[Cerpen] Caffeinated Love

Adrenalin, dopamin, kafein

Aku menggeram tertahan. Kesal dengan kopi yang kubuat dengan teknik AeroPress. Tidak sempurna. Belum.

“Mengapa susah-susah dengan teknik baru jika sudah menguasai cafetiere?” suara bariton Om Ichi mengalihkan perhatianku. Aku mendongak dan menatapnya tajam.

Lelaki tampan, lajang, kaya, pintar, dan berusia 35 tahun itu terkekeh. Sosok karismatik nan sempurna seperti tokoh lelaki di opera sabun itu, entah mengapa, mengesampingkan usaha propertinya dan memilih untuk bekerja di kafe yang kuurus ini.

“Uang tidak bisa membeli cinta, Cha,” jawab Om Ichi ketika kutanya alasan bekerja di sini.

“Tapi uang bisa membiayai buah cinta, Om,” celetuk Ricky, pelanggan tetap kami.

“Buah tak akan ada tanpa perkawinan, Ricky,” respon Om Ichi sembari tersenyum.

Dasar lelaki. Pembicaraannya seputar kawin, kopi, dan hal yang muluk-muluk.

Undangan pernikahan Ricky dengan Bella tiba di kafe pagi tadi. Disusul undangan ulang tahun pertama anak dari Bayu dan Cindy. Lalu ada undangan pesta pertunangan Putri dan Jo. Astaga! Banyak sekali uang yang harus keluar untuk membeli kado!

“Om, temenin aku ke acara-acara itu, dong,” pintaku pada lelaki yang terlalu tampan itu. “Besok aja, deh. Acara ulang tahun Dyandra, anaknya si Bayu.”

Om Ichi menggeleng dan tersenyum lebar. “Kamu mau jalan sama Om-om?”

“Ya, nggak mau, sih, sebenarnya.” Mauku sama pangeran berkuda putih, Om.

“Om juga sama. Nggak mau jalan sama anak ingusan kayak kamu,” dia menjawab sembari menjentik dahiku.

“Ada kencan, kan? Sama Tante Jeje?” aku menerka.

Melihat roman mukanya yang berubah masam, tebakanku benar. Lelaki ini akan bertemu dengan Tante Jennifer. Tante Jeje, panggilanku untuknya. Wanita yang belum genap 28 tahun sebenarnya. Seorang konsultan konstruksi yang selama dua tahun terakhir ini dikejar oleh Om Ichi. Pernyataan cinta yang selalu berakhir dengan air mata.

Di pojok ruang kafe aku duduk di atas sofa panjang, meluruskan kaki yang sudah lelah berdiri berjam-jam ini. Jemariku asyik pada dunia maya, telingaku tetap sigap pada dunia nyata di sekitarku.

Om Ichi dan Tante Jeje nampak duduk berdua dekat jendela. Atmosfer di antara keduanya terasa mencekat. Aku berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Nggak baik nguping,” kata Ricky yang kemudian duduk di dekatku. Secangkir Americano di tangannya.

“Calon pengantin malah kelayapan,” balasku. “Aku cuma curious sama perkembangan mereka berdua.”

Ricky menatapku sambil terkikik geli. Ada yang aneh dengan pernyataanku? Dasar, lelaki yang sebentar lagi melepas masa bujang.

Aku mengalihkan pandanganku kepada sepasang kekasih itu. Yah, tak tepat jika disebut sepasang kekasih. Mereka tak memiliki status. Hanya seorang lelaki yang terus mengejar wanita pujaannya.

Tangan keduanya bertaut di atas meja. Terlihat wajah enggan Tante Jeje, hanya punggung Om Ichi yang tampak dari sudut ini.

“Entah apa yang kurang,” terdengar sayup-sayup suara Tante Jeje. “Dirimu nampak kurang di mataku.”

“Aku punya segalanya,” respon Om Ichi.

“Tapi, semua hal yang kamu punya mungkin tak bisa memberiku kebebasan.”

Lalu hening.

“Kalau kebebasan yang Jeje mau, aku bisa mengusahakan itu.”

“Sungguh?” mata Tante Jeje nampak berbinar. Genggaman tangan itu, yang tadi renggang, nampak kembali erat.

Om Ichi mengangguk. “Kebebasan macam apa, Je?”

“Aku ingin terbebas darimu untuk sementara. Karena aku tak sanggup menanggung debaran aneh ini ketika bersamamu.”

Untuk pertama kalinya, aku melihat Om Ichi tersenyum sepenuh hati sepanjang hari itu.

“Saat jatuh cinta, kamu bisa merasakan adrenalin, dopamin, dan kafein berlari di seluruh saraf serta pembuluh darahmu.”

Baca Juga: [CERPEN] Kisah Secangkir Latte Art: Kau Mengalihkan Duniaku

icharizu Photo Writer icharizu

Pluviophile Logophile

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya