan sisa makanan tadi di atas nakas di samping kasur. 

Ah, melihatnya tidur bagai malaikat. Membuatku ingin tidur bersamanya semalaman. Namun, apa daya jika tubuhku belum mengizinkan. Kalau begitu, apakah ada acara yang bagus malam ini?

Di ruang tamu, aku melihat Hani sudah duduk di atas sofa seraya menggigit boneka tulang yang telah aku beli untuknya. Baguslah. Lagi pula, aku tidak suka nonton TV sendirian. 

Ketika aku menyalakan TV di ruang tamu, acara pertama yang aku lihat adalah sebuah film yang sangat menyentuh hatiku. Judulnya Hachiko. Film itu terinspirasi dari kisah nyata seekor anjing yang setia menunggu majikannya di stasiun. Aku sangat suka menontonnya. Tetapi, astaga! Film itu mulai mengembalikan ingatan itu lagi. 

Kepalaku tiba-tiba terasa berat. Aku harus mengambil obat penenangku. Namun, aku baru ingat kalau semua pilnya sudah tidak layak dikonsumsi lagi. Selagi aku menahan sakit, Hani mengitariku. Bingung apa yang harus dia lakukan terhadap majikannya yang tidak berdaya ini.

Aku mencoba mengontrol nafasku. Tarik nafas … buang nafas …. Berulang kali aku lakukan itu sampai kepalaku mulai dingin kembali. “Itu sudah berlalu. Itu sudah berlalu. Itu sudah … berlalu,” aku bergumam.

Ketika aku menutup mataku, tiba-tiba saja, aku sudah berada di suatu jalanyang tak terasa asing bagiku. Oh, jalan ini. Jalan di mana biasanya aku mengajak anjingku yang dulu setiap hari. Anggaru, kini dia berada di sampingku. Menatapku dengan mata cokelatnya yang bulat. Lidahnya menjulur keluar dan ekornya yang lebat bergerak-gerak tak karuan. Aku tersenyum. Tidak ada yang lebih kurindukan dibanding mimpi ini, ingatan ini.

Ah, karena ini adalah mimpi, aku baru sadar kalau tidak selamanya yang aku lihat adalah sesuatu yang indah. Hal yang buruk pasti juga bercampur aduk di sini karena di depanku sudah berdiri tiga sosok hitam tanpa wajah. Yang tertinggi di antara mereka mulai menunjuk-nunjukku. Dua sosok lainnya mulai melempariku dengan batu kerikil seraya bernyanyi-nyayi, “orang aneh, orang aneh.” 

Aku tidak mengerti. Kenapa harus mereka lagi? Kenapa harus mimpi ini yang aku lihat? Aku ingin bangun! Aku ingin bangun!

Dari sampingku, Anggaru seketika berlari menjauhiku. Dengan taringnya yang tajam, dia menggigit yang tertinggi dari tiga sosok hitam itu. Sebuah erangan kesakitan muncul dari mulut si sosok hitam tertinggi, sementara dua temannya kabur entah ke mana. Aku, sebagai orang terakhir yang menyaksikannya, hanya bisa terdiam. Aku tidak bisa bangkit. Kenapa aku tidak bisa bangkit?!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Di tengah-tengah itu, si sosok hitam tertinggi mulai mengangkat tangannya. Oh, tidak. “Anggaru, sudah!” Aku ingin berteriak begitu, tetapi tak ada suara yang keluar. Ketika tangan itu jatuh mengenai Anggaru, di saat itu pula mataku terbuka.

Cerah. Seisi ruang tamu, semuanya menjadi cerah akibat pantulan sinar matahari dari luar jendela. Televisi juga masih dalam kondisi menyala. Sudah berapa lama aku tertidur? Di samping itu, kenapa pintu depan terbuka?

Firasatku mulai tidak enak. “Ah, Anggaru! Hani!”

Dengan berjalan sempoyongan, aku berusaha berjalan menuju kamarku. Anggaru tidak ada di sana, tetapi makanan yang telah aku siapkan semalam untuknya sudah habis. Saat aku cek ke dapur, aku melihat Hani sedang tertidur di bawah kulkas. Untunglah, dia masih setia kepadaku.

Akan tetapi, di mana Anggaru? Dimana anjing yang sangat kusayangi itu berada? Lagi-lagi, kepalaku mulai terasa berat. “Agh, jangan sekarang!” keluhku. “Tarik nafas … buang.”

Brak! Drap! Drap!

Entah karena salah dengar atau hanya dari isi kepalaku, aku tiba-tiba mendengar suara derap langkah dari beberapa orang yang semakin keras menuju ke dapur. "Siapa, sih? Tidak tahu sopan santun, apa? Sembarangan masuk rumah orang tanpa izin," gerutuku dalam hati.   

Saat aku hendak mengecek, seorang pria berseragam menodongkan pistolnya yang mengilap ke arahku. “Jangan bergerak! Anda sudah tertangkap!” sergahnya.

“Ada apa ini?” tanyaku kepada orang-orang tidak memiliki sopan santun itu. 

“Anda ditangkap atas tuduhan menculik dan menganiaya anak di bawah umur.”

Aku mengernyit. “Anak kecil? Tapi aku tidak pernah menculik anak kecil!” bantahku.

Dari balik orang-orang berseragam itu, seorang lelaki berbadan kekar menghampiriku dan memukulku hingga aku jatuh tersungkur. “Bohong! Apa yang telah kau lakukan kepada anakku, orang aneh!?”

Aku membelalak. Suara itu, terdengar tidak asing, hanya lebih berat saja. Saat aku mendongak, mataku terbelalak. Sebuah senyuman seketika mengembang di wajahku. Tidak kusangka dia datang.

“Hei! Bisu, ya?! Jawab-”

“Pak! Tenang, Pak! Biar kami yang urus,“ seorang polisi menghalangi dia yang masih menarik kerah bajuku.

Aku tertawa kecil. “Hehe, Anggaru? Maksudmu, anakmu Anggaru?” tanyaku. “Dia, kan, anjing. Jadi, wajar, dong, kalau aku merawatnya seperti anjing-anjing pada umumnya.”

“Dasar sakit!”

Sebuah tonjokkan kembali mengenaiku. Sepertinya, jawabanku berhasil membuat dia kesal. Setelah itu, kerah bajuku ditarik lagi.

“Dengar, orang aneh! Dia itu manusia! Dan namanya Angga, bukan Anggaru!” bantah dia. 

“Sama saja,” gumamku.

“Kau benar-benar gila!” umpat dia. “Apa kau sadar? Gara-gara kau, Angga sampai kritis. Dia masuk rumah sakit, tahu! Tanggung jawab terhadap perbuatan bejatmu itu!”

Aku terdiam. Setelah aku mempelajari matanya yang tampak sedih itu, aku menyeringai. Kemudian, suara tawa menggelegar dari mulutku. “Hah! Haha! Tanggung jawab? Kau sendiri saja tidak mau tanggung jawab!”

Dia mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Aku membicarakan kejadian sepuluh tahun yang lalu. Apa kau ingat? Saat itu, kau membunuh anjing kesayanganku, Anggaru, di gang.”

Pengakuanku itu berhasil membuat dia bungkam. “Kenapa diam saja? Kasih tahu kepada para polisi di sana mengapa kau membunuhnya! Apa salahnya?! Padahal Anggaru hanya ingin melindungiku darimu dan teman-temanmu yang jahat itu. Jawab!”

Dia tidak membalas. Hanya diam membisu. Genggamannya yang mulai melemah itu lansung kukibaskan dari kerahku. “Pak polisi, silakan tangkap aku,” ujarku santai kepada para pria berseragam yang sedari tadi mengawasi dari belakang dia.

Tanpa basa-basi lagi seorang pria berseragam maju dan segera memasangkan borgol di kedua tanganku. “Kami tunggu pengakuan Anda di kantor polisi.”

Sebelum dibawa keluar, aku menyempatkan diri untuk memberi dia pesan terakhir. “Sekarang kau tahu, kan, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga dari dalam hidupmu?” 

Baca Juga: [CERPEN] Rasa Syukur

Karissa Ravinza Photo Writer Karissa Ravinza

Iseng-iseng menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya