[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 9

Jebakan di dalam jebakan

“Dan Keyla juga yang mendorong kamu ke telaga?”

Pertanyaan April itu memang hanyalah sekadar asumsi, usaha menebak-nebak yang tak pasti. Tapi aku merasa beku. Pori-pori dahiku berkeringat dingin. “Aku nggak ngelakuin apa-apa sama dia, sumpah! Kami emang sempet ada masalah, tapi beneran aku nggak tau apa-apa.”

“Kamu kenapa, Rey?” Tanya April heran melihat kepanikanku. “Masalah apa yang kamu maksud itu?”

“Aku... uhm, kuharap yang nyelakain aku itu bukan Keyla. Soalnya, kalau itu bener dia, berarti dia nyangkain aku bantuin Danu untuk berbuat buruk sama dia. Mungkin... mungkin dia pikir aku dendam. Itu... bukan begitu. Aku emang marah, tapi aku nggak pernah punya niat...”

Aku mendadak tak sanggup melanjutkan kalimatku ketika kusadari April menatapku curiga.

“Kamu kenapa sih kok ketakutan gitu?”

Aku menggeleng gelisah. Pertanyaan itu, aku menangkapnya dalam beberapa versi. Pertama peduli, seolah dia berada di pihakku dan siap melindungiku apa pun yang akan terjadi. Kedua curiga, ingin mendesakku untuk membuat pengakuan. Ketiga cemooh, apa pun masalahku sebenarnya dia tak terlalu peduli.

“Rey!” Panggil April semakin penasaran. “Ada masalah apa sih sebenernya antara kamu sama dia?” Selidiknya tak menyerah.

“Kamu tau apa masalahnya,” jawabku tak senang.

“Kamu benci sama Keyla, karena aku suka sama dia?” Tebaknya hati-hati.

Oh tidak, sepintas memang terdengar hati-hati, tapi inti kalimatnya tak mempertimbangkan perasaanku. Menohok dengan telak.

“Aku marah, bukannya benci!”

“Karena aku suka sama dia?”

Besar kepala! Apakah aku harus membahas berulang-ulang tentang hatiku yang telah dipatahkannya ini? Untuk menegaskan keunggulannya dibandingkan lelaki lain? Sombong!

“Karena dia ingkar janji.”

“Tentang?”

“Tentang sebuah rahasia. Kamu pikir aku nggak sadar ngaca sendiri, sampai kamu suruh segala? Bukan aku yang nyuruh dia nyampein soal perasaanku, tapi justru dia yang udah lancang bocorin rahasiaku. Ngerti kamu?” Jawabku kesal.

April tak menjawab.

“Aku bukan pungguk nggak tau diri merindukan bulan seperti yang kamu pikir. Aku sadar diri, makanya kusuruh dia jangan bilang-bilang. Tapi dia ingkar janji. Itu kesalahan besar. Dan semakin hari semakin besar, karena aku terus-terusan harus nerima perlakuan buruk dari kamu.

Itu makanya aku marah sama dia. Jadi jangan salahin aku kalau keinginanku untuk mengungkap misteri hilangnya dia itu cuma buat pembuktian sama kamu, bukan karena peduli!”

“Rey...,” sahutnya terperangah.

“Aku nggak ngelakuin apa-apa. Dia bahkan udah ngilang duluan sebelum aku sempet marah-marah. Selama kemah itu kami sibuk sendiri-sendiri, jadi nggak sempet bareng. Aku malah pengen damprat dia kalau orangnya masih ada. Sayangnya kamu telat ngasih tau kalau dia udah bocorin rahasiaku,” lanjutku berapi-api.

April menghela napas panjang.

Kehabisan kata-kata, huh? Merasa bersalah? Merasa jahat? Rasakan! Dia pantas menerimanya.

“Jadi udah jelas, kan? Aku marah, bukannya benci. Karena, sekali pun semua cowok di dunia ini suka sama dia, aku bisa terima itu. Aku emang cemburu, iri kadang-kadang, tapi aku tetep sadar diri. Aku bukan tipe yang lantas dengki karena cemburu. Itu yang selama ini kamu nggak tau,” serangku habis-habisan.

“Apa aku melukaimu sebanyak itu, Rey?” Tanyanya tertegun.

Aku membuang muka. Ternyata setelah semua pendaman amarah itu kutumpahkan, aku malah jengah sendiri dengan ledakan emosiku tadi. “Ah udahlah, kembali ke soal tadi,” jawabku lagi-lagi melarikan diri dari topik.

“Aku minta maaf,” katanya, tak mau beranjak dari pembicaraan semula.

“Udah nggak penting lagi sekarang,” jawabku angkuh. Dan sudah terlambat, hatiku sudah terlanjur terkoyak di sana-sini selama rentang waktu itu. Rasa sakitnya masih terlalu jelas untuk diingat.

“Karena udah ada orang lain?” Tebaknya, terdengar begitu jauh.

Orang lain? Maksudnya Danu? Dia pikir begitu? Tapi biar sajalah, aku tak ada keinginan untuk menjawabnya. “Ayo balik ke vila! Aku penasaran pengen lihat siapa yang gelagatnya paling gugup kalau kita tanyai mereka satu-satu soal surat ini.”

“Bali ke vila tanpa rencana yang mateng, itu tindakan bodoh namanya. Bahkan rencana mateng aja belum tentu berjalan lancar sesuai keinginan.”

“Itu tugas kamu buat nyari caranya!” Tukasku jengkel. “Bukannya jauh lebih bodoh kalau kita berdiam diri di sini cari aman sendiri, tanpa berbuat apa pun?”

“Emangnya kamu mau ngelakuin apa?” Tantangnya dengan intonasi yang tak kalah jengkel. “Keselamatanmu sendiri aja terancam. Udah, dengerin aja apa kataku, tunggu di sini sampai pagi!”

“Kamu gila? Gimana kalau di vila sedang terjadi sesuatu yang buruk? Gimana kalau mereka lagi ngadepin bahaya?”

“Biar mereka berusaha sendiri! Kalau pun kita ke sana juga belum tentu bisa berbuat banyak. Kita ‘kan bukan superhero. Udahlah, nggak usah sok jagoan! Bisa nyelametin diri sendiri aja udah bagus. Nggak perlu maksain diri, sesuai kemampuan aja!”

Sok jagoan? Aku tersinggung dengan ucapannya itu. Segera aku bangkit dari dudukku, bersiap pergi sambil berucap dingin. “Maaf, aku udah nyusahin kamu. Dan makasih, kamu udah nyelametin aku tadi.”.

“Mau ke mana?”

“Balik ke vila,” jawabku ketus. Sendirian! Akan kuhadapi apa pun yang terjadi di sana bersama teman-temanku. Lebih baik mati konyol di sana daripada menjadi orang dungu di sini, yang bebas diremehkan oleh makhluk tengik bernama April.

Tapi aku urung melangkah. Dia mencekal kuat pergelangan tanganku.

“Duduk!” Perintahnya tegas.

Aku membuang muka. “Kamu emang nyelametin aku tadi. Tapi bukan berarti aku lantas harus tunduk di bawah perintahmu.”

April menghela napas panjang. “Aku bukan memerintah, aku memohon. Oke, aku yang salah. Aku minta maaf. Jangan ke sana, please! Jangan bertindak gegabah lagi!”

Beberapa saat aku mempertimbangkan. Rasanya harga diriku terlalu tinggi untuk menyandarkan keselamatanku pada perlindungannya. Tapi mungkin dia benar, aku terlalu sok jagoan.

Tatapannya begitu memohon, dan sekali lagi aku luluh padanya. Menyebalkan!

**

 

“Listriknya belum nyala. Apa yang harus kita lakuin?” Bisikku tegang, menciut di belakang April sambil memegangi lengannya kuat-kuat.

Semua di sekeliling kami hitam pekat. Aku takut terpisah darinya, lalu harus menghadapi situasi seperti tadi lagi. Tidak, aku tak mau.

Kami meninggalkan rumah penduduk itu tanpa pamit. “Ntar siang aja balik ke sini lagi sekalian ngambil bajumu. Ini baru jam 4, nggak enak bangunin orang tidur,” kata April tadi.

Berdasarkan pertimbangan pada baris syair yang berbunyi : Kita akan mengulang kenangan, kita akan mengungkap tabir rahasia, kami mengambil kesimpulan bahwa liburan aneh ini memang sengaja dimaksudkan untuk membongkar rahasia. Rahasia apa lagi yang berhubungan dengan kenangan akan tempat ini, jika bukan mengenai Keyla? Mungkin dia memang masih hidup dan ingin meluruskan semuanya.

Rencananya aku akan masuk ke vila jika listriknya sudah menyala, sementara April mengawasi keadaan dari luar. Tapi kami terhenti di sini, belasan meter dari vila, karena ternyata listriknya belum menyala.

“Hei!” Seru April sedetik setelah munculnya cahaya di depan kami.

Aku terkejut. Lampu vila tiba-tiba menyala. Kenapa timing-nya tepat sekali? Jangan-jangan...

“Aku inget sesuatu!” Cetusku. “Ini pasti disengaja.”

“Apanya?”

“Listriknya pasti dinyalain karena kita balik ke sini membawa sebuah rencana. Inget di pos ronda? Kenapa orang itu kelihatan tenang-tenang aja, tanpa ekspresi kaget, waktu kita ceritain kalau listrik vila mati, para pekerja vila raib dan hantu-hantu berkeliaran? Dia pasti bagian dari tim. Dan sejak pertama kita dateng ke rumah itu, semua pembicaraan kita pasti dia denger. Gimana nih?”

April memandangku terperangah. Aku balas memandangnya panik. Dalam keremangan yang berasal dari cahaya lampu jalan depan vila, kulihat ekspresinya tampak berpikir keras.

“Udah, tetep jalanin rencana semula aja! Kalau listrik ini dinyalain karena kita dateng, berarti mereka memihak kita. Udah sana masuk!”

“Nggak!” Tolakku serta-merta. “Kita masuk bareng.”

“Kamu takut? Teriak aja kalau ada apa-apa. Aku pasti nyusul.”

“Bukan itu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa di luar sini. Lupain aja rencana tadi, ayo kita ke vila bareng!” Ajakku bersikeras.

“Nggak, Rey. Aku tetep di sini. Jangan kuatir, selamat atau pun celaka, semua itu atas seizin Tuhan. Tetep pada rencana semula, buruan sana kamu masuk!”

**

“Reyna?!” Seru Imam terkejut ketika membukakan pintu. Cukup lama aku menggedornya tadi, mereka tak langsung membukakan pintu untukku, mungkin dikira aku ini hantu.

“Dari mana kamu?” Tanya Rendy muncul di belakang Imam.

Aku tak langsung menjawab, lebih dulu melangkah masuk. Ruang depan penuh sesak. Melihat kemunculanku, sambutan mereka adalah tatapan penuh tanya. Aku merasa kikuk. Dan... oh, ya Tuhan! Aku tidak sempat berpikir jika memakai baju April akan membuatku jadi segugup ini, khawatir kalau mereka berpikir yang tidak-tidak.

“Dari mana, Rein?” Syifa mengulangi pertanyaan itu sembari bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menghampiriku.

“Apa yang terjadi di sini?” Aku malah balik bertanya.

“Jawab dulu! Kamu dari mana?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jengah rasanya diawasi begitu banyak pasang mata. Sebisa mungkin kucoba mengingat lagi apa yang harus kukatakan sesuai dengan yang telah aku dan April rencanakan tadi. “Dari pinggir telaga,” jawabku memasang wajah ketakutan.

“Ngapain ke sana?”

“Sama siapa?”

“Jam berapa keluarnya?”

Rendy memberi isyarat kepada semua orang untuk diam. Lalu dia memandangku tajam. “Kasih penjelasannya sekarang! Buat apa, sama siapa dan kapan kamu keluar, juga apa yang kamu lakuin di sana.”

“Aku cuma penasaran. Karena semuanya udah janggal sejak awal, kupikir hantu-hantu itu cuma bohongan. Aku keluar nggak lama setelah Dita pingsan, sengaja lewat balkon terus turun ke halaman. Tapi nggak ada hantu apa-apa tuh!”

“Nggak ada apanya? Di sini banyak,” tukas Tita serius.

“Hantu?” Ulangku terkejut.

“Hantu apa lagi tuh? Pocong? Kuntilanak? Suster ngesot?” Tanyaku sambil berpikir, mungkin anggota tim peneror itu banyak jumlahnya.

“Keyla,” jawab Rendy nampak tertekan. “Keyla, Keyla, dan Keyla. Di taman, di pinggir jalan, di tangga, di deket gudang, di koridor depan kamar... Yeah, ada dia di mana-mana.”

Deg!

Keyla? Napasku mendadak berat. Jantungku berdebar lebih keras. Sekujur tubuhku menegang konstan. Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Aku tak percaya arwah gentayangan. Tapi jika memang dia masih hidup, di mana dia bersembunyi selama ini?

Are you okay, Rein?” Tanya Syifa menyelidik.

“Ehm, temen-temen, walau pun nggak ketemu hantu, sebenernya di pinggir telaga tadi aku nemuin sesuatu,” laporku sesuai skenario awal.

“Sesuatu apa?”

“Terselip di lubang pohon. Secarik kertas, ada tulisannya, kayak semacam surat.”

“Apa isinya?”

“Nggak tau. Ada nama Keyla sih di situ. Tapi aku nggak baca kelanjutannya.”

“Kenapa?”

“Aku ketakutan, gemeteran, terus kertasnya jatuh,” jawabku berbohong.

“Kenapa nggak kamu ambil?”

“Mmm...,” jawabku sengaja memasang ekspresi gelisah dan ragu-ragu. “Sebenernya setelah itu aku jatuh, kecebur telaga. Agak kurang yakin sih, tapi perasaan kayak ada yang dorong aku dari belakang. Nggak tau deh itu hantu, orang, atau cuma perasaanku sendiri aja. Yang pasti, instingku mengatakan bahwa hal-hal nggak beres itu berasal dari vila. Jadi aku memilih nggak balik ke vila dulu.”

Oh my God!” Seru Dita terbelalak ngeri. “Siapa dia, Rein? Kamu lihat wajahnya?”

“Aku udah bilang tadi, agak kurang yakin, mungkin cuma perasaanku aja, apalagi datangnya dari arah belakang.”

“Tunggu!” Sela Syifa sambil memandang berkeliling. “Mungkin bukan Reyna doang yang menyelinap keluar diem-diem waktu gelap tadi. Coba kita cek siapa aja yang nggak ada.”

Ruangan menjadi riuh rendah. Dadaku berdebar kencang. Aku tahu persis mereka akan menyadari bahwa April tak ada. Tak masalah jika mereka mencurigai April sebagai orang yang mendorongku. Yang kutakutkan adalah kecurigaan lain, misalnya mereka mengira aku melakukan perbuatan yang tidak-tidak dengan April di luar sana. Cepat atau lambat, akhirnya pasti akan ada yang menyadari bahwa jaket yang kukenakan bukanlah milikku.

“April! April nggak ada di sini!” Seru seseorang tak lama berselang.

“Danu juga!” Tambah yang lain.

Aku terkesiap. “Danu??” Ulangku tercekat. Tubuhku mulai gemetar.

Diakah? Benar-benar diakah yang menulis surat itu? Juga mendorongku ke telaga? Aku mulai berpikir, bisa jadi selama ini dia mengakrabiku karena maksud tertentu. Kenapa aku begitu naif? Untuk apa seorang Danu berakrab-akrab dengan orang tak penting sepertiku?

Ugh, mungkin April benar! Danu mungkin telah lepas kontrol terhadap Keyla. Untuk itulah Keyla disingkirkan.

“Ren, pastiin nggak ada lagi yang keluar setelah ini! Kita nggak tau apa yang akan terjadi. Para pekerja vila itu juga raib nggak tau ke mana. Semalem dicari-cari ke kamar belakang, nggak ada siapa-siapa,” kataku pada Rendy.

“Kok aneh ya...,” gumam Imam berpikir. “Apa mungkin mereka...”

“Semuanya mungkin.” potongku sebelum dia menyelesaikan proses menduga-duganya. “Kalian waspada aja di sini sampai hari bener-bener terang. Aku ke kamar dulu. Badanku pada sakit, tadi waktu jatuh kebentur-bentur.”

Sebenarnya bukan untuk berbaring, aku ke kamar untuk dapat leluasa berpikir, bagaimana supaya aku bisa membuat pancingan yang tepat untuk si pembunuh itu jika dia benar-benar bertahan di vila sebagai alibi. Kuharap orang itu memang di sini, bukan di luar. Yang artinya bukan Danu orangnya yang tadi bermaksud menghabisiku. Mungkin Theo. Ya, kuharap itu memang Theo.

Rasa takut menyergapku dari segala arah manakala kunaiki tangga menuju lantai atas. Mereka mengaku melihat Keyla di sekitaran sini. Akankah kali ini dia menghadangku? Sebisa mungkin kukumpul-kumpulkan keberanian untuk menghadapinya.

Bukankah lebih baik bertemu langsung agar dapat kupastikan dia itu manusia hidup, atau hanya sekelebat bayangan? Itu jauh lebih baik daripada hanya menduga-duga. Aku akan menanyakan di pihak siapa sebenarnya dia berada, menginginkan bantuanku untuk mengungkap kepergiannya atau justru menganggapku terlibat dalam hal itu. Jika tidak segera mencari tahu, mungkin nantinya malah aku yang mati penasaran di vila ini.

Baiklah, Keyla, aku siap menghadapimu. Tampakkan wujudmu sekarang!

Tapi koridor begitu lengang. Aku menyapukan pandangan ke semua arah. Tidak ada siapa-siapa.

Hei Keyla, kenapa menghindariku?

“Tungggu, Rein!” Seru sebuah suara dari bawah.

Aku melongok ke arah tangga. Fatia, Maya, Febri dan Syifa sedang tergesa-gesa menyusulku.

**

Nyaman sekali rasanya setelah berendam beberapa saat di air hangat. Badan dan pikiranku terasa lebih rileks, saraf-saraf tegangku mengendur.

Sewaktu aku tengah menyembunyikan tubuhku di bawah selimut sesaat setelah berpakaian, teman-temanku menghujaniku dengan pandangan penuh prasangka, menuntut penjelasan.

“Jaket siapa yang tadi kamu pake? Punya cowok, kan? Kayaknya aku kenal.”

“Sebenernya ngapain aja kamu di luar? Sama siapa?”

“Kecebur apa kecebur? Bajumu kok nggak basah?”

Kupandangi mereka satu per satu sambil menimbang-nimbang. “Apa harus kujawab jujur? Sebutkan alasan kenapa aku harus percaya bahwa kalian ada di pihakku!”

“Reyna!” Tegur Fatia jengkel. “Siapa lagi yang akan memihakmu seperti kami? Walau pun kami adakalanya nggak percaya sama kamu, soal pihak memihak  nggak perlu diragukan lagi.”

“Justru! Karena kalian nggak percaya sama aku, itulah kenapa aku nggak percaya sama kalian. Memihak apa memihak? Temen lagi gelisah setengah mati malah dicibir, dianggap merusak suasana,” sahutku sinis, mendadak merasa jengkel lagi.

Ingin sekali rasanya membalas mereka saat ini. Tapi aku mulai berpikir, mungkin mereka bisa membantu. Baiklah, sebaiknya aku tak berpolemik untuk urusan dendam remeh-temeh.

“Oke, aku akan cerita. Tapi jangan disebar-sebarin dulu sebelum semuanya tuntas. Dan kalian jangan mempersoalkan ulang apa pun ceritaku. Semua yang kukatakan, kalian harus percaya.”

Mereka semua mengangguk. Dan aku melihat kesungguhan di mata mereka.

**

Aku menceritakan banyak, tapi tidak dengan rencanaku setelah ini. Karena sebenarnya aku sedang memancing supaya pembicaraanku dicuri dengar. Instruksi tidak langsung agar si pembunuh itu melakukan apa mauku, lalu dengan mudah aku dan April akan menangkapnya.

“Beneran, di surat itu tertulis nama Keyla. Aku kayaknya kenal tulisan itu. Tinggal dicocokin aja sama tulisan semua orang di sini, pasti nanti ketemu pelakunya. Ntar pagi rencananya surat itu mau kucari lagi, mungkin nyangkut di semak-semak,” kataku sengaja mengucapkannya dengan jelas dan keras, berharap orang yang ingin kujebak itu mendengarkan dari luar pintu.

Kami asyik mengobrol hingga teman-temanku tidak menyadari waktu subuh telah beberapa saat berlalu. Memang sengaja tidak kuingatkan, agar aku bisa menyelinap keluar bertepatan dengan saat situasi di luar mulai memihakku. Cahaya remang-remang, itulah yang sedang kutunggu.

Aku melakukan shalat lebih dulu, kebetulan mukenanya memang hanya ada satu. Dan saat yang lain sedang dalam proses bergiliran, aku pergi diam-diam.

Tujuanku kali ini adalah supaya aku diawasi dan dikuntit lagi. Tapi perjalananku terlalu lancar dan sunyi hingga hampir sampai ke tujuan. Berulang kali kutajamkan pendengaranku, berharap mendengar suara langkah mengikutiku. Sepi. Tak berhasilkah? Tiba-tiba aku merasa cemas. Jangan-jangan orang yang kumaksud memang tidak ada di vila semalaman. Itu artinya, orang itu memang... Danu.

Mendadak aku teringat April. Dia mungkin saja tengah dalam bahaya. Atau mungkin, sudah ditindaklanjuti sejak pertama kutinggal di luar seorang diri. Ya Tuhan! Bagaimana ini? Bukan saja mengkhawatirkannya, aku juga sama sekali tak yakin bisa bekerja sendirian.

Tapi sudah terlambat untuk mundur, lagipula aku tak ingin mundur. Semua ini mungkin memang tidak akan memberiku keuntungan apa-apa, tapi setidaknya aku harus tahu siapa yang menginginkanku mati itu.

Sampai juga akhirnya aku di dekat pohon meranggas itu. Tidak terlalu dekat sih, sengaja kuambil jarak cukup aman dari tebing, tapi kira-kira cukup untuk dilihat oleh orang yang ingin kupancing. Aku mematung sejenak, tetap sepi. Kuawasi sekelilingku, tidak ada gerakan apa-apa. Tak ada pertanda kehadiran manusia lain di sini.

Yah, mungkin pancinganku tidak kena. Dia, orang yang ingin membunuhku itu, tak mau mengambil resiko dan memilih bersembunyi. Tapi aku tak ingin tinggal diam.  Surat itu pasti kuselidiki, cepat atau lambat aku akan menemukan siapa penulisnya.

Semburat jingga merekah di ufuk timur. Malam yang aneh ini telah berakhir. Aku sedikit kecewa karena tidak berhasil mengungkap apa-apa. Setidaknya, harusnya tentang sosok Keyla itu bisa kupastikan, hantu atau manusia. Tidakkah ini hanya akan membuatku penasaran seumur hidup saja?

Tiba-tiba aku merasakan benturan keras di belakang kepalaku. Pandanganku mengabur, lalu aku terhuyung dan tersungkur di tanah. Sulit kugambarkan bagaimana sakitnya, seperti meledak, nyerinya terasa sampai menyetrum ke ulu hati. Perutku mendadak mual. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, seseorang menunduk di sisiku. Tangannya terulur, mencekik leherku.

Aku meronta sekuat tenagaku. Dalam perasaanku sepertinya aku telah bergerak, tapi ternyata tidak menghasilkan gerakan apa-apa. Aku nyaris pingsan. Ah tidak, aku nyaris mati. Jika dalam 5 menit ke depan cekikan di leherku tak mengendur, mungkin aku harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Dunia dan seisinya. Ayahku, ibuku, Rian, teman-teman, April...

April, di manakah dia? Kenapa dia tidak datang menolongku? Bukankah seharusnya, seperti rencana kami tadi, dia berjaga di luar vila dan mengawasi orang yang mengikutiku? Tolonglah Tuhan, aku takut bahwa ternyata dia telah lebih dulu dibungkam untuk selamanya oleh orang yang sama.

Ayah, Ibu... haruskah aku berakhir dengan cara seperti ini? Haruskah aku mati konyol karena kenekatanku sendiri? Mungkinkah aku akan benar-benar mati terbunuh tanpa mengetahui siapa pembunuhnya?

***(Bersambung)

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya