[CERBUNG] Malaikat Berpayung Biru (Part 1)

Perempuan membosankan

“Nyuekin orang lain terus-menerus juga bisa capek, tahu?”

Seperti selalu, satu kalimat berlalu begitu saja, dibiarkan terbang bersama hembusan sepoi angin malam.

Revan mendengus hambar.

Perempuan itu benar-benar keras kepala! Dan membosankan. Ia akan tiba di kedai yang sama setiap malamnya, kurang lebih jam 8. Memesan secangkir cappuccino instan dari merk yang sama. Duduk di sudut kedai yang sama. Membaca novel detektif dari penulis yang sama. Dan juga, sikap pasif yang tetap sama, tak pernah berubah.

Sebenarnya Revan tak begitu memahami dirinya sendiri, apakah ia sejenuh itu dengan rutinitas hariannya, sampai ia rela meluangkan sedikit waktu setiap malam untuk memerhatikan perempuan itu, mengikutinya ke kedai sekadar untuk duduk berdekatan dalam diam, atau sesekali mengajaknya bicara walau hampir selalu berakhir dengan rasa jengkel.

Baik, anggaplah ia tak perhitungan soal waktu dan sedikit bersabar karena ia mengenal perempuan itu. Tapi apa keuntungannya? Sejujurnya, bermain game lebih bermanfaat—menghibur—baginya daripada menantang kesabarannya sendiri dengan mengurusi perempuan aneh itu.

Entahlah.

Perempuan itu biasa dipanggil Hana. Nama panjangnya Hana Aprilia atau Hana Apriliani, whatever, pokoknya tersemat keterangan bulan kelahiran pada nama itu. Dan seingatnya pernah ada yang bercerita, bahwa hana yang dimaksud itu artinya adalah satu, diambil dari kosakata bahasa negeri ginseng.

Bernaung di zodiak aries, huh? Tidak heran kalau keras kepala.  

Revan mengenalnya dulu sewaktu masih kuliah. Bukan kenal baik sebenarnya. Hana adalah teman kost Sekar, gadis yang dulu dipacarinya. Mereka hanya pernah diperkenalkan sekilas oleh Sekar, lalu tidak pernah benar-benar mengobrol sesudahnya. Orangnya tidak cukup friendly, itu saja masalahnya.

Lewat di depan mereka pun hanya lewat saja tanpa melirik. Bahkan satu dua kali upaya Revan untuk sekadar berbasa-basi nyaris tak ditanggapi. Itulah sebabnya, semenjak itu, ia merasa tak punya alasan lagi untuk memedulikan teman pacarnya yang agak aneh itu.

Beberapa tahun berlalu dan kebetulan sekali, Revan mendapati Hana bekerja di kompleks rukan yang sama dengan tempat di mana perusahaan bosnya berkantor. Saat pertama kali berpapasan dengan gadis itu beberapa bulan lalu, ia sempat begitu antusias menyapa, “Hei, kamu Hana, kan? Masih inget aku?”

Tapi apa tanggapannya? Dingin saja. Hanya memandang sekilas, kemudian menyahut tak acuh. “Ya, kamu Revan, mantan pacarnya Sekar. Terus kenapa?”

Revan langsung merasa kehabisan kata-kata detik itu juga. Dan mestinya juga kehabisan alasan untuk memperpanjang lagi ‘basa-basi tak penting’ antara mereka.

Tapi ia yang malam itu sedang menunggu hujan reda pada sebuah emperan bangunan, sempat melihat Hana berjalan ke sudut belakang kompleks yang sepi dan agak gelap. Pikirannya dibuat bertanya-tanya, hendak ke mana dan apa yang akan gadis itu lakukan di tempat gelap itu. Dan karena tak suka hanya menebak-nebak, akhirnya diam-diam ia mengikuti di belakangnya.

Jauh di sudut belakang kompleks, terdapat akses keluar berupa sebuah celah kecil yang terbentuk dari retakan tembok pagar. Celah itu hanya muat dilewati oleh satu orang saja. Tak jauh dari tempat itu, pada sebelah luar pagar, di pinggir sebuah jalan kecil yang menghubungkan jalan raya dengan perkampungan, berdiri sebuah emperan kedai lesehan sederhana yang menjual mie ayam, makanan kecil, berbagai jenis minuman, dan rokok. Di sanalah gadis itu singgah setiap malamnya sepulang kerja. Tak terkecuali malam ini.

“Gimana kerjaanmu? Semuanya berjalan lancar?” Ini bukan kali kedua atau ketiga Revan berbasa-basi. Sudah cukup sering, ia tak pernah menghitungnya. Dan hampir selalu diabaikan.

Gadis itu bersandar pada pilar kerangka dinding di ujung ruangan, berseberangan dengan Revan yang memilih tempat duduk di dekat pintu masuk. Tapi dengan ukuran kedai yang luasnya kurang dari 4 x 4 meter, jarak itu masih sangat memungkinkan untuk dapat saling mendengar apa yang diucapkan oleh satu sama lain.

Namun Hana tetaplah Hana. Ia masih berusaha berlagak tak mendengar seperti yang biasa dilakukannya, membuat Revan terpaksa menegur halus dengan memanggil namanya penuh penekanan, baru kemudian gadis itu mengangguk sekilas, tanpa memandang orang yang menanyainya.

Lalu, sunyi lagi.

Sebenarnya Revan bisa membiarkan saja situasi itu. Toh tak ada untungnya juga kalaupun gadis itu mau diajak mengobrol. Tapi akhir-akhir ini, ia sering mendapati dirinya gamang mencari-cari bahan pembicaraan setiap kali mereka berdekatan, seolah ada ketakutan tak beralasan tentang jarak yang tak terseberangi di antara mereka.

Ah tidak, sebenarnya ia memang sengaja menciptakan situasi supaya mereka sering berdekatan. Ada sesuatu. Entah itu mengenai Sekar atau hal lain, ia merasa harus menjaga agar keberadaan gadis itu tak terlewatkan lagi olehnya seperti dulu. Dan entah untuk apa, ia pikir ini sudah saatnya bagi mereka untuk mulai saling bicara.

“Pekerjaanmu membosankan, ya?” Tanpa dipikirkan lebih jauh, Revan mengajak bicara lagi, melontarkan begitu saja apa yang tengah melintas di kepalanya. “Berprofesi sebagai petugas kasir di klinik kecantikan, aku tahu itu sangat melenceng dari apa yang dulu kamu rencanakan. Bukan gayamu banget. Setahuku dulu kamu ngambil jurusan sastra.”

Hana tetap tak memedulikan segala yang Revan katakan. Pun Revan sendiri sudah malas berharap untuk dijawab. Biarlah. Toh ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.

“Kenapa kamu bisa ‘terjebak’ di sana?”

Tak ada yang berubah. Lagi-lagi satu pertanyaan lewat tanpa diacuhkan, menguap bersama asap rokok yang Revan hembuskan beberapa detik setelah pertanyaan itu ia lontarkan.

“Sorry to say,” kata Revan lagi, sambil merasa heran pada dirinya sendiri mengapa tak dapat berhenti, “tapi kayaknya bukan tempat seperti itu yang kamu inginkan.”

Hana membuka lembar berikutnya dari buku yang tengah ia pegang, entah sebenarnya tengah betul-betul membaca atau hanya berlagak saja—sebagai kegiatan pengalih agar ia bebas berpura-pura tak mendengar.

“Nggak pernahkah kamu coba cari kerjaan lain?” Masih tak dapat mengerti mengapa dirinya begitu memaksakan situasi, Revan mencoba mengatur intonasi supaya pertanyaannya lebih terdengar sebagai kepedulian, bukannya kepo. “Kurasa kamu bisa dapet kerjaan yang lebih baik. Harusnya.”

“Jadi menurutmu pekerjaanku nggak baik?” Ajaib sekali, kegigihan Revan akhirnya berhasil membuat gadis itu bersuara, walaupun tetap tanpa mengalihkan pandangannya dari objek semula, dan nada bicaranya benar-benar tak acuh.

“Bukan begitu, cuma, kurasa kamu nggak cocok kerja di sana.”

Gadis itu mendengus, disertai segurat tarikan bibir yang sangat masam. Ia memindahkan bukunya dari yang semula diletakkan di atas tekukan kedua lututnya, ke atas meja rendah di sisi kanannya. Pandangannya masih belum ia alihkan seinchi pun dari benda itu.

“Biar kutebak. Menurutku kamu lelah tersenyum, dan udah muak harus selalu tersenyum. Terbukti, begitu jam kerjamu berakhir, kamu kembali lagi jadi Hana yang asli, yang bahkan lebih ekstrim daripada Hana yang kukenal dulu. Bener, kan?”

Kali ini, secara tak terduga, gadis itu mengangkat kepala, menatap Revan tajam.

Tapi Revan malah semakin berani. “Jujur aja, itu bukan duniamu. Dari dulu juga udah kelihatan, yang lebih condong ke hal-hal berbau kecantikan itu Sekar, bukan kamu.”

“Does it mean, hal-hal berbau kecantikan harus diurus oleh orang yang cantik juga? Supaya dia bisa disebut sebagai bagian dari dunia itu?” Hana menukas sengit.

Revan tercekat. Ia sadar telah salah bicara. “Bukan! Bukan begitu maksudku. Jangan salah paham—”

 “Kalau ini mengenai Sekar, kamu nggak perlu buang-buang waktumu,” potong gadis itu tak peduli.

“Ya?”

“Kamu nggak akan dapat informasi apa pun dariku tentang mantan pacarmu yang cantik dan condong ke hal-hal berbau kecantikan itu. Kami udah nggak pernah saling kontak lagi semenjak aku berhenti kuliah.”

Revan terkejut. “Kamu? Berhenti kuliah?”

“Ya,” tukas Hana ketus. “Aku berhenti kuliah karena persoalan biaya. Itulah sebabnya aku bisa terjebak di sana, di suatu tempat yang bukan duniaku, nggak bisa menjalani kehidupan sesuai yang kurencanakan, harus menahan rasa muak dan selalu memasang senyum palsu, termasuk tumbuh menjadi semakin ekstrim dari hari ke hari. Bukan karena aku nggak berusaha dapetin yang lebih baik, tapi karena keadaan membatasi pilihan.”

Revan terdiam, mati kutu, mendadak kehabisan seluruh kosakatanya. Gadis itu benar-benar tersinggung, terlihat jelas dari caranya memberi penekanan berlebih pada kata ekstrim. Namun tak ada yang bisa ia lakukan. Tak ada cara untuk menarik lagi semua yang telah terlanjur dikatakannya. Pun ia tahu kalimat penghiburan klise tak akan memperbaiki situasi. Entah bagaimana, tapi ia tahu karakter Hana bukanlah tipe yang akan mudah disenangkan dengan kalimat basa-basi pasaran.

Sebuah sepeda motor dengan suara knalpot cempreng melaju kencang di jalan kecil depan kedai. Suara tak mengenakkan itu memecah sejenak kekakuan atmosfer yang serasa menotok seluruh persendian Revan. Pada situasi normal, Revan pasti sudah akan mengutuki pengendara motor itu beserta motornya. Namun kali ini, ia harus mengakui bahwa ia justru merasa sedikit terbantu oleh kebisingan barusan. Setidaknya untuk sejenak, ia dapat melarikan diri dari situasi merasa bersalahnya.

Beberapa menit berlalu. Pemilik kedai tetap seperti biasanya, asyik sendiri menonton TV di balik sebuah bilik kecil di sudut bagian dalam, tak terganggu sekaligus tak mau mengganggu privasi para pengunjung kedainya. Sementara Revan tak kunjung dapat menyusun kalimat yang baru, hanya sesekali mencuri pandang ke arah gadis di seberangnya yang kembali menganggapnya seolah tak ada.

Sejenak gadis itu menyeruput kopinya dengan raut wajah yang dingin, meletakkan gelasnya ke meja dengan gerak agak kasar, kemudian menenggelamkan dirinya lagi ke dalam novel yang sejak tadi dibacanya.

Diam-diam, Revan mencoba mencermati seraut wajah mungil itu. Sebenarnya Hana tidak jelek, kalau saja ekspresinya sedikit lebih ramah. Revan pernah beberapa kali mengintip dari luar pintu kaca saat ia melintas di depan klinik kecantikan tempat Hana bekerja.

Ia lihat gadis itu cukup menarik saat tersenyum, walau itu jelas-jelas senyum yang dipaksakan hanya karena tuntutan pekerjaan. Padahal, jika saja Hana mau merubah penampilannya dari style ala petugas perpustakaan yang membosankan dan kaku itu menjadi lebih modis sedikit saja, termasuk memberi sedikit layer pada rambutnya yang hanya lurus sepundak tanpa model, kemudian mengganti kaca mata berbingkai hitamnya dengan soft lens, mungkin tanpa perlu tersenyum pun ia sudah akan dapat mencuri perhatian para lawan jenisnya.

Tiba-tiba, Revan menyadari satu hal. Biru. Ya, barang-barang dan segala yang dikenakan Hana dari kepala sampai kakinya didominasi warna biru. Ikat rambut biru, kemeja biru, tas biru, pulpen biru, casing ponsel biru, kaos kaki biru, bahkan arloji pun biru.

Revan lihat, kepribadian Hana memang memungkinkan untuk tercakup ke dalam beberapa sifat yang dimiliki oleh penyuka warna biru menurut ilmu psikologi. Pembawaan yang tenang, tidak suka menjadi sorotan banyak orang, cenderung menyembunyikan perasaan, hati-hati dalam mengambil keputusan, namun dingin dan terkesan kurang berempati.

Tapi benarkah semua yang ditampilkan Hana di luar adalah dirinya yang sebenarnya? Revan tak merasa cukup alasan untuk meyakini hal itu. Air tenang biasanya memiliki kedalaman yang mengejutkan. Bisa saja di dalam sana tersembunyi banyak rahasia yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun.

“Alasan kamu berhenti berhubungan sama Sekar, kurasa bukan karena dia yang memutuskan komunikasi,” Revan memberanikan diri membuka percakapan lagi. Sekarang ia membenarkan pendapat beberapa orang yang mengatakan: orang pendiam adalah ahlinya dalam mengundang rasa ingin tahu. “Kamu, kan, yang menjauhi Sekar duluan?”

Hana tak menjawab, tak menoleh, tak terlihat seperti mendengarkan apa yang Revan katakan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Maaf, tapi kelihatannya kamu nggak terlalu suka sama dia. Kenapa? Sekar ‘kan orangnya baik.”

Tetap tak ada jawaban.

Revan sadar isu yang tengah ia singgung ini sangatlah sensitif. Tetapi, entah ada magnet macam apa yang tersembunyi di balik tampang tak ramah Hana, kali ini Revan benar-benar dibuat tak bisa berhenti. “Kalian nggak pernah ada masalah, kan?”

Hana bergeming saja, tapi kilat di matanya terlihat tak biasa.

Here it is. Memang benar ada sesuatu di antara Hana dan Sekar yang Revan tak pernah tahu. Dan tanpa alasan pasti, ia menjadi penasaran ingin memancing reaksi Hana lebih jauh lagi. “Tahukah kamu gimana ceritanya aku dan Sekar mulai deket?”

Bisu. Belasan detik tanpa percakapan berlalu lagi, melebur bersama suara program TV yang terdengar samar-samar dari  balik bilik pemilik kedai.

Sebenarnya Revan sudah tahu kalau pancingannya tak akan semudah itu  mendapat respon. Bahkan bukan mustahil dirinyalah yang akan lebih dulu kehabisan kesabaran.  Tapi kali ini ia tahu, diamnya Hana sudah tak sama seperti di awal lagi.

“Dulu di usia remajaku, waktu ibuku koma di rumah sakit dan aku harus nungguin beliau di sana tiap hari selama berbulan-bulan, ada seseorang yang mensuport aku diam-diam. Dia sering nitipin roti dan susu kotak buatku di meja perawat. Terkadang juga buku-buku, dengan quote-quote tertentu yang dia tandai, yang isinya sangat mengena untukku sebagai motivasi.”

Apa urusanku? Revan tebak, di dalam hatinya Hana tengah menyuarakan reaksi semacam itu. Atau bisa jadi malah mengutuki Revan yang tak kunjung diam. Tak apalah. Seperti halnya pihak Hana yang bebas memilih untuk tetap tak peduli, Revan pun membebaskan dirinya untuk berbicara sesuka hati.

“Bukan cuma itu,” Revan melanjutkan ceritanya lagi. “Saat malam terlalu dingin, dia pinjemin aku selimut. Saat hari-hari didominasi rinai hujan, dia pinjemin aku payung. Berbulan-bulan, aku nerima sekian banyak perhatian dan kebaikan darinya tanpa pernah kutahu siapa dia sebenernya. Cuma pernah satu kali kutemukan sebaris pesan terselip di buku: tolong titipkan lagi di meja perawat kalau sudah selesai.”

Masih tetap tak ada sahutan. Namun kali ini Revan jelas-jelas melihat, Hana telah mengalihkan perhatian dari bukunya. Gadis itu memandang ke arah lain, namun tatapannya tidak terfokus. Itu artinya, pendengarannyalah yang sedang terfokus ke suatu titik. Revan menahan senyum puasnya. Akhirnya gadis keras kepala itu mendengarkannya juga.

“Aku udah coba tanya perawat,” Revan jadi lebih bersemangat, “tapi mereka nggak bisa memastikan, sebab yang nitipin ke sana hampir selalu berganti-ganti orang. Saat akhirnya kondisi ibuku membaik dan kami harus check out dari rumah sakit, aku masih nggak tahu gimana caranya pamit dan bilang terima kasih ke dia. Akhirnya aku hanya bisa berdoa, semoga orang itu, siapa pun dan di mana pun dia, selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan oleh Tuhan selama hidupnya.

Lalu pada suatu sore, beberapa tahun kemudian, aku ketemu seorang cewek di jalan, memakai payung yang sama dengan yang pernah dipinjamkan padaku saat di rumah sakit dulu. And you know what? Orang itu adalah Sekar. Dialah pemilik payung itu, orang yang udah sekian lama kucari-cari.

Dan ajaibnya, setelah beberapa saat kami ngobrol, aku dapet fakta mengejutkan bahwa dia adalah junior di universitas tempat aku kuliah. Tidakkah kamu pikir itu keajaiban?”

Mendengar nama Sekar disebut, reaksi Hana berubah. Ia mendadak membuka lembaran demi lembaran bukunya dengan gerakan kasar, jelas sekali terlihat disengaja, seakan-akan ada amarah atau perasaan tidak senang tertentu yang tengah ia tahan. Ekspresi wajahnya pun terlihat geram. Benar dugaan Revan, Hana dan Sekar sebenarnya tidak terlalu dekat. Pengakuan Sekar bahwa mereka berdua berteman baik, itu jelas hanya sekadar upaya menutup-nutupi sesuatu yang tidak beres di antara mereka berdua.

“Tapi, nggak tahu kenapa, hubungan kami yang kelihatannya baik-baik aja dan nggak ada masalah itu tiba-tiba harus berakhir,” Revan menambahkan ceritanya, tetap tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah judes Hana.

“Dia bilang nggak bisa bersamaku lagi, karena suatu alasan. Aku nggak tahu persis apa masalahnya. Tahu-tahu dia udah bareng sama cowok lain. Kayaknya ada sesuatu yang masih dia sembunyikan dariku sampai sekarang. Sesuatu yang sulit dijelaskan padaku karena banyak pertimbangan. Terkadang, bahkan setelah sejauh ini pun, aku masih penasaran ingin tahu sesuatu itu.”

Hana menutup bukunya. Raut wajahnya kaku.

“Sebenernya aku tahu nggak bisa berharap sama kamu tentang hal-hal yang berhubungan sama dia,” Revan mendesah sejenak. “Tapi, entahlah, aku seperti ingin berpikir sebaliknya. Kamu mengingatkanku sama dia, dan itu bikin aku terus berharap bahwa tiba-tiba kamu kasih aku pesan tertentu darinya. Aku merasa ada sesuatu yang belum selesai antara aku dan dia, dan mungkin kamu akan membantuku menyelesaikannya. Do I look so desperate?”

Tiba-tiba Hana bangkit berdiri, mengemasi barang-barangnya, berjalan menghampiri pemilik kedai, membayar minumannya, dan kemudian berlalu. Ya, berlalu, begitu saja, tanpa pamit ataupun sekadar lirikan kecil pada orang yang beberapa detik sebelumnya masih mengajaknya bicara. Dalam sekejap, sosok semampai itu menghilang di ujung jalan.

Revan menertawakan dirinya sendiri dalam sebuah dengus jengkel. Mengapa ia repot-repot mengajak perempuan aneh itu bicara? Padahal ia sudah tahu kalau usahanya untuk bersikap friendly hanya akan berakhir seperti ini. Sungguh kurang kerjaan!

 

***

 

Hari demi hari masih berjalan seperti biasa. Kehidupan Revan juga masih mengalir dengan ritme yang tak berubah. Ia masih bergaul dengan teman-teman yang sama, memiliki keluarga yang sama, juga pekerjaan yang tetap lancar sebagaimana biasanya. Tapi ia merasa tak benar.

Mengapa?

Entah ini alasannya atau bukan, yang jelas, sudah hampir dua minggu Hana tak pernah muncul di kedai lagi. Ya, pertemuan malam itu adalah yang terakhir. Hari berikutnya, gadis itu tak datang ke sana, bahkan tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya hingga hari ini.

Apa urusanku? Revan sudah mencoba menegas-negaskan kalimat itu di dalam pikirannya. Namun sebagaimana selama ini ia tak pernah mengerti mengapa dirinya repot-repot membuang waktu dan memboroskan energi untuk mengurusi gadis aneh itu, kali ini pun ia masih saja melakukan kekonyolan yang sama.

Ia tetap datang ke kedai setiap malam sepulang kerja, berharap orang yang dipikirkannya sudah lebih dulu ada di sana. Dan ketika lagi-lagi ia harus mendapati fakta bahwa di kedai itu tak ada siapa-siapa selain pemiliknya sendiri, ia merasa ada yang tak benar.

Harus ia akui, ketiadaan Hana membuatnya terus-menerus melihat ke sekelilingnya dengan gelisah, menunggu, mencari-cari. Apakah selama ini diam-diam hatinya melakukan aktivitas sendiri? Menempatkan perempuan aneh itu pada ruang tertentu di dalam sana tanpa sepengetahuan kepalanya? Dan kini aktivitas ilegal itu mendadak terungkap ketika perempuan itu tak ada lagi, dengan munculnya sebuah fakta: ia, seorang Revan, merindukan perempuan membosankan, keras kepala, dan tidak ramah bernama Hana itu?

Itu tak masuk akal. Bahkan gila. Tapi mengingkarinya juga bukan perkara mudah. Pun ia harus berulang kali berdebat dengan dirinya sendiri.

Tadi siang, setelah tak bisa lagi berdiam diri dalam rasa penasaran dan gelisahnya, akhirnya ia mendatangi klinik kecantikan di pinggir jalan raya depan sana. Gadis resepsionis yang bertugas mengatakan, Hana sudah seminggu mengundurkan diri. Tapi mereka mengaku tak punya alamat ataupun nomor telepon Hana yang bisa dihubungi. Seperti yang Revan duga, Hana memang tak terlalu dekat dengan siapa pun di tempat yang tak disukainya itu.

Harus Revan akui, ia kecewa. Entah bagaimana, tapi ia merasakan hal-hal sejenis kekosongan, atau kehilangan semangat, atau tak ada sesuatu yang menyenangkan untuk ditunggu lagi. Ia ingin tak ada yang berubah: Hana tetap ada di klinik itu, tetap singgah di kedai belakang kompleks setiap pulang kerja, tetap dapat ia temukan setiap malam walau hanya untuk mengabaikan dan membuatnya jengkel.

“Mau minum apa, Mas?” Pemilik kedai menyambut langkah gontai Revan dengan sapaan dan senyum tipisnya yang ramah.

“Teh manis aja,” jawab Revan lesu, sambil menghempaskan tasnya ke atas tikar yang mengalasi lantai kedai.

Minuman itu segera diantarkan tak sampai lima menit kemudian.

Selagi pemilik kedai membersihkan sisa-sisa remahan kulit kacang pada sebuah meja di dekat Revan duduk, iseng-iseng Revan bertanya. “Bapak tahu nggak tempat tinggal Hana?”

“Hana?” Pemilik kedai tak langsung tanggap.

“Cewek yang tiap malem mampir ke sini dan pesen cappuccino itu. Atau barangkali, dia ada pamit sama Bapak mengenai pengunduran dirinya dari tempatnya bekerja?”

Lelaki paruh baya itu menggeleng. Ia bahkan mengaku baru tahu kalau gadis itu bernama Hana.

“Jadi, nggak ada informasi apa pun yang Bapak tahu tentang dia? Selama dia jadi pelanggan di sini, nggak pernahkah dia mengajak Bapak ngobrol tentang sesuatu hal?”

Lagi-lagi Revan tak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Pemilik kedai benar-benar tak tahu apa-apa mengenai Hana, dan tidak pernah saling bicara dengan gadis itu di luar transaksi jual beli.

Tapi lelaki itu mengambil sesuatu dari biliknya dan memberikannya pada Revan. “Saya baru inget, sebenernya sejak kemarin-kemarin saya mau nitipin ini, payung punya Mbak itu. Ketinggalan di sini waktu terakhir dia mampir. Mas teman dekatnya, kan? Sebaiknya payung ini Mas aja yang simpen, daripada di sini ntar hilang.”

Revan menerima benda tersebut dengan dahi mengernyit. Sebuah payung lipat berwarna biru yang tidak asing. Rasanya ia mengenali dengan baik benda ini, begitu familiar di ingatannya. Ia mencoba membukanya. Benar, ini bukan kali pertama ia memegang payung ini. Dua huruf inisial, HA, tertulis dengan permanent marker di bagian dalam payung, dekat dengan poros tengah. Ia ingat, tulisan itu sudah terukir di sana sejak dulu. Bukankah ini payung milik Sekar yang dulu dipinjamkan padanya sewaktu ia di rumah sakit?

Revan berpikir sejenak. Mengapa payung Sekar bisa ada pada Hana? Mungkinkah...

Revan tersentak, tiba-tiba menyadari sesuatu. HA. Nama inisial yang tertera di payung itu adalah HA. Sekarang ia ingat samar-samar, Sekar pernah menceritakan sekilas bahwa ibu Hana berjualan di rumah sakit.

Jadi, payung ini bukan milik Sekar?

Ya Tuhan! Ia telah salah mengenali orang. Pemilik payung itu, yang ia cari-cari sekian lama, ternyata bukan Sekar. Ya, tentu saja bukan Sekar. Jelas-jelas inisialnya adalah HA, bukan SN—Sekarsari Nugrahaeni, yang sebenarnya tak hanya tertulis di payung, tapi juga di buku-buku yang dulu dipinjamkan padanya.

H.A.

Hana Aprilia!

***

Bersambung

Baca Juga: [CERPEN] Cinta itu Bukan Namanya 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya