[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 10

Tersingkapnya sebuah tabir

Leher dan rongga dadaku sangat sesak. Aku kehabisan napas. Sangat sakit. Sakit yang tak tergambarkan. Aku hampir mati. Seseorang bertudung kepala sedang mencekikku dan aku akan mati tanpa tahu siapa yang membunuhku.

Jadi beginikah yang namanya mati penasaran? Akankah nanti aku menjelma menjadi arwah gentayangan, karena rasa ingin tahu yang belum terjawab? Dan orang-orang terdekatku akan berbalik arah, berlari ketakutan melihat kemunculanku?

Tidak!

Walaupun mungkin takdirku memang harus begini, setidaknya aku harus tahu siapa orang yang menjadi perantara kematianku.

Rasa sakit terus berdentam di kepala, leher dan rongga dadaku. Jalan napasku bahkan sudah total tertutup sejak beberapa saat lalu. Tapi aku bertekad tak akan menyerah. Maka jika memang nyawaku telah mulai berpencar dan bersiap meninggalkan tubuhku sedikit demi sedikit, aku bersusah payah mengumpulkannya kembali.

Tanganku berhasil kugerakkan. Tujuanku awalnya hanyalah untuk membuka tudung kepala yang menutupi hingga sebagian besar wajah orang itu. Tapi kemudian aku mendapat gagasan untuk mencolok matanya.

“Aaww!!”

Kena. Jalan napasku mendapatkan celah sedikit. Tapi... astaga, dia perempuan?

Sambil tersengal-sengal mencoba menghela napas, sekali lagi kucolok kedua matanya, kemudian kucakar mukanya keras-keras. Dia tak punya pilihan bagus. Jika memilih melindungi wajahnya, maka leherku terpaksa harus dilepaskannya.

Benar, tangan kanannya lepas dari leherku. Walau sulit, kumanfaatkan kesempatan ini untuk menendangnya, sekeras mungkin, walau sama sekali tak kupertimbangkan bagian mana yang kena.

Sosok bertudung kepala itu terjengkang. Susah payah aku berusaha berdiri. Napasku masih megap-megap dan terbatuk-batuk, kepalaku berdenyut sakit. Aku sadar setelah ini gerakanku akan kalah cepat. Sebelum dia bangkit lagi, kuputar keras otakku untuk mencari akal. Suatu benda. Aku harus menemukan suatu benda sebagai senjata.

Aha, ini dia! Kurasa benda ini jualah yang telah membenjolkan kepalaku barusan. Sebongkah batu. Besarnya hampir menyamai sebutir kelapa. Huh, akan kubalas dia!

Bugg!!

“Aaaarghhhh...!!”

Perempuan itu melolong kesakitan, memegangi sebelah pundaknya. Aku memang sengaja tidak mengicar kepalanya, khawatir akan membuatnya tewas lalu aku harus masuk penjara. Beruntung sekali kepalaku tidak pecah dibuatnya tadi. Kalau sampai aku mati dan jadi hantu, akan kuteror dia seumur hidupnya.

Saat orang itu tengah merintih-rintih tetap sambil memegangi pundaknya, aku menerjangnya dengan mengabaikan semua rasa sakitku. Dia berusaha menepis dan berkelit ketika aku mencoba membuka tudung kepalanya. Tapi dengan kondisinya itu, dia jelas segera kalah. Dan berikutnya aku terperangah tak percaya mengetahui siapa dia.

“Dita??”

Sosok itu, yang ternyata adalah Dita, kelabakan seperti ditelanjangi di depan umum.

“Jadi kamu orangnya?” Tanyaku tak kunjung pulih dari rasa terkejut.

“Sialan!” Umpatnya.

“Kenapa kamu lakuin ini?”

Dia tak menjawab, hanya memandangiku dengan tatapan bengis.

“Kenapa Dit?’

Tetap diam.

“Jadi kamu yang nulis surat itu? Kamu apain Keyla? Di mana dia kamu umpetin?”

Tiba-tiba, dalam kecepatan yang tak kuperhitungkan sebelumnya, dia bangkit dan berlari melewatiku. Kukira dia hendak kabur. Tapi saat dengan terkejut aku menoleh ke arah yang ditujunya, tahu-tahu dia mendekat lalu mengaitkan lengannya kuat-kuat pada leherku dari belakang. Belum sempat aku meronta, tangannya yang satu lagi sudah menodongkan sebilah pisau. Tampak berkilat dan tajam.

Aku bergidik ngeri. Tubuhku mulai gemetar saat mata pisau mulai ditempelkan tepat di bawah daguku. Biasanya hal seperti ini hanya kulihat di TV. Tapi kali ini nyata, benar-benar terjadi padaku.

“Di mana surat itu?” Tanyanya penuh intimidasi.

“Ada... di pohon,” jawabku gugup.

“Jawab yang bener!” Bentaknya.

Oh, dia sudah mencarinya? Berarti aku salah perhitungan. Gadis ini rupanya sudah lebih dulu berada di sini sebelum aku datang.

“Cari aja sendiri!”

“Aku tanya, bodoh! Di mana surat itu, ha?!” Ulangnya menghardik.

“Aku udah bilang, ada di lubang pohon.”

“Jangan main-main ya!”

Dia tidak tahu kalau benda yang dicarinya ada pada April? Berarti mungkin dia belum berbuat apa-apa pada April. Tapi kenapa April tidak datang?

“Pikirmu aku gampang dibodohi? Kamu pasti udah baca suratnya. Dan sekarang surat itu kamu simpen. Kamu menganggap bego seorang Dita Sofiana? Kamu berani main-main? Apa kamu tau apa akibatnya? Pengen nyusul temenmu, huh?”

“Nyusul ke mana?” Pancingku.

“Ke mana lagi?”

“Kamu bunuh dia? Kenapa?”

Dita tertawa bengis. Benar, memang dialah pelakunya. Tidak ada tanda-tanda keterkejutan dan kegugupan sama sekali pada reaksinya. Dan lagi, dia tidak takut mengakui. Cocok seperti prediksiku di awal, orang yang menyingkirkan Keyla memang psikopat. “Kamu pasti tahu kenapa,” jawabnya tenang.

“Karena kamu merasa tersaingi?”

“Aku bukan orang yang takut bersaing. Aku cuma nggak suka dia hidup terlalu lama di dunia ini.”

“Tapi nyatanya Danu emang milih dia. Nggak takut bersaing apanya?”

Lagi, dia tertawa. “Apa yang harus kulakuin sama kamu, bocah brengsek? Kamu bukan siapa-siapa. Membunuh kamu nggak ada untungnya buatku. Tapi kamu udah terlanjur tau banyak. Gimana kalau kita buat kesepakatan damai?”

Kesepakatan damai? Cih, sudah terlalu jelas kalau aku adalah kunci dari misteri ini. Aku bukan siapa-siapa, katanya? Dialah yang membutuhkanku. Kenapa aku harus takut pada ancamannya?

“Kalau aku nggak mau, kamu mau bunuh aku?” Cemoohku.

“Itu mudah aja. Tapi apa kamu udah siap say good bye sama April pujaanmu itu?”

“Kayaknya aku nggak bisa deh menuhin permintaanmu yang terlalu banyak itu,” jawabku angkuh.

“Apa maksudmu terlalu banyak?”

“Emangnya cukup kalau kamu cuma kukasih surat itu? Nggak, kan? Kamu pasti memintaku menyimpan kebusukanmu. Dan juga maafku, untuk percobaan pembunuhanmu yang semalem dan yang sekarang. Kamu pikir aku bodoh? Kesepakatan damai, katamu? Kecuali kamu potong kedua tanganmu dan kamu sumpal mulutmu itu selamanya, aku nggak akan merasa aman. Kamu bisa nyingkirin aku kapan aja setelah kesepakatan damai aku setujui.”

Dia mendengus. “Terus, kalau kamu nolak berdamai, keuntunganmu apa? Sama aja, mampus-mampus juga.”

“Makanya itu, sama-sama berakhir mampus, kenapa harus ngasih surat itu ke kamu?”

“Setidaknya aku masih ngasih kamu kesempatan buat melarikan diri.”

“Nggak ah, nanti kamu berbangga diri menganggap kesempatan hidupku adalah pemberianmu,” tolakku jual mahal.

“Brengsek!” Makinya tertahan.

Kulit leherku perih. Dita menekan pisau itu lebih dalam. Aku sedikit panik, tapi berusaha tetap tenang. ”Sesama brengsek sebaiknya nggak saling mengumpat,” balasku, entah mendapat keberanian dari mana.

“Hei!” tegurnya dengan nada menyebalkan khas dialog tokoh antagonis senetron. “Kamu serius udah nggak sayang nyawamu rupanya, hm?”

“Bunuh aja aku! Tapi for your information ya, kalau aku mati kamu juga bakal hancur membusuk di penjara.”

“Penjara?” Ulangnya tengik. Lalu tawa menyerupai tawa nenek sihir segera diperdengarkannya. “Bahkan aku bisa nyimpen mayat Keyla di tempat yang nggak terendus anjing pelacak kepolisian.”

“Tapi kenapa Keyla berkeliaran semalem? Kamu percaya arwah gentayangan? Aku nggak. Menurutku, itu emang manusia hidup, bukan hantu. Jasad Keyla nggak ketemu karena emang belum mati. Dia pergi sebelum TKP dijamah polisi.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Nggak!” Bantah Dita keras. “Keyla udah mati. Kamu denger itu? Kamu nggak lebih tau dari aku. Dia udah membusuk di suatu tempat.”

“Di suatu tempat? Di mana?”

“Kenapa aku harus kasih tau kamu?”

“Kenapa nggak? Toh sebentar lagi aku juga mati. Atau kamu khawatir kali ini pun bakal gagal lagi menghabisiku?”

“Kata siapa aku bakalan gagal?”

Aku tertawa mengejek. “Mungkin berhasil, tapi aku nggak bekerja sendirian. Surat itu ada di tangan seseorang. Sama kayak aku, dia pun udah tau terlalu banyak. Jadi membunuhku aja nggak akan cukup untuk bikin kamu aman.”

Aku dapat merasakan keterkejutan Dita manakala mendengar pemberitahuanku. Tangannya gemetar. Kupergunakan kesempatan itu baik-baik untuk menarik tangannya agar melonggar, menjauhkan pisaunya dari leherku yang semakin perih. Setelah cukup jarak, kuputar sedikit tubuhku ke sebelah kanan, lalu kusikut perutnya.

Dia mengaduh. Dan ternyata usaha untung-untunganku barusan membuahkan hasil. Aku berhasil membebaskan diri.

“Sialan!” makinya kesakitan. “Oke, aku ikuti permainanmu! Tanggung-tanggung aku masuk penjara, kamu harus mati.”

Aku bermaksud lari. Tapi baru saja hendak berbalik badan, ekor mataku menangkap sesosok bayangan merah berdiri tak jauh dariku. Urung melangkah, refleks aku menoleh ke sana. Dan seketika aku tercekat.

Bayangan merah itu adalah sesosok manusia. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, rambut cokelatnya berkibar gemulai disapa sepoi angin. Dia.... adalah sosok yang selama ini menghantui mimpi-mimpiku, orang yang pernah menempati meja yang sama denganku di sekolah dulu. Wajahnya, rambutnya, postur tubuhnya, semuanya masih sama seperti dulu. Hantukah ini? Aku tak mungkin salah lihat. Rasanya mataku sudah membelalak. Meski dalam cahaya remang-remang, dia memang jelas Keyla. Keyla Anastasia.

Mataku tak sanggup berpaling darinya, tapi sekujur tubuhku gemetar. Aku tak dapat menanyainya seperti yang tadi sempat kurencanakan. Bibirku rekat, lidahku kelu, dahiku berkeringat dingin. Aku takut, benar-benar takut.

Sosok itu melangkah. Pandangannya tetap kosong, ekspresi wajahnya datar. Aku mengikuti setiap langkahnya dengan pandangan. Apa yang akan dilakukannya? Jantungku berdegup cepat. Tubuhku kaku.

Kukira tadi dia bermaksud menghampiriku, tapi ternyata tidak. Bahkan sedikit pun dia tak melirikku. Dia terus melangkah pelan, melewatiku. Dan akhirnya di dekat Ditalah dia berhenti.

Tampang Dita sudah tak karuan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar, matanya terbelalak nanar, dahinya bersimbah peluh. Ketakutan hebat jelas terlihat di raut wajahnya.

Pada saat bersamaan, aku mendengar suara-suara orang mendekat. Teman-temanku berdatangan. Bukan hanya satu-dua orang, tapi cukup banyak. Dan tak ubahnya sepertiku, mereka nampak syok melihat siapa yang ada di sini. Tapi aku merasa lebih rileks karena tak lagi sendirian menghadapi seorang psikopat dan sesosok tubuh yang belum jelas statusnya, entah hantu entah manusia.

Matahari semakin leluasa menjangkau setiap sudut hutan ini dengan sinarnya. Hari semakin terang. Para peserta liburan aneh semakin lengkap hadir di sekelilingku. Selintas kulihat April berdiri di antara mereka. Ada Danu juga. Bahkan para pekerja vila dan beberapa warga desa datang tergopoh-gopoh, lelaki yang menampung aku dan April di rumahnya adalah salah satunya.

Sementara itu Keyla masih berdiri mematung di depan Dita tanpa berucap apa-apa.

“Am-ampun, Key! Jangan bunuh aku...,” mohon Dita menangis.

Keyla mendekat selangkah.

“Aku nggak bermaksud bunuh kamu!” Sangkalnya cepat. Tubuhnya semakin menggigil. “Aku cuma... aku cuma...”

Sekarang Keyla sudah mulai menatap tajam ke dalam mata Dita. Tatapan dingin sarat amarah dan dendam.

Dita jatuh terduduk. Air matanya mengalir semakin deras. Napasnya tersengal-sengal. “Ja-jangan, Key! Kamu tau... bukan cuma aku, Maria sama Ayu juga... juga... mereka juga...”

“Bohong!” Bantah seseorang panik.

Semua orang menoleh ke sumber suara. Ayu menggeleng-geleng dengan raut ketakutan yang sama. Dia mundur selangkah. Tubuhnya hendak merosot tapi dengan sigap beberapa orang memeganginya.

“Aku nggak ikut. Dita sama Maria doang yang ngelakuin,” isaknya kemudian.

Sekarang giliran Maria yang menjadi pusat perhatian. Seperti kedua temannya, dia pun pucat pasi dan ketakutan. “Aku... aku nggak ikut ngapa-ngapain. Aku cuma bantuin ngumpetin mayatnya doang. Aku bahkan nggak tau kalau Dita ngundang Keyla ke sini buat dibunuh. Sumpah!”

Keyla menatap tajam kepada Maria.

“Bukan aku, Key! Bukan,” sangkal yang ditatap histeris. “Dita cuma bilang mau ngerjain kamu. Itu doang. Aku cuma disuruh jaga tempat ini dari jauh, ngawasin kalau ada yang dateng. Selebihnya aku nggak tau apa-apa.”

Kembali Keyla memandang Dita. Tajam, bengis, penuh dendam. Dita semakin menggigil. Tapi tiba-tiba saja dia berdiri, kemudian berlari kencang ke bibir tebing. Semua terbelalak terkejut, tapi tak ada waktu untuk mencegah. Dita menceburkan dirinya ke dalam telaga.

 

**

 

“Kenalin, namaku Kezia Anastasia. Aku saudari kembarnya Keyla. Maaf ya temen-temen, aku ngelibatin kalian dalam semua ini tanpa minta izin lebih dulu. Aku bener-bener minta maaf, dan juga berterima kasih.”

Sungguh, semua itu sama sekali tak masuk dalam perkiraanku. Keyla punya saudari kembar? Dia tak pernah menceritakannya. Dan lagi, ya Tuhan, aku hampir tak memercayainya, dari ujung kepala sampai ujung kaki mereka nyaris sama persis, 100%. Ya, Kezia memang sengaja mengatur style rambutnya seperti Keyla dahulu. Ditambah lagi, raut wajahnya memang masih imut seperti anak remaja. Sehingga siapa pun yang melihatnya pasti akan spontan berpikir bahwa sosok itu adalah Keyla dalam usia yang masih belasan.

Adalah Danu Setia Purwaka, yang bertemu dengan seseorang mirip Keyla sewaktu kuliah di Jakarta. Dia mengira Keyla masih hidup, maka dilacaknya identitas gadis itu diam-diam. Dan ketika tahu bahwa ternyata gadis itu bukan Keyla melainkan kembarannya, Danu mengakrabinya, membuka lagi pembahasan mengenai Keyla, hingga kemudian tercetus gagasan untuk melakukan upaya pemecahan misteri ini dengan menjadikan reuni sebagai kedoknya.

Semuanya menjadi sangat gamblang hanya dengan pengakuan Kezia mengenai siapa dirinya. KA adalah Kezia Anastasia. Dialah sponsor yang kaya raya itu. Sedangkan skenarionya diatur oleh Danu. Mereka tidak bekerja berdua saja; Kezia membawa kakaknya juga, Kevin. Kevin sendiri mengajak dua orang temannya yang berprofesi polisi. Para pekerja vila tentu saja membantu. Dan ternyata pria yang menampungku dan April di rumahnya memang benar merupakan bagian dari tim.

Dita berhasil diselamatkan, tapi kondisinya depresi berat. Mungkin sebenarnya sejak malam hari itu dia sudah sangat menderita karena terpaksa harus menyembunyikan ketakutannya ketika teman-teman banyak yang mengaku melihat Keyla. Kasihan sekali, dia sudah keburu depresi sebelum tahu bahwa sosok yang ditakutinya itu bukanlah hantu. Kini dia sudah diamankan oleh kedua teman Kevin untuk diperiksa di kepolisian. Begitu juga Maria dan Ayu. Sisanya, Kezia meminta kami tinggal sehari lagi untuk benar-benar berlibur tanpa teror.

“Ini cuma untung-untungan,” jawab Danu ketika Imam mengutarakan ketakjubannya atas keberhasilan skenario yang disusunnya. “Nggak tahu kenapa aku punya firasat kalau Keyla udah menjadi korban kesewenang-wenangan senior. Jadi yang kami undang kemari hanya kalian dan teman-teman sekelasnya.”

“Hantu muka hancur yang dilihat Dita, kamu juga dalangnya? Kenapa cuma Dita yang ngelihat? Emang kamu udah tau kalau Dita pelakunya?”

Danu menggeleng. “Hantu itu nggak pernah ada. Kurasa dia ketakutan dan sengaja bikin isu baru buat mengalihkan perhatian orang-orang dari topik tentang Keyla. Waktu kemah malah aku nggak curiga sama sekali sama Dita. Soalnya Meilia bilang mereka bertiga tidur sejak sore.”

Pembunuhan berencana. Diakui oleh Dita atau tidak, rencana mereka memang sangat rapi dan sistematis. Sejak sore ada tiga orang yang tidur pulas di tenda senior, tapi hanya kepala Ayu saja yang terlihat, sedangkan dua orang di belakangnya menutup rapat sekujur badan mereka. Siapa sangka, ternyata dua orang yang tidur bersama Ayu itu adalah joki, penduduk desa yang diupah oleh Dita untuk berpura-pura menjadi dirinya dan Maria, sementara mereka yang asli pergi beraksi.

Tapi Maria dan Ayu bersikeras mengaku kalau mereka tidak tahu bahwa Dita merencanakan pembunuhan. Ayu hanya menjaga supaya orang lain tidak tahu bahwa Dita dan Maria pergi meninggalkan kemah. Sedangkan Maria berjaga-jaga sekitar 100 meter dari TKP, memastikan tidak ada orang lain yang datang ke tempat itu.

Tak lama setelah Keyla berhasil dipancing mendekat, Maria mengaku mendengar suara jeritan. Lalu Dita datang menghampirinya beberapa puluh menit kemudian sambil ketakutan, mengaku telah salah membekap Keyla. Niatnya hanya untuk mencegah Keyla berteriak, tapi hidungnya ikut terbekap. Jadilah Keyla berhenti bernapas. Maria mencoba memberi napas buatan tapi tak berhasil. Akhirnya karena panik, mereka menyembunyikan mayat Keyla di rongga besar bawah pohon, kemudian menutup rongga itu dengan batu-batu yang mereka kumpulkan dari sekitar.

Tapi ada beberapa hal yang aneh menurut analisaku. Pertama, Dita bisa tahu kalau di bawah pohon ada rongga besar, padahal hari sudah malam dan rongga itu juga berada pada sisi yang menghadap ke tebing. Kedua, Maria mengaku di sekitaran pohon sudah banyak sekali batu-batu berserakan, tak perlu usaha sama sekali untuk mencari-cari. Ketiga, Dita sudah mempersiapkan alibi padahal menurutnya dia hanya ingin memberi sedikit pelajaran saja pada Keyla. Apakah ‘memberi sedikit pelajaran’ saja butuh alibi?

Pihak kepolisian mendatangkan dua orang yang dulu dibayar Dita untuk jadi joki itu sebagai saksi. Mereka mengaku tidak tahu menahu maksud dari hal yang ditugaskan. Dita hanya meminta tolong mereka membantu tugas sekolah untuk memberikan pendidikan khusus terhadap siswa baru. Mereka melakukannya tanpa banyak bertanya, sedikit pun tidak menaruh curiga.

Kronologi kejadiannya sudah dapat disimpulkan. Pertama, Maria menyelipkan surat yang ditulis Dita di tas kosmetik Keyla sebelum pergi mandi. Dengan begitu Keyla menemukannya di kamar mandi saat hendak memakai sabun, membacanya seorang diri. Dapat kupastikan kalau setelah itu dia gelisah memikirkan bagaimana malamnya nanti dapat keluar dari kemah diam-diam untuk dapat menemui Danu. Bahkan demi undangan kencan rahasia itu, dia membatalkan penampilannya untuk pentas seni dengan berpura-pura sakit. Pada saat teman-teman seregunya tampil itulah, dia menyelinap pergi.

Semuanya lancar sampai setengah perjalanan, kemudian di dekat persimpangan ada penduduk desa memergokinya. Sesuai dengan instruksi di dalam surat, dia turun ke desa lebih dulu untuk mengecoh. Baru setelah penduduk pergi, dia kembali lagi ke persimpangan dan mulai mencari-cari petunjuk berupa taburan bunga-bunga kuning di sekitar situ.

“Kata Maria, Keyla sempet salah arah. Udah jam 11 tapi belum muncul juga. Dita balik lagi ke tempat Maria berjaga, nanyain apa Keyla emang belum dateng. Maria bilang udah dateng, akhirnya mereka cari bareng-bareng. Tapi ternyata Keyla udah berdiri menunggu di deket lilin. Jadi mungkin sementara Dita sama Maria mencari, Keyla keburu nemuin lilin, dan nyelipin surat itu di lubang pohon tanpa sepengetahuan mereka,” tambah Danu menerangkan.

“Setelah eksekusi selesai, jaket Keyla sengaja nggak ikut ditimbun dalam rongga, tapi dibawa pulang ke kemah dan ditaruh di sembarang tenda buat membingungkan kalian,” imbuh Kezia sesuai dengan keterangan yang telah diberikan Ayu dan Maria.

Bagaimana dengan seragam olahraga yang terlipat di balik semak-semak? Kenapa Keyla berganti baju? Mengenai itu, Kezialah yang punya jawabannya.

“Itu gaun ulang tahun. Tanggal 1 Januari bertepatan dengan ulang tahun kami. Walau beda karakter dan cara berpakaian, Mama tetep pesenin gaun yang sama untuk ulang tahun kami setiap tahunnya. Pasti anak itu menganggap pertemuan rahasia sama Danu menjelang pergantian tahun sebagai momen yang sangat spesial, karena itulah gaun itu dipakainya. Padahal Mama udah ingetin kalau gaun itu cuma menuh-menuhin tas doang, tapi tanpa alasan yang jelas dia maksa pengen bawa itu ke kemah. Ternyata itu jadi pakaian terakhir yang dipakainya sebelum meninggal.”

Sama sepertiku, Kezia pun merasakan insting yang kuat bahwa saudari kembarnya telah meninggal, dibunuh oleh seseorang dari lingkungan pergaulannya sendiri. Keyla sering mendatanginya dalam mimpi, menangis sedih di pinggir telaga dan memohon supaya tidak ditinggalkan. Kezia bingung. Bukankah Keyla sendirilah yang justru telah meninggalkannya? Lama-lama dia berpikir, mungkin jasad Keyla masih ada di sekitar telaga dan menunggu untuk ditemukan. Sejak itulah Kezia mulai mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit. Dia juga mengusulkan kepada keluarganya untuk membangun vila di dekat telaga supaya Keyla tidak merasa ditinggalkan. Bukan hanya keluarga, Kezia berharap sesekali teman-teman Keyla juga dapat diajak berlibur di sini, karena itulah vilanya dibuat sangat besar.

“Kalian pasti heran kenapa Keyla nggak pernah cerita kalau dia punya kembaran. Dia yang punya ide itu. Kelas 3 SMP, tiba-tiba dia ngajak aku ninggalin lingkungan lama, lalu berpisah nyari lingkungan baru masing-masing. Katanya kalau nggak ada yang tau kami kembar, mungkin suatu hari bakal ada gunanya. Kupikir dia gila, pasti nanti dia minta tuker peran kalau ngadepin kesulitan. Tapi kurasa seru juga, makanya itu aku setuju.”

Keyla dan Kezia diciptakan dengan kemiripan fisik nyaris 100%, tapi menurut Kezia sifat mereka bertolak belakang. Keyla itu rapuh, lemah, penakut, terlalu baik, mudah jatuh kasihan pada orang lain dan sakit-sakitan.

Sejak kecil Kezia selalu menjadi pelindungnya. Setiap kali ada teman yang nakal, Kezialah yang rela berkelahi untuk membela saudarinya. Dan Kezia pula yang paling sibuk kalau Keyla pingsan di sekolah saat jam olahraga.

Karena terbiasa bergantung, susah bagi Keyla untuk lepas dari Kezia sehari saja. Juga karena semua orang terlanjur tahu bahwa Keyla tidak bisa apa-apa tanpa Kezia, jika sekali saja Kezia tak ada, mereka malah sengaja ramai-ramai mengganggu Keyla. Keyla tersiksa hidup begitu, karena itulah dia memutuskan untuk berpisah dari saudarinya untuk memulai kehidupan yang berbeda.

Orangtua mereka memiliki lebih dari satu rumah, masing-masing satu pada setiap kota yang menjadi tempat perluasan bisnis mereka. Kezia dan Keyla menghabiskan masa kecil mereka di Jakarta. Setelah memutuskan untuk berpisah, Kezia pindah ke Palembang sedangkan Keyla pindah ke kota kami. Sementara itu orang tua mereka tetap seperti semula, mondar-mandir kesana-kemari sesuai keperluan bisnis mereka.

“Sebelum pergi kemah, Keyla telepon aku. Dia bilang kami diciptakan dengan sifat bertolak belakang bukan untuk saling melengkapi, tapi untuk saling mempelajari kelebihan satu sama lain, membuang sebanyak mungkin kelemahannya. Karena suatu hari nanti kami harus menghadapi seleksi alam. Seleksi alam? Aku nggak ngerti maksudnya, tapi kucuekin aja. Mungkin dia mulai sok dewasa karena bisa bertahan cukup lama tanpa bantuanku. Tapi ternyata itu adalah pesan terakhir. Mungkin dia udah punya firasat.” cerita Kezia dengan mata berkaca-kaca. “Seleksi alam... ternyata itu beneran terjadi. Sekarang tinggal ada aku sendiri. Keyla... nggak lolos seleksi.”

Memang, tak lolos seleksi. Tapi itu baginya, tidak bagiku. Di mataku, mereka berdua sama saja. Aku sadar tak seharusnya aku merasa begini, tapi melihat ada sesosok manusia berwujud sama persis seperti Keyla, hatiku merasa terancam. Terancam hancur untuk kedua kalinya.

 

***(Bersambung)

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya