[CERPEN] Permainan Takdir

Akhirnya kita bertemu!

Musim panas akan segera berakhir tergantikan oleh musim hujan,tapi hatiku masih saja tertuju pada satu wanita yang sudah lama memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Tanpa terasa bulan terus berganti hingga sedikit lagi waktu akan mengantarkanku di penghujung tahun.

Sudah 2 tahun berlalu sejak perpisahanku dengan Rina, tapi tak ada yang berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Hatiku masih saja dipenuhi rindu untuk wanita gila yang sudah mematahkan hatiku hingga berkeping-keping.

Aku sudah berusaha untuk melupakannya, tapi kenangan itu tetap saja bersarang di kepalaku. Padahal aku sudah berusaha membuka hati untuk wanita lain. 

Aku mencoba mencari penggantinya, aku menjalani hubungan dengan Cheryl rekan bisnis kuliner yang awalnya kurintis bersama Rina. Putusnya hubungan kami tentu juga berdampak pada bisnis yang kami bangun, Rina enggan bekerja denganku lagi. Jangankan bekerja betegur sapa saja Rina menolakku mentah-mentah.

Perpisahanku dengan Rina bukan hanya membuatku kehilangan kekasih, tapi juga kehilangan rekan kerja yang hebat dan motivator yang terus memacuku untuk maju. 

Omsetku yang dulunya selalu mencapai target bahkan bisa melebihi, perlahan mulai menurun. Cheryl begitu berbeda dengan Rina, wanita berkulit putih itu terlalu menuntut banyak hal. Bahkan terus menerus memintaku untuk menikahinya.

Pusing memikirkan bisnis yang terus merosot dan keberadaan Cheryl yang merepotkan tentu  hanya membuatku semakin stress,jadi akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan wanita itu. 

Perpisahan itu membuatku lega, tapi tidak dengan bisnisku yang semakin kacau. Cheryl melampiaskan kemarahannya dengan mutuskan hubungan kerja sama kami.

Aku semakin jatuh terpuruk tanpa keberadaan Rina di sisiku. Hingga saat ini komunikasiku dengan Rina masih terputus, tapi dari kabar yang kudengar dari temannya Rina sudah memiliki kekasih baru. 

Rina menjalin hubungan dengan lelaki Indonesia, tapi sudah berkebangsaan Australia karena kekasihnya itu bekerja di sana. Sesekali terlihat Rina menyambangi negara tempat tinggal lelaki yang menggantikan posisiku itu. Yaa, aku masih sering mengintip media sosial Rina. Jangan tertawakan aku, hanya ini satu-satunya cara untukku melepaskan rindu untuknya. 

Sebaiknya aku harus meninggalkan semua pemikiran dan rindu ini, karena hari semakin sore. Aku harus menemui Papa di kantornya, kami harus membicarakan kelanjutan bisnisku yang sudah di ujung tanduk. 

Setibanya di kantor, aku melihat Papa dengan sepucuk undangan pernikahan di tangannya.

"Undangan dari siapa Pa?" tanyaku pada lelaki yang semakin hari terlihat sepuh itu. 

"Oh, ini undangan nikahanya anaknya om Roy," jawaban papa membuat jantungku serasa berhenti berdetak. 

"Rina akan menikah?" pertanyaam itu terlontar begitu saja. Hatiku masih menolak untuk menerima kenyataan, aku merasa tidak sanggup untuk melihat Rina bersanding dengan lelaki lain di atas pelaminan. 

"Kalau Papa bilang iya, apa kamu akan mengacaukan pernikahannya?" seloroh papa, yang tentu saja tidak lucu buatku saat ini. 

"Ya, gak mungkinlah. Hubunganku dengan Rina udah berakhir, Pa. dia berhak untuk bahagia," jawabku santai, padahal hatiku seperti tertusuk jarum saat mengatakannya. 

Papa tertawa mendengar jawabanku itu, mungkin dia tahu isi hatiku yang sebenarnya. 

"Abangnya Rina yang akan menikah Dion, bukan Rina," kata Papa menutup tawanya. 

Seperti ada beban yang terangkat dari hatiku mendengar apa yang Papa katakan itu. 

"Sepertinya Mama akan ke luar kota di hari itu, jadi kamu harus menemani Papa ke sana, " tutur papa sambil menepuk-nepuk pundakku. 

Tentu saja aku senang untuk pergi ke sana, karena akan sangat besar peluang untuk bertemu Rina. Tapi apakah Rina akan menyambut kedatanganku dengan tangan terbuka? Itu masih menjadi pertanyaan besar dalam benakku. Tapi biarlah, setidaknya aku bisa mencoba untuk mengajukan proposal perdamaian. Begitu lelah harus berpura-pura tidak saling mempedulikan seperti ini. 

***

Hari pernikahan itu pun tiba. Papa benar, Mama pergi ke Hongkong dan nasibku harus menjadi teman Papa ke pernikahan Rivan, abangnya Rina.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Begitu tiba sudah terdengar hingar bingar musik yang mengalun mengiringi pernikahan yang digelar di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Dari desas-desus yang terdengar hotel ini masih milik keluarga Rina. 

Di tengah keramaian akhirnya mataku terhenti untuk memandang wanita yang selama ini aku rindukan. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan gaun perpaduan silver dan pink. Rambutnya ditata rapi membuat leher jenjangnya terlihat. Dia tersenyum manis pada semua tamu yang disambutnya hangat. 

Tiba sudah giliran Papa yang ada di hadapannya, senyumnya tidak berubah. Papa memeluk dan menciumnya dengan kerinduan yang mungkin sama besar denganku. Kalian harus tau Papa adalah pendukung Rina garis keras, mereka sangat dekat. Mungkin karena Papa tidak punya anak perempuan dan Rina bisa membuat papa merasakannya. 

Tapi sayang senyum ramah wanita itu berubah ketika melihat keberadaanku dihadapannya. Ia membuang wajahnya berlawanan dan enggan berjabat tangan denganku. 

"Segitu besarkah kebencianmu padaku?" tentu saja itu hanya bisa kutanyakan di dalam hati. 

Aku hanya bisa pasrah meninggalkan Rina, kemudian berbaur dengan tamu lainnya. 

Aku mengirimkan pesan lewat whatsapp, "Maafin aku Rin, kalau kehadiranku buat kamu gak nyaman." 

Tapi pesan itu tak mendapatkan balasan apapun, walaupun aku bisa melihat dari tempatku dia sudah membacanya. 

"Wah, kamu terlihat lebih makmur sekarang," suara itu mengagetkanku dan keterkejutanku bertambah melihat dari siapa suara itu berasal. 

Ya, Rina menyapaku. Wanita yang tadi begitu dingin, tiba-tiba datang menyapaku. Mengomentari bobot tubuhku yang memang bertambah jauh dari sebelumnya. 

"Mungkin kamu lebih bahagia tanpa aku, jadi kamu jadi seperti ini," lanjutnya karena tak medapat jawaban apapun dariku. 

Refleks bibirku bersuara, "justru sebaliknya". 

Dia terkejut mendengar ucapanku, tapi tetap berusaha setenang mungkin. 

"Maafkan aku."

"Untuk?" Tanya Rina dengan raut wajah kebingungan. 

"Untuk semua, aku sendiri tak mengerti apa yang menjadi salahku. Tapi melihatmu begitu membenciku tentu kesalahan besar yang telah aku perbuat dan setelah sekian lama kamu membatasiku untuk mengatakannya jadi baru bisa aku sampaikan sekarang. Hidupku berantakan tanpa kamu, semua yang aku perbuat seolah menjadi salah. Seolah kegagalan menjadi begitu dekat dengan kehidupanku." Aku melepaskan semua yang ingin kukatakan selama ini. 

"Satu lagi, aku merindukanmu. Aku harus mengatakan itu, karena memendamnya membuatku hampir gila." 

Gadis itu hanya diam seribu bahasa. Tanpa ada jawaban apapun, tapi aku tersengat rasa bahagia. Aku sangat bahagia bisa melihatnya. 

Sebuah permainan takdir mempertemukanku dengan wanita gila yang selama ini menghilang tanpa jejak. Aku tak peduli ini menjadi akhir atau memberikan kita awal yang baru, yang penting akhirnya aku bisa menemukanmu.

Semua rinduku terbayar karena bisa melihat dan mendengar suaramu. Terima kasih untuk permainan takdir yang membiarkan kami kembali bertemu.***

 

 

© Chesamstory 

11 Maret 2019

Baca Juga: [CERPEN] Ketika Hujan Berpaling 

Caroline Sambuaga Photo Verified Writer Caroline Sambuaga

I am a creative director of my dream(s) Twitter & Instagram : @che_sam Wattpad : @chesamstory Blog : www.chesamstory.wordpress.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya