[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 8

Mendendamkah kau padaku?

 

Hari Senin itu, aku kalang kabut diburu waktu untuk menyiapkan keperluanku. Semalaman aku nyaris tak tidur, bergantian dengan ibuku menjaga Rian di rumah sakit. Sebenarnya aku ingin tidak masuk sekolah saja, tapi hari itu ada ulangan Bahasa Inggris.

Guru yang bersangkutan selalu memberikan soal dua kali lipat lebih banyak pada siswa yang ulangannya menyusul. Jadi terpaksa aku berangkat juga walau persiapanku kacau. Entah apa itu, tapi aku punya firasat ada sesuatu yang terlupakan, entah itu PR atau mungkin barang tertinggal.

Aku memang selamat sampai di pintu gerbang tepat pada saat bel tanda masuk berbunyi, namun nyaliku menciut tak lama kemudian begitu melewati lapangan. Beberapa orang siswa sudah bergerombol di sana dengan seragam lengkap.

Hari Senin, itu artinya ada upacara. Ya, upacara, kegiatan yang sesekali menjadi nasib buruk bagi siswa yang kurang disiplin atau pelupa, seperti aku kali itu. Aku tidak membawa topi. Lupa, bukannya sengaja. Tapi tim penghukum dibentuk bukan untuk mendengarkan alasan. Aku tetap akan mengikuti upacara di barisan terpisah, kemudian menerima bonus hukuman setelah upacara selesai.

Biasanya membersihkan WC, menyapu pekarangan, mengeruk daun-daun kering di selokan atau mengepel aula yang super luas itu. Dan itu artinya, soal ulangan Bahasa Inggris untukku akan dua kali lipat lebih banyak, karena jadwal untuk mata pelajaran itu adalah tepat setelah upacara.

Ingin menangis aku rasanya. Percuma saja susah payah ke sekolah kalau begitu jadinya. Sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram cat pula. Kalau tahu akan begitu, lebih baik aku istirahat di rumah atau tetap di rumah sakit saja.

“Kenapa, Rein?” Tanya Maya menghampiriku saat aku terduduk lesu di bangku beton pinggir koridor depan kelas, sementara siswa-siswa lain sudah mulai berbondong-bondong menuju lapangan.

“Nggak bawa topi.”

“Kok bisa?”

“Buru-buru. Aku baru pulang jam 6 dari rumah sakit. Niatnya maksa masuk biar nggak ketinggalan ulangan, eh jadinya malah sengsara tiga kali lipat. Badanku udah capek-ngantuk begini, dihukum, ulangan pun bakal nyusul. Sial.”

Maya menghela napas iba. “Sori, aku nggak bisa bantu apa-apa. Tabah aja!”

Tabah? Sama sekali tak membantu. Dengan malas aku beringsut, bersiap bangun dari dudukku dan menyusul Maya yang sudah lebih dulu bergegas.

Ugh, seluruh tubuhku pegal-pegal. Ayahku belum pulang dari dinasnya di luar kota, Eyang dan Bulik masih dalam perjalanan dari Surabaya, sejak hari Sabtu akulah yang harus mondar-mandir mengurus ini-itu sementara ibuku stand by di sisi Rian. Yeah, demi keluarga, akan kucoba mengikhaskan nasib sialku.

Tiba-tiba sebuah tangan menyorongkan topi tepat di depan wajahku. Aku terbelalak. Tuhan memang benar-benar Maha Pengasih. Malaikat seperti apakah peranta­ra-Mu kali ini? Aku mendongak senang.

Tapi rona sumringahku sirna seketika begitu melihat wajah sang perantara. Malaikat itu tampan, tapi tatap dinginnya sangat menyebalkan, belum apa-apa saja sudah membuatku berprasangka buruk.

“Cuci dulu yang bersih sebelum dibalikin, pake pewangi yang banyak! Jangan sampai aku yang udah berbaik hati ini malah terinfeksi alergi,” pesannya tanpa perasaan.

Dia sudah keburu berlalu sebelum aku sempat menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Merasa geram, tapi apalah daya aku memang sangat memerlukan bantuannya. Jadi pada akhirnya kuputuskan untuk menerima saja perlakuan tengiknya, termasuk jika setelah itu dia akan menganggapku berhutang budi lalu semakin merasa bebas menindasku. Tak apa, toh bukan baru sekali dua kali aku ditindas. Sudah biasa.

Dia adalah April. Seragamnya putih-putih pagi itu, tanda bahwa dia tengah mendapat giliran menjadi petugas upacara, jadi tak memerlukan topi abu-abu. Aku tidak membiarkan diriku besar kepala, paling-paling dia hanya ingin mengendalikanku saja dengan kebaikan-kebaikannya itu.

Tapi apa yang dilakukannya malam ini, bertahun-tahun kemudian, di tempat terpencil yang menjebak kami di dalam permainan reuni berbahaya entah apa, membuat bangunan prasangka negatif yang selama ini berdiri kokoh itu runtuh perlahan. Ini jelas bukan untuk mengendalikan atau menindasku semakin bebas. Setelah acara ini usai, kami akan kembali tenggelam di kehidupan kami masing-masing, tak ada kesempatan untuk melakukan penindasan semacam itu lagi.

Lantas untuk apa dia repot-repot membahayakan dirinya hanya untuk menyelamatkanku? Membawaku menepi dari telaga, dalam situasi yang gelap gulita dan hawa dingin yang membekukan seperti tadi itu, jelas bukan hal yang mudah.

Dia memerhatikanku, sejak dulu. Dalam keadaan membenciku pun alam bawah sadarnya mengisyaratkan naluri untuk selalu melindungiku, mengkhawatirkan apa pun yang kulakukan, mengawasiku dari jauh dan memastikan aku baik-baik saja. Mungkinkah ini adalah pertanda bahwa dia adalah... jodohku?

Oh, astaga! Apa yang sedang kupikirkan? Helo..., wake up, Reyna! Terlalu banyak menelan air rupanya membuat otakku tergenang, hingga tak dapat lagi berfungsi dengan baik.

Kutengok April yang duduk di sampingku tanpa berkata-kata, pandangannya menerawang lurus ke depan. Aku khawatir diam-diam dia sedang menyesali tindakannya. Menjagaku dalam situasi seperti ini pastilah merepotkan.

“Balik aja ke vila! Aku sendirian di sini nggak apa-apa,” ucapku padanya tak enak hati. Toh pria yang tadi kami jumpai di pos ronda ini sedang mencarikan tumpangan di rumah penduduk.

“Aku udah bilang tadi, aku akan jagain kamu sampai pagi.”

“Apa nggak merepotkan?”

“Kamu emang sering merepotkan. Tapi apa lantas itu bikin aku kapok?”

Lagi, aku terdiam. Tak mengerti sikapnya, tapi juga tak punya kesempatan untuk mempertanyakan, karena dari arah pemukiman nampak sesosok tubuh berjalan mendekati kami. Pria yang tadi.

“Sudah saya mintakan izin ke kepala kampung. Mari silakan menumpang di rumah saya!” Ajak pria  itu memberi isyarat kami untuk mengikutinya.

Kami beruntung karena saat tiba di desa ini tadi, masih ada dua orang di pos ronda. Menurut mereka desa ini aman dari tindak kriminal, jadi tidak perlu dijaga ketat semalaman. Tadi mereka hanya sedang keasyikan bermain catur saja hingga tidak sadar ternyata sudah dini hari.

Tapi bukankah tadi listriknya padam? Dengan penerangan apa mereka bermain catur hingga seasyik itu? Aku tidak melihat ada obor atau pun alat penerangan lain di sekitar pos ronda. Apa mungkin... Oh! Aku mengerti sekarang. Sangat mengerti. Listrik di vila memang sengaja dipadamkan.

“Pril, “ bisikku tercekat sambil meraih lengan April menyuruhnya berhenti.

“Kenapa?” Tanyanya menolehku bingung.

“Listrik di sini nggak mati. Kamu inget tadi, orang itu bilang keasyikan main catur dari jam 9?”

April nampak tekejut, tapi hanya sesaat setelahnya segera mengisyaratkanku untuk diam dan mengikuti saja pria yang sedang membawa kami ke rumahnya.

**

Sunyi. Detik demi detik bergulir pelan. Kutoleh April di sampingku diam-diam. Dia masih setia menemaniku, masih menyediakan dirinya untukku, hanya untukku, hingga pagi datang.

Hmph, aku jadi bingung harus merasa senang atau malah takut. Ini pertama kalinya kumiliki dia hanya untukku seorang, berdua saja di tempat yang tak memungkinkan datangnya gangguan. Tapi malam ini saja jelas tak cukup untukku. Aku akan menginginkannya lagi. Kebersamaan singkat ini hanya akan menyusahkanku di lain hari, menyisakan kerinduan yang akan semakin mencekik leherku.

Kubetulkan letak kayu bakar pada tungku untuk melarikan rasa gelisah. April masih tetap diam. Kami sudah bersama kurang lebih satu jam, tapi kecanggungan antara kami tak kunjung mencair.

“Suratnya, Pril,” kataku, mengingatkannya pada lipatan kertas yang telah berhasil kami ambil dari lubang pohon meranggas itu, dan sekarang disimpan di saku jaketnya.

“Oh iya,” sahut April segera mengeluarkan benda yang kumaksud itu, lalu menyerahkannya kepadaku. Tapi bukan hanya benda di sakunya, jaketnya pun dia lepaskan dan turut diserahkannya. “Kamu ganti pake ini aja, lepasin baju basahmu!”

Aku memandanginya terpana. “Tapi... kamu nanti...”

It’s okay, kaosku kering kok. Tadi sempet kulepas dulu sebelum nyebur. Udah cepetan ganti, nanti masuk angin!”

Ah, aku tak tahu harus berkata apa lagi. Kebaikannya malam ini begitu sempurna. Bagaimana kalau aku tidak dapat melupakannya seumur hidup?

“Di situ,” tunjuknya pada salah satu sudut dapur yang agak gelap. “Tenang aja, aku nggak bakalan ngintip.”

Jaket hoodie tebal berwarna abu-abu ini masih menyisakan aroma parfum. Ada sensasi aneh ketika pakaian ini telah terpasang. Sebuah kehangatan yang menenangkan menjalari sekujur tubuhku, juga hatiku, mendesirkan lebih cepat aliran darahku. Rasanya seperti sangat dekat, seolah aku sedang berada di dalam pelukannya. Ah, konyol.

Aku kembali menduduki tempat duduk pendek di depan tungku, setelah lebih dulu memungut lipatan kertas yang sebelum berganti baju tadi kuletakkan di atasnya. Warna kertas ini sudah tidak putih lagi, tergores warna coklat dari lapukan kayu pada beberapa bagian. Saat kubuka, sederet tulisan tak rapi terpampang di depan mataku. Jadi benda yang membuat penasaran ini ternyata adalah sepucuk surat? Seperti ini bunyinya:

Dear Keyla,

Temui aku jam 11 malam nanti di pinggir timur telaga. Jangan telat ya. Ada yang mau kuomongin sama kamu. Bukan cuma itu, aku juga ingin melewatkan detik-detik pergantian tahun berdua saja sama kamu di tempat yang hanya kita berdua yang tau.

Pergilah diam-diam, jangan sampai ada yang lihat. Kalau kepergok orang di jalan, pura-puralah turun ke desa dulu. Kamu inget persimpangan tempat regu kamu istirahat waktu olahraga tadi pagi, kan? Dari situ kamu ikutin aja taburan bunga-bunga kuning. Itu tanda petunjuk arahnya. Nanti akan ada cahaya lilin. Di situlah aku berada. Jangan sampai nggak dateng ya, ini momen spesial. Oh ya, setelah kamu baca, tolong segera lenyapin surat ini biar nggak sampai kebaca orang lain.

Kutunggu dengan segenap rinduku.

 

                                                                                                   Danu.

 

Aku tercekat, tak percaya. Sungguh tak percaya.

Danu?

Ya Tuhan!

“Apa isinya, Rey?” Tanya April dengan tatap menyelidik.

Aku tak menjawab. Kubaca sekali lagi surat itu dari awal sampai akhir. Tak berubah. Nama pengirim itu... ya Tuhan, jangan Danu! Kumohon...  Danu tak mungkin melakukan itu.

April merebut kertas dari tanganku tanpa bertanya lagi. Sementara dia membaca, aku mengingat-ingat lagi segala hal yang kutahu tentang Danu. Dia baik hati, ramah, tidak pilih-pilih teman dan suka membantu.

Kepadaku, sikapnya sudah seperti saudara, bahkan orang tuaku sampai memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Menyakiti orang lain dengan ucapan saja nyaris tak pernah dilakukannya, bagaimana mungkin dia menghabisi Keyla? Apa alasannya? Dan tadi... ugh, jangan sampai aku malah jadi bunuh diri karena syok mengetahui ternyata dialah yang bermaksud menghabisiku.

“Jangan panik gitu! Masih perlu waktu lebih jauh untuk memastikan bahwa ini betulan tulisan tangan Danu,” kata April dingin.

Aku mengamati wajahnya. Terlihat aneh. Mengapa mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Danu, selalu menimbulkan reaksi seperti itu dari orang ini?

“Tapi menurutmu mungkin nggak sih dia ngelakuin itu? Termasuk nyeburin aku ke telaga tadi?” Pancingku kemudian, untuk mencari tahu masih sebesar apa kadar cemburu seorang April setelah delapan tahun berlalu.

“Kenapa nggak? Meskipun dia baik di luarnya, hati orang siapa yang tau? Lagian toh kejahatan nggak selalu diawali dengan rencana. Bisa aja terjadi karena ketidaksengajaan atau kekhilafan mendadak. Dan karena takut terbongkar, terpaksa dia melenyapkan juga saksi mata dan orang-orang yang mungkin sedikit banyak tau mengenai itu.”

Ah, hasil pancinganku terlalu berlebih. Nada bicara dan ekspresi wajahnya jelas masih sarat letupan cemburu. Dan melihat itu, cemburuku pada Keyla berkobar lagi.

“Dari mana kamu tahu ada surat ini di pohon itu?” Tanyanya tiba-tiba, menatapku tajam penuh selidik.

“Soal itu? Oh, uhm...”

“Dari mana?” Desaknya tak sabar.

Haruskah kujawab jujur kalau aku mendapatkan petunjuk dari mimpi? Sangat absurd dan menggelikan. Jangankan April, teman-teman dekatku saja mencemoohku, menganggapku mengada-ada.

“Kelihatannya orang yang nyeburin kamu itu nggak tahu tentang keberadaan surat ini. Buktinya surat ini masih ada di sana. Bukannya seharusnya dia ambil setelah kamu berhasil dia ceburin?”

Jadi, mungkinkah mereka orang yang berbeda? Tapi... ah, otakku tak dapat berpikir jernih. Ini terlalu rumit, nampak mustahil dipecahkan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jadi, kamu tau dari mana, Reyna, kalau ada surat ini di lubang pohon? Ini bukan buatanmu sendiri, kan?”

Apa??

“Kamu... menganggapku terlibat, Pril?” Tanyaku tercekat.

“Aku nggak bilang begitu. Tapi apa susahnya sih menjawab pertanyaanku tadi? Kenapa kamu takut jujur? Atau jangan-jangan... ada seseorang yang lagi berusaha kamu lindungi?”

“Ck! Jadi kita ini satu kubu tapi saling mencurigai ya,” geramku.

“Saling? Kamu nggak punya alasan buat mencurigaiku,” sangkalnya.

“Kalau gitu katakan alasanmu nolong aku! Khawatir, huh? Atas dasar apa kamu mengkhawatirkanku? Masih ada Dita, Ayu, Maria, Meilia, Maya, dan temen-temen deketmu yang lain untuk dikhawatirkan. Kenapa harus aku?”

“Soal itu, kukasih tau nanti.”

“Oke. Kalau gitu aku juga ngasih jawabannya nanti. Adil, kan?”

April menghela napas panjang, seperti berusaha menyabarkan diri. “Nggak usah dijawab kalau emang nggak mau jawab. Oke, aku percaya sama kamu.”

Percaya? Aku mengawasinya penuh selidik saat dia menyibukkan diri membetulkan letak kayu bakar. Ekspresinya sedikit murung. Ada apa sebenarnya dengan orang ini? Aku kesulitan memahaminya.

“Kenapa kamu berubah-ubah gitu? Dulu menuduhku, sekarang bilang percaya sama aku. Yang mana sebenernya warna aslimu?” Tanyaku masih sarat prasangka negatif dan aroma kejengkelan masa lalu.

Lagi, dia menghela napas panjang. “Tentang semua yang dulu, aku minta maaf,” ucapnya pelan, tanpa memandangku.

Aku tertegun. April meminta maaf padaku? Satu lagi hal aneh terjadi di malam yang memang sudah sangat aneh ini. Tak ada habis-habisnya aku didera rasa bingung.

“Gimana analisamu?” Tanyaku mengalihkan topik, setelah kebisuan mengambil alih beberapa saat. “Mulai dari surat undangan, syair yang tertulis di sana, hadiah liburan gratis ini, lokasi dan pemilik vila yang dirahasiakan, listrik yang dimatikan, hantu-hantu itu, surat ini, orang yang nyeburin aku...”

“Aku juga bingung,” jawabnya tampak berpikir. “Mungkin emang ada hubungannya sama Danu.”

“Kamu yakin ini tulisan tangannya?”

“Nggak tahu. Tapi lebih mudah membuat perumpamaan dari data yang udah ada dulu.”

“Tapi buat apa Danu membunuh Keyla? Mereka sama-sama orang baik, hubungan mereka juga baik. Selain itu mereka saling menyukai. Buat apa Keyla dibunuh?”

“Bukan pembunuhan berencana.”

“Jadi?”

“Lelaki sama perempuan, tengah malam berada di tempat sesepi itu, terlebih keduanya punya ketertarikan satu sama lain, kekhilafan bisa aja terjadi.”

“Maksudmu?”

“Kamu tahu apa maksudku. Danu membunuh Keyla mungkin karena panik, atau karena merasa nggak siap untuk bertanggung jawab. Bagaimana pun juga saat itu mereka masih kecil, masa depan mereka masih panjang.”

Wah!! Berani sekali April berpikiran seperti itu.

“Itu perumpamaan subjektif namanya. Danu bukan orang seperti itu!” Bantahku tak terima.

April memandangku tak senang. “Kamu kenapa sih? Namanya juga spekulasi. Lagian akrab itu bukan berarti kamu kenal dia luar dalam 100%. Kamu lupa kalau Danu juga manusia biasa, yang bisa salah? Asal tau aja, pembelaanmu itu juga subjektif.”

“Lebih subjektifan mana sama kamu? Spekulasimu itu lebih terdengar seperti kecemburuan.”

April terdiam. Dan sudah sepatutnya dia diam. Cemburunya itu memang sangat kelihatan, pada ekspresi wajah dan sorot matanya.

“Buat apa sih kamu cemburu?” Tanyaku dengan intonasi yang sudah menurun walau masih agak ketus. “Toh Keyla juga udah nggak ada.”

“Kamu juga jangan terlalu ngotot belain Danu!” Tukasnya masam. “Kalau teka-teki ini mau cepet clear, cobalah netralin diri. Jangan menutup kemungkinan dengan alasan pribadi. Walaupun mungkin kamu suka sama dia, kesampingkan dulu soal perasaanmu!”

“Ap-apa?” Tanyaku terkejut. “Kata siapa aku suka sama dia?”

“Iya juga nggak apa-apa. Toh Keyla udah nggak ada.”

“Tapi itu nggak bener!”

“Mana kutahu?” Sahutnya tak acuh. “Lagian itu juga hakmu. Siapa yang ngelarang?”

Ah, ya. Kenapa aku harus repot-repot menyangkal? Itu bukan urusannya. Lagipula itu bagus untuk kepala besarnya, supaya tidak terus menyangka bahwa aku tergila-gila kepadanya, walau pun memang benar.

“Oke, aku netral sekarang. Jadi, kalau kita anggap yang nulis ini beneran Danu, terus apa hubungannya sama segala keanehan yang terjadi di vila?”

“Mungkin Danu pemilik vilanya.”

“Jelas nggak mungkin,” sanggahku. “Aku kenal banget keluarganya. Mereka cuma kalangan menengah biasa. Sedangkan yang punya vila itu, udah pasti orang kaya raya.”

“Kalau gitu pisahin dulu soal surat ini, pelaku yang nyeburin kamu, dan hilangnya Keyla. Anggep aja Danu pelakunya dan nggak ada hubungannya sama acara liburan. Jadi, sampai menggiring kita ke tempat ini, sebenarnya si pemilik vila punya skenario apa?”

“Oh iya, soal ‘menggiring’ itu, kenapa kalian kompak tidur pules waktu di bus? Apa yang kamu inget sebelum tidur? Aku udah tidur duluan, jadi aku nggak tau.”

“Aku nggak tahu yang mana persisnya yang ada obat tidurnya. Yang kuingat sebelum ngantuk, sopir itu membagikan teh kotak sama kue-kue. Ada permennya juga.”

Sudah kuduga kalau mereka tertidur karena hal semacam itu. Kalau tidak dibuat demikian, tentunya akan ada satu-dua orang yang memprotes saat tahu ke arah mana kami dibawa. “Ini penculikan massal namanya.” gumamku geram.

“Tapi motifnya nggak mungkin pemerasan. Dia udah kaya, kan?”

“Kalau gitu, mau diapain kita? Dijadiin tumbal ilmu hitam? Persembahan untuk upacara sekte? Atau mau dibantai cuma sekadar untuk kesenangan?”

“Kalau dihubungkan sama hantu-hantu itu, mungkin si pemilik vila cuma orang yang berselera humor aneh. Dia mungkin pengen seru-seruan dengan nakut-nakutin kita.”

“Kalau gitu kita balik ke vila aja! Kita tangkepin hantu-hantu itu. Pasti mereka berkeliaran di sekitar balkon sama halaman.”

Tapi April menggeleng tak setuju. “Jangan lupa, statusmu sekarang adalah udah tenggelam di telaga. Sebaiknya biarin tetep begitu sampai vila terbebas dari kegelapan.”

Hm, ya, sayangnya begitu. Sementara berdiam di sini tidak dapat mencegah atau memperingatkan teman-teman akan hal-hal buruk yang mungkin mengincar mereka. Hanya aman untuk diri sendiri, tidak adil.

“Harusnya mereka udah merasa aneh sejak membaca syair di balik surat undangan itu. Kalau mereka aware, setidaknya masing-masing orang udah punya persiapan penyelamatan diri. Nggak kaya gini. Heran, kenapa sih mereka pada ndablek semua?” Gerutuku sebal.

“Kita jadi waspada karena kita belum melupakan soal menghilangnya Keyla. Sedangkan mereka nggak ambil pusing. Mereka nggak punya cukup kepedulian untuk Keyla, seperti kepedulian kita.”

Kita? Ah, bukan ‘kita’ tapi dia. Aku memikirkan Keyla hanya karena mimpi-mimpi itu, nyaris tidak lebih. Berbeda dengannya, yang mungkin masih menyimpan perasaan yang sama untuk Keyla, meski delapan tahun telah berlalu.

“Aku nggak kok. Kata temen-temen, ini cuma paranoid. Mungkin kamu yang masih punya kepedulian sebesar itu.”

April memandangiku dengan tatapan yang mengisyaratkan rasa tak nyaman atas ucapanku. Aku tak ambil pusing, bahkan meski pun dia menyangka aku membenci Keyla.

“Kamu baca syair itu, kan?” Tanyaku melarikan diri dari topik sebelumnya. “Juga mengenai inisial KA di bawahnya, kamu udah mengira-ngira siapa orangnya? Coba kita inget-inget lagi semua temen kita yang berinisial KA!”

“KA...,” ulang April masih belum juga mengalihkan tatapannya dariku. “Di kelasku nggak ada yang nama depannya pake huruf K. Kalau dari kelas lain, aku cuma bisa inget Kirana Amalia. Tapi dia juga nggak mungkin. Apalagi orangnya lagi dirawat di rumah sakit. Dari angkatan di atasku, Khoirul Imran. Bukan KA berarti. Selebihnya, seingetku nggak ada. Kamu sendiri?”

Baik dari kelasku maupun kelas-kelas lain seangkatanku, tidak ada inisial KA yang bisa kuingat. Kecuali... Ah, sebisa mungkin aku sudah berusaha menyingkirkan nama itu dari benakku, tapi muncul dan muncul lagi tanpa permisi. Dan setelah sekian detik berlalu tanpa dapat menghalaunya lagi, dengan berat hati akhirnya kuucapkan juga. “Keyla Anastasia.”

Keteganganku terlihat mendadak menular kepada April. Kepalanya langsung tegak. Tatapannya terasa menikam. “Keyla udah mati,” desisnya, menolak kemungkinan itu mentah-mentah.

“Mungkin belum. Dan dia mau balas dendam. Jangan lupa, dia itu kaya raya,” sahutku yang lebih terasa menakut-nakuti diriku sendiri. Aku tak merasa melakukan kesalahan, tapi kemungkinan Keyla masih hidup seperti lebih menakutkan bagiku dibandingkan bergentayangannya hantu-hantu itu. Untuk alasan yang egois, tentu.

“Jangan ngaco! Emang di mana dia sembunyi selama delapan tahun ini? Di dalem gua tengah hutan?”

“Tapi kalau arwah gentayangan itu mustahil, pikirmu siapa wujud Keyla yang dilihat Syifa sama Sigit kalau bukan Keyla beneran?”

April memandangiku serius, sementara aku berdoa dalam hati semoga Keyla betul-betul sudah mati, yang kemudian membuatku tak mengerti akan pikiran jahatku sendiri.

“Dan Keyla juga yang mendorong kamu ke telaga?”

Aku tersentak, terbelalak. Ulu hatiku mengejang. “Oh, itu...,” sahutku terbata.

“Mungkin nggak?”

Untuk apa Keyla melakukan itu? Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa, sungguh. Yeah, walaupun kadang aku berpikiran jahat seperti barusan. Tapi demi Tuhan, tak pernah seujung kuku pun aku menyakitinya.

Tapi itu hanya jika Keyla tahu kebenarannya. Bagaimana jika dia menyangka aku terlibat dalam persekongkolan mencelakainya, dikarenakan rasa cemburuku?

Maka jawaban dari pertanyaan April itu tidak dapat kugiring ke arah yang kumau. Mungkin atau tidak, Keyla berusaha mencelakaiku? Jawabannya bisa saja... mungkin.

Benar, mungkin.

Ya Tuhan!

 

***(bersambung)

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya